Sore itu, di sebuh bimbel, Mayang tampak melamun. Rasa penasarannya pada Raymond membuatnya lupa jika dia harus mendaftar. Berulang kali petugas yang melayani pendaftaran memandangi Mayang yang tak fokus.
"Dik, Silahkan tandatangani berkas ini," kata petugas itu.
Mayang tetap diam. Pandangannya tetap ke arah luar. Dengan lembut, dia pegangn tangan Mayang.
"Dik? Kok melamun?" tanya petugas itu.
Mayang terkejut. Dia segera tersadar dari lamunannya. "Oh … I-Iya, Pak."
Buru-buru dia tandatangani berkas pendaftaran itu. dengan wajah merah menahan malu, Mayang berniat langsung pergi.
"Uhm, saya permisi dulu," kata Mayang hendak beranjak.
"Eeeh, Jangan tergesa, Dik. Es cendol depan masih jualan kok," kata petugas itu mengajak bercanda.
Mayang keheranan, namun rasa haus itu mengingatkannya akan keinginan membeli es cendol di depan bimbel.
"Oh, I—Iya, Pak. Tadi saya haus bener, makanya pingin buru-buru beli es cendol," kata Mayang dengan nada gugup.
Petugas itu tersenyum. Dia ambil buku paket untuk bimbel dan memberikan jadwal lesnya. Sambil memberikan buku itu, petugas bimbel yang masih muda itu menggoda Mayang.
"Nah, ini buku paketnya. Jangan lupa ya, kamu datang tiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu pukul 16:00 – 18:00," kata petugas itu.
Mayang sempat terkejut melihat jadwalnya.
"Yah, koq pas malam minggu. Nanti kan aku gak bisa kencan ama si dia," kata Mayang dalam hati.
Setelah selesai menerima buku paket, Mayang buru-buru keluar dan membeli es cendol di depan tempat bimbel itu.
"Bang, pesan es cendol yang dingin dong. Haus banget nih," kata Mayang sambil mengipaskan wajahnya yang terasa panas.
"Baik, Neng." Penjual itu langsung menyiapkan es cendol pesanan Mayang.
Setelah selesai, dia segera menikmati es cendol yang dia beli. Sejenak, Mayang bernafas lega karena dahaganya hilang. Dia menikmati es cendol itu di tepi jalan. Ketika tengah menikmati es cendol itu, dilihatnya Raymond yang tengah terdiam di tepi jalan. Dari kejauhan, Mayang mengamatinya.
"Ihh! Cowok itu keren habis, walau penampilannya berandalan. Tuh gue penasaran, dia dari SMA mana sih?" katanya dalam hati sambil menikmati es cendol itu.
Mayang terus mengamati Raymond yang tengah duduk di tepi jalan. Dia tak sadar jika es cendol itu telah habis. Mayang terus saja menikmatinya seolah es cendol itu masih ada.
Karena hanya menyuap angin, penjual es itu hendak mengambil mangkuknya. Namun, secara tak sengaja, kotoran burung jatuh tepat di sendok yang di pegang Mayang. Penjual es itu melihatnya.
"Non! Jangan di makan," kata penjual es berusaha mencegahnya.
Namun terlambat. Mayang yang tengah melamun tanpa berfikir panjang memasukkan sendok itu ke mulutnya. Penjual Es itu mengernyitkan wajahnya karena merasa jijik. Mayang yang tengah melamun mendadak tersadar dengan rasa aneh di lidahnya.
Dia terdiam sejenak sambil mengernyitkan dahinya.
"Hueek! Kok rasanya begini," kata Mayang menjulurkan lidahnya..
Dia merasakan pahit dan asam. Berulang kali Mayang meludah karena rasa aneh itu.
"Yah, Neng. Tadi abang berusaha cegah, karena tadi ada kotoran burung yang jatuh di sendok yang neng pegang. Yah, Neng. Meleng aja sih," kata penjual es.
Mayang terkejut. "Apa?! Kotoran burung?!"
Penjual Es itu mengangguk.Mayang memasang wajah jijik. Beberapa kali dia meludah untuk menghilangkan rasa aneh di lidahnya.
"Non, kumur pake air ini." Penjual es memberikan air putih pada Mayang.
Mayang yang merasakan rasa aneh segera berkumur dengan air itu hingga rasa aneh di lidahnya hilang. Setelah beberapa saat, rasa aneh itu hilang. Mayang tampak berkeringat mengingat kejadian tadi.
"Iiih! Nasib gue sore ini koq ngenes amat? Udah di marahi nyokap, eeh, kena kotoran burung pula," keluh Mayang.
"Yah, Neng. Tadi kan akang udah ingetin, tapi neng malah meleng," kata penjual es.
Mayang menyesalinya. Dilihatnya, Raymond sudah tidak ada di sana. Dengan wajah lesu, dia kembalikan mangkuk dan sendok itu.Penjual es hanya nyengir meilhat kekonyolan Mayang.
"Berapa bang es cendolnya?" tanyanya.
"Murah, Neng. Lima belas ribu aja," kata Penjual Es.
Mayang memberikan sejumlah uang, dan langsung pergi dari tempat itu. Di tengah jalan, dia berfikir untuk mampir ke rumah Chika, sahabatnya. Dia langsung pesan ojol dan pergi ke rumah Chika. Tak berapa lama kemudian, sampailah dia di rumah sahabatnya itu.
"Eh, Mayang. Masuk yuk," ajak Chika.
Mayang hanya tersenyum. Dia berjalan masuk mengikuti Chika. Chika mengajaknya masuk ke dalam kamarnya.
"Loh, May. Kamu sore-sore begini darimana?' tanya Chika.
"Aku dari tempat bimbel. Nanti mulai awal masuk, aku sudah ikut bimbel," kata Mayang.
Chika melihat Mayang banyak membawa buku paket.
"Eh, aku boleh lihat gak buku paketnya?" tanya Chika.
Mayang menunjukkannya. Chika begitu antusias melihat buku paket dari bimbel itu. Di abaca sejenak buku itu. Satu per satu dibukanya.
"May, ini buku bagus lho. Banyak cara baru yang tak di ajarkan di sekolah. Uhm … aku kapan-kapan boleh pinjam gak?" tanya Chika.
Dasar Mayang sedikit badung, dilihatnya Chika begitu senang membaca buku paket itu. Dia tersenyum manis.
"Boleh, Chika. Uhm … tapi nih, ada tapinya … ," kata Mayang dengan senyum manisnya.
Chika kebingungan. "Tapi? Maksudnya gimana?"
"Tapi, ajarin gue pelajaran yang gak gue ngerti. Mau kan?" kata Mayang.
Chika tersenyum manis. Dia mengangguk, namun membalasnya.
"Oh ya, aku akan ajari kamu asal ada martabak manis. Bagaimana?" Chika balik bernegosiasi.
Mayang berfikir sambil tertawa. "Ya elah, Chik. Gua nego loe balik nego."
Mereka berdua tertawa lepas. Setelah itu, mereka terlibat dalam sebuah percakapan ringan. Mayang menceritakan kesialannya karena begitu penasaran pada seorang cowok. Chika yang mendengar kisah Mayang tertawa terpingkal-pingkal.
"Gile lu! Bisa-bisanya makan kotoran burung," kata Chika keheranan.
"Ya, gue kan gak tahu. Gua rasain koq aneh, ternyata kata penjual es itu kotoran burung yang gue masukin," kata Mayang dengan wajah lesu.
Chika tak henti-hentinya tertawa lepas. Dia akhirnya mengeluarkan sebuah lelucon.
"Eh, Mayang. Lo harusnya bersyukur lho sempat nyicipin kotoran burung. Soalnya, kotoran burung itu symbol rejeki," kata Chika bercanda.
"Rejeki darimane? Yang ada gue jadi bahan lelucon dong," kata Mayang sambil tertawa.
"Yah di sugestikan begitu saja. Siapa tahu loe nanti bakal kenal sama tuh cowker," kata Chika.
Mereka berdua kembali tertawa lepas di dalam kamar. Agak lama Mayang di sana. Ketika hari mulai petang, Mayang memesan ojek online dan pulang ke rumahnya. Sekitar 10 menit kemudian, sampailah Mayang di rumahnya. Dia langsung masuk ke kamarnya dan mempersiapkan buku pelajaran untuk di pelajari.
Berbanding terbalik dari yang dilakukan Mayang, Raymond kembali mengendap-endap keluar dari kamarnya. Dia hendak keluar rumah. Baru berjalan beberapa langkah mendekati pintu depan, ibunya memergokinya. Tanpa berbasa-basi, dia langsung menjewer teliganya.
"Hayo … mau kemana kamu, Raymond?" kata ibunya.
"Aduh … Aduh, Ma. Raymond mau belajar kelompok," kata Raymond berusaha berbohong.
Namun, ibunya bukan orang yang mudah di tipu. Dia sudah tahu gelagat Raymond yang hendak pergi bermain.
"Belajar kelompok band ya? Jangan bohong kamu!" bentak ibunya.
Raymond merintih kesakitan karena di jewer ibunya. Di tengah kesakitanya, Raymond akhirnya menemukan cara untuk mengelabui ibunya.
"Ma, Raymond mau ke rumahnya Bu Siti. Mau belajar matematika," kata Raymond berbohong.
Raymond berharap ibunya berhenti menjewer. Dan, memang terjadi. Ibunya melepaskan jewerannya. Dia tersenyum pada Raymond.
"Owh, ke rumah Bu Siti ya? Bagus. Itu baru anak mama," kata ibunya dengan wajah senang.
"Ya udah, Ma. Raymond berangkat dulu," kata Raymond berpamitan.
Namun, ternyata Raymond salah strategi. Dia mengira ibunya percaya begitu saja. Kali ini, dia benar-benar salah perhitungan.
"Eeeh, tunggu dulu. Kamu kan biasanya bolos di mata pelajaran Bu Siti. Nah, supaya kamu benar-benar belajar, mama akan antar kamu," kata ibunya dengan senyum manis.
DEG! Raymond terpana. Dalam hati, dia menggerutu. "Ya elah! Nasib gue musti ketemu dua nenek sihir."
Raymond terdiam sejenak. Dia pandangi ibunya yang menelepon Bu Siti. Rupanya, Bu Siti begitu senang mendengar Raymond akan meminta bimbingan pelajaran matematika. Setelah telepon ditutup, Ibunya bersiap mengantar Raymond.
"Eh, bawa buku bimbelmu ke rumah Bu Siti supaya kamu nanti lebih pintar. Ayo, buruan. Dia sudah menunggu," kata ibunya.
Dengan langkah lunglai, Raymond masuk ke kamarnya dan membawa buku paket matematika dari bimbel tempatnya mendaftar. Setelah siap, mereka berdua berangkat ke rumah Bu Siti. Sepanjang perjalanan, Raymond hanya diam dan mengerutu.
"Aduuh! Hari terakhir liburan ini adalah hari terberatku. Aku harus di temani dua nenek sihir. Nasib … nasib," gerutunya dalam hati.
Dan, sepuluh menit kemudian mereka tiba di rumah Bu Siti.
Dengan langkah gontai, Raymond mengikuti ibunya masuk ke rumah Bu Siti. Di sana, Bu Siti mengajarkan matematika, namun Raymond merasa mengantuk. Dua jam yang berat dilaluinya dengan perasaan tersiksa. Setelah dua jam, pulanglah Raymond dan ibunya kembali ke rumah.
"Yah, akhirnya … setelah dua jam yang berat ini gua rasanya pingin tidur aja," gerutunya.
Setelah sekitar sepuluh menit perjalanan, sampailah mereka di rumah. Raymond yang sudah kehilangan mood untuk main langsung ke kamarnya dan terlelap di dalam tidurnya.