Malam harinya, di sebuah café Mayang bertemu dengan Chika, sahabat lamanya. Di sana, mereka tengah berbincang-bincang mengenai hasil UTSnya.
"Eh, May. Gimana UTS lo?" tanya Chika.
"Ya syukurlah ada peningkatan. Tapi, untuk anthropologi gue masih pusing nih. Beruntung ada temen gue yang ngajarin," kata Mayang.
Chika keheranan. "Lho, bukannya lo ikut bimbel?"
"Iya, Chik. Tapi ya tetep aja gue gak mudeng. Hanya, saja, gue seneng nyokap(mama) gue kagak bawel lagi. Ugh! Kalo nyokap gue bawel, rasanya tujuh purnama gue menderita," kata Mayang.
"Ciyeee, tujuh purnama? Lo kok mendadak auto sastra gitu?" kata Chika tertawa renyah.
"Iya, gara-gara akrab ama tuh anak, Raymond. Dia kan musisi, dan suka semi-semi sastra gitu kalo ngomong," balas Mayang sambil tertawa.
Mereka berdua tertawa renyah. Sejenak, mereka sama-sama menikmati minuman di depannya. Chika terigat akan sifat sahabatnya itu. Dilihatnya ada seorang cowok keren duduk sendiri.
"Eh,May. Tuh, ada cowok keren. Lo kagak nyamperin(mendatangi) dia?" goda Chika pada Mayang.
Mayang hanya memandang sepintas, dan kembali tersenyum pada Chika.
"Udah, Chik. Gue bukan Mayang yang dulu. Gue musti fokus sekolah supaya nyokap gue kagak bawel lagi," kata Mayang.
Chika memandang kagum pada Mayang.
"Hebat lo, May. Uhm … oh iya. Bagaimana dengan Davis?" tanya Chika.
"Gue udah putus, Chik," kata Mayang singkat.
Chika keheranan melihat Mayang yang begitu tenang. Dia menatap Mayang seolah tak percaya dengan ekspresi wajahnya.
"Terus, lo gak sedih gitu?" tanya Chika.
Mayang sejenak menghela nafasnya. Dia kembali tersenyum pada Chika.
"Ya sedih sih awalnya. Tapi gue sadar, gue selama ini juga kerap gonta-ganti cowok. Sekarang ini, gue belum berfikir buat cari pengganti. Gue mau fokus ama sekolah gue," kata Mayang dengan nada tenang.
"Hebat lo, May. Gue salut," balas Chika.
Mereka saling tersenyum, dan kembali terlibat percakapan ringan. Setelah agak lama mereka bercakap-cakap, mereka segera beranjak dari café itu dan pulang ke rumah masing-masing.
Waktu terus berjalan. Seiring waktu, Mayang semakin fokus di sekolah. Persahabatan Mayang dan Davis tetap baik. Begitu pula dengan Raymond. Dan tanpa terasa, beberapa bulan berlalu. Ujian Akhir Semester kian dekat. Raymond tampak lebih fokus dengan sekolah. Dan di hari-hari terakhirnya di bimbel, Raymond begitu fokus mengikuti pelajaran.
Sore itu adalah hari terakhir bimbel. Di hari terakhir bimbel itu, setelah jam pertama selesai, Rita menemui Raymond. Dia berikan sebuah catatan kecil.
"Ray, ini catatan rumus matematika buat lo. Semoga berguna buat belajar lo ngadepi UAS," kata Rita.
Raymond tersenyum. Dia membuka catatan kecil itu dan membacanya sejenak.
"Rita, terima kasih lo selama ini peduli sama kesulitan gue," kata Raymond.
"Oh, sama-sama. Gue seneng banget bisa sohiban ama lo," balas Rita.
Mayang dan Shiva menemui Raymond.
"Ray, sebelum bimbel ini berakhir, gue mau pamitan sama lo. Setelah kenaikan kelas, gue bakal pulang ke Bombay, India. Gue bakal terusin sekolah di sana. Dan …." Sejenak Shiva memandang Mayang dengan senyum manis.
Mayang yang merasa di goda Shiva tertawa renyah.
"Apaan sih, Shiva. Gue sama Raymond hanya temenan," kata Mayang sambil tersenyum simpul.
Shiva tertawa renyah. "Oh, kirain lo ada rasa sama Raymond."
Rita dan Raymond tertawa lepas mendengarnya. Mereka akhirnya terlibat dalam sebuah percakapan ringan. Tampak kearaban keempat siswa yang berbeda sekolah. Dan, tanpa terasa jam istirahat berakhir. Mereka kembali masuk ke dalam kelas. Pak Imam kembali masuk kelas menemui murid-muridnya.
"Selamat sore, anak-anak," sapanya.
"Selamat sore," jawab peserta bimbel secara bersamaan.
Pak Imam sejenak diam sambil tersenyum memandangi peserta didiknya yang telah dia bimbing selama setahun. Dia akhirnya membuka pembicaraannya.
"Anak-anak, hari ini adalah hari terakhir kalian di kelas ini, dan esok adalah minggu tenang. Jujur, hari ini adalah hari yang menyenangkan, sekaligus hari yang mengharukan untuk saya sebagai instruktur bimbel kalian. Sebelum saya menutup kelas ini, saya ingin berpesan kepada kalian untuk terus belajar dan pergunakan waktu seminggu sebelum ujian untuk kembali mengulang pelajaran sekolah kalian," pesan Pak Imam.
Beberapa peserta begitu terharu mendengarkan pesan dari instruktur bimbel itu. Pak Imam kembali melanjutkan pembicaraannya.
"Jika ada tutur kata yang salah dari saya selama mengajar kalian. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Oke, kelas ditutup sampai disini, dan kalian bisa kembali pulang dan belajar lebih giat. Semoga sukses mengerjakan ujian akhir semester. Terima kasih," lanjutnya menutup pesannya.
Setelah itu, semua peserta bimbel langsung bersalaman pada instruktur bimbel itu ebelum pulang. dan, ketika giliran Raymond, pak Imam tampak tersenyum manis.
"Nah, ini nih jagoan di kelas ini. Gimana Ray matematikanya?" tanya Pak Imam.
"Ah, masih seperti dulu, Pak. Cukup aman satu aja," jawab Raymond sambil nyengir.
Pak Imam menepuk lembut pundak Raymond. Dia tetap memberi semangat kepadanya.
"Jangan pernah menyerah, Raymond. Mungkin matematika bukan skillmu, tapi usaha kamu itu yang buat saya kagum kepadamu. semangat ya," pesannya.
Raymond hanya mengangguk, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu. Di depan tempat bimbel, Mayang, Rita dan Shiva menunggunya.
"Eh, Raymond. Kan hari masih sore, kita makan bareng yuk di café sana," ajak Mayang.
Raymond tampak kebingungan. Shiva tersenyum manis.
"Udah, lo jangan mikirn duit. Gue kok yang traktir. Tenang aja, itung-itung buat kenangan gue sebelum kembali ke India," kata Shiva.
Raymond akhirnya menyetujui usulan Mayang. Mereka berempat berjalan menuju ke sebuah café yang tak jauh dari lokasi bimbel. Sesampainya di sana, Shiva meminta menu di café itu.
"Ayo, silahkan di pesan yang kalian mau. Jangan malu-malu," kata Syifa.
Mereka sibuk melihat menu masakan dan minuman di café itu. Raymond tampak kebingungan. Rupanya, di menu itu tidak ada menu favoritnya.
"Yah, kok kagak ketoprak di café ini?" bathinnya.
Dia melihat-lihat menu minuman. Dilihatnya, ada kopi hitam kesukannya. Dia tampak berbinar, dan memberikan menu itu pada Shiva.
"Bhro, gue mau kopi item aja deh," kata Raymond.
"Bhro, loe serius?" tanya Shiva.
"Iye. Gue serius. Soalnya gue ngantuk berat nih," kata raymond.
Shiva mengangguk, dan memberikan daftar pesanan itu pada pelayan. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Shiva mengajak ketiga temannya untuk sellfie. Beberapa kali mereka berselifie. Rupanya, Mayang pun tergoda untuk melakukan hal yang sama. Mayang pun melakukan hal yang sama. Setelah pesanan mereka datang, mereka menikmati hidangan itu sambil sesekali bercakap-cakap.
"Shiva, menurut kamu lebih enak di sini atau di Bombay?" tanya Mayang.
Shiva tersenyum manis. Dia pandangi Mayang.
"Yah, menurutku sama saja. Di sini kalian adalah teman juga keluargaku. Di sana, aku dekat dengan keluarga dan familyku. Tapi, persahabatan kita di bimbel ini benar-benar tak aku lupakan," kata Shiva.
"Oh ya, Shiva. Menurut lo, siapa yang paling berkesan?" tanya Rita.
Shiva tersenyum memandangi Raymond yang asyik merokok sambil minum kopi.
"Dia. Nih temen gue yang langka. Beda dari kebanyakan," kata Shiva sambil menepuk pundak Raymond.
Raymond terkejut. Dia hampir tersedak kopi. Dia pandangi Shiva dengan wajah keheranan.
"Shiva. Lo gak ngigau kan? Gue ini bukan yang terbaik. Gue malah paling bontot perihal pelajaran, dan lo tahu gue kelewat slebor," kata Raymond.
"Raymond. Lo jangan rendah diri gitu. Lo tahu, gue aja nyaman deket lo. Tahu kenapa? Karena lo itu seru, dan ngehibur gue," kata Rita.
"Tapi …." Perkataan Raymond di putus Mayang.
"Raymond. Lo mungkin ngerasa minder ama kita-kita. Tapi lo harus tahu, tak ada yang sempurna. Dan, gue setuju sama Rita dan Shiva. Biar gimanapun, lo tetap teman yang menyenangkan. Lo tetap teman yang bakalan gue ingat," kata Mayang sambil memegangi tangan Raymond.
Sejenak Raymond terdiam. Dia tak menyangka mendengar perkataan mereka. Rita kembali menimpali perkataan Mayang.
"Ray, lo jangan berkecil hati. Ayo, dong. Semangat," katanya.
Raymond kembali tersenyum. Dia pandangi ketiga sahabatnya di bimbel itu.
"Kalian semua begitu baik kepadaku. Gue bener-bener gak nyangka kalian begitu baik. Gue berterima kasih atas kebaikan kalian," kata Raymond dengan senyum manis.
Mereka kembali terlibat percakapan ringan. Sesekali tersengar tawa renyah diantara mereka. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkkan pukul 5:30 sore. Mereka memutuskan untuk bersiap pulang. Setelah Shiva membayar hidangan yang di pesan, mereka kembali berjalan ke depan bimbel. Sesampainya di sana, Rita langsung mencegat angkot dan pulang. Tak lama kemudian datanglah orang tua Shiva.
"Raymond, semangat ya," kata Shiva sebelum pergi.
Raymond hanya mengangguk. Shiva segera naik ke mobilnya, dan pergi dari tempat itu. Raymond memandangi sejenak mobil itu. Sepeninggal Shiva dan Rita, Raymond mengajak Mayang untuk pulang.
"May, yuk gue anter lo pulang. Itung-itung ini kesan terakhir jadi tukang ojek lo," kata Raymond bercanda.
Mayang tersenyum manis. "Iya, tukang ojek yang tengil tapi keren."
Raymond tertawa ringan. Raymond langsung menyalakan motornya, dan mengantar Mayang. Di tengah jalan, Mayang membuka percakapan.
"Ray, terima kasih ya lo setahun jadi tukang ojek gue," kata Mayang.
"Hahaha, sama-sama. Lagian, gue seneng juga dapat peumpang cakep kayak lo, walau …." Raymond memutuskan perkataannya.
Mayang yang merasa penasaran bertanya. "Walau? Walau apa, Ray?"
"Walau awalnya lo buat gue merinding," jawab Raymond sambil tertawa.
Mayang tertawa lepas. "Emangnya gue hantu gitu?"
Mereka kembali tertawa renyah. Dan, tak lama kemudian sampailah mereka di rumah Mayang. Sejenak, Mayang diam memandangi Raymond. Dia mengajaknya berjabat tangan.
"Ray, moga lo berhasil dengan UAS ya," kata Mayang.
"Terima kasih. Semoga lo juga berhasil di UAS," balas Raymond.
Setelah itu, Raymond langsung berpamitan. Dia pacu motornya dan pulang ke rumahnya. Malam harinya, sampailah dia di rumahnya. Sesampainya di sana, Raymond menaruh tasnya dan langsung berbaring. Dia termenung mengingat perkataan ketiga temannya di Bimbel.
"Mereka begitu perduli kepadaku. Dan, gue gak nyangka bisa berteman dengan anak-anak yang cerdas seperti mereka," katanya dalam hati.
Raymond akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan mulai membuka catatan kecil dari Rita. Dia mencoba rumus matematika yang diberikan Rita.