Malam itu, Raymond bernafas lega. dia tampak istirahat di depan studio musik Bang Boim. Sambil meminum air mineral, dia seka keringat di lehernya.
"Bang Boim, puas banget gua malam ini. Gak ada insiden gelap gulita lagi," kata Raymond sambil menenggak air mineral.
"Yah, gue kemarin komplen ama petugas listrik. Loe tahu, dispenser gua jebol gegara lampu mati," kata Boim
Raymond yang penasaran langsung bertanya pada Boim.
"Loh, dispenser abang rusak? Dispenser yang mana bang?" tanya Raymond.
"Noh, dispenser depan loe," kata Boim.
Raymond sempat tak menyadarinya. Dia pandangi dispenser itu. Ternyata baru.
"Loh, kok bisa rusak, Bang?" tanya Raymond.
"Gimana kagak rusak? Gegara lampu mati, dispenser gua rusak. Heathernya kagak nyala. Nah, gue mau perbaiki sendiri, eeeh ternyata malah meledak," kata Boim dengan wajah jengkel.
"Kok bisa?" tanya Romi.
"Gimana kagak meledak? Gua salah solder dan ada katub yang gak sengaja ke solder. Awalnya, gua seneng. Pas gua tancepin, Bumm! Muka gue gosong deh," keluhnya.
Romi dan Raymond tertawa mendengar cerita Boim. Setelah hilang lelahnya, mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu, dua gadis remaja tengah makan di sebuah foodcourt. Dia adalah Shely dan Wenny. Mereka begitu senang setelah sekolah libur. Sambil menikmati minuman di depannya, kedua sahabat ini saling berbincang-bincang.
"Shel, lo beneran naksir Raymond? Tuh anak udah urakan, suka bolos lagi," kata Wenny.
Shely tersenyum menanggapi perkataan temannya mengenai Raymond.
"Ya elah, Wen. Namanya juga cinta. Gue tuh terus terang, suka banget ama cowok macam Raymond. Entah, kenapa gue kepincut ama tuh anak," kata Shely dengan senyum mengembang.
Wenny hanya menggelengkan kepalanya.
"Shel, lo itu pinter. Di kelas aja, lo rangking satu. Dan, ada satu cowok lho yang naksir loe. Dia adalah Fendy, ketua OSIS kita. Lo cocok deh ama dia. Udah ganteng, pinter, tajir pula," kata Wenny.
Shely terdiam. Dia hanya tersenyum simpul menanggapinya.
"Udahan, yuk. Kita pulang. ini udah malam," ajak Shely pada Wenny.
Wenny menyetujui usulan Shely. Mereka langsung menghabiskan minumannya dan membayar pesanan mereka di kasir. Setelah itu, mereka berjalan pulang.
Sementara itu, Raymond yang sudah di dekat rumahnya mematikan mesin motornya. Dengan perlahan, dia buka pintu pagar, dan menuntun masuk sepeda motornya.
"Uhft! Lega … Mama dan Papa pasti udah tidur," kata Raymond dalam hati.
Setelah memarkir motornya, dia berjalan mengendap-endap mendekati jendela kamarnya. Perlahan dia buka jendela itu, dan meloncat masuk ke kamarnya.
"Uhft! Ah … lega. Akhirnya, gua bisa bebas dari si nenek lampir," katanya.
Perlahan, Raymond menutup jendela kamarnya. Namun, dia tak menyadari jika ibunya sudah berada di kamarnya. Setelah menutup jendela, dia hendak berbaring. Namun, ternyata ibunya sudah berada di belakangnya dengan melipat kedua tangannya di depan.
"Bagus ya!" kata ibunya dengan nada tinggi.
Raymond terkejut. wajahnya tampak pucat pasi melihat ibunya yang tengah berdiri di hadapannya. Dengan marah, ibunya menjewer telinga Raymond.
"Kamu sebut mama apa? Mak Lampir?" kata Anggi sambil menjewer telinganya.
"Aduuh … Ma. Ampun … Mama bukan Mak Lampir," katanya sambil meringis kesakitan.
Ibunya yang begitu marah terus menjewer Raymond.
"Kamu darimana, hah?" bentak ibunya.
"Ma, Raymond baru latihan band," jawab Raymond.
"Heh! Dengerin mama. Mulai besok, kamu gak boleh latihan band! Kamu harus belajar! Ngerti!" bentak ibunya.
"Tapi, Ma. Kan sekolah sudah llbur," balas Raymond.
"Mama tak perduli! Mulai besok, setiap sore kamu harus ikut bimbel. Mengerti?!" bentak ibunya.
"I—Iya, Ma. Raymond ngerti," kata Raymond dengan putus asa.
Ibunya langsung meninggalkan Raymond. Setelah ibunya pergi, Raymond segera berbaring. dia mengeluhkan nasibnya.
"Yah, sial! Terpaksa deh, gue ikut bimbel," bathinnya.
Baru saja ibunya pergi, terdengar pintu kamarnya di ketuk. Raymond membukanya, dan ternyata Robby berdiri di depan pintu. Dia tampak tersenyum pada Raymond.
"Eh, mana hadiah buat papa?" kata ayahnya dengan wajah berbinar.
Raymond sejenak berfikir. Dia coba mengingat-ingat apa yang dia katakan pada ayahnya.
"Oh ya, Pa. Raymond sudah bawakan papa Blue Film dengan bintang … siapa tadi?" tanya Raymond dengan suara lirih.
"Maria Ozawa," kata ayahnya dengan suara lirih.
"Ah iya. Raymond udah dapat, Pa. sebentar ya," kata Raymond mengambil flashdisknya.
Raymond merogoh sakunya. Dia mencari flashdisknya. Dan, ternyata tak ada. Raymond tampak kebingungan.
"Loh, tadi mana flashdisknya? Kok gak ada?" tanya nya dalam hati.
Dia rogoh kembali sakunya, dan ternyata ada flshdisknya. Dia berikan flashdisk itu pada ayahnya.
"Oh ya, ini pa. Katanya temen aku sih film telanjang, tapi bintangnya bukan yang bapak minta," kata Raymond.
Raymond beritahu nama filenya. Ayahnya tersenyum manis. dalam hati dia begitu senang mendapat film dewasa.
"Ya udah, gak apa-apa. Yang penting film telanjang," kata Ayahnya.
Buru-buru ayahnya berlalu. Dia langsung pergi ke ruang tengah, dan menyalakan laptopnya. Setelah laptopnya menyala, dia menancapkan flasdisknya di port USB. Namun, ketika dicari-cari, tak ada nama file yang dia sebutkan.
"Uhm, kok gak ada ya? Kemana?" tanyanya dalam hati.
Dia terus mencari-cari. Akhirnya, ada juga nama file yang disebutkan Raymond.
"Uhm, nama filenya kan video telanjang.mp4. ini dia …." Robby langsung mengklik video itu.
Dan, alangkah terkejutnya ketika melihat video itu. ternyata, itu adalah dokumentasi cara memberikan bantuan untuk mengawinkan sapi betina.
"Ya elah! Kok begini videonya?" katanya dalam hati.
Karena kecewa, Robby buru-buru pergi ke kamar Raymond. Dia kembali ketuk pintu kamarnya.
"Ray. Buka pintu," kata ayahnya.
Raymond langsung membuka pintunya. Tampak senyumnya pada ayahnya.
"Bagaimana, Pa?" tanyanya sambil tersenyum manis.
"Bagaimana apaan? Nih, lihat sendiri videonya!" kata ayahnya dengan nada marah sambil memberikan laptopnya.
Raymond mengernyitkan dahinya. Dia keheranan.
"Yah! Kok gini videonya?" kata Raymond keheranan.
Dia matikan video itu, dan melihat nama filenya. Ternyata benar. Sesuai dengan yang dia sebutkan.
"Pa, Raymond di kerjain nih. Maaf, ya Pa," kata Raymond pada ayahnya.
Robby memandangi Raymond. Namun, dia tak kecewa. Dengan tenang, dia tepuk pundak Raymond.
"Sudahlah, Ray. Biarkanlah. Toh papa hanya ngetes kejujuranmu. Dan, papa bangga kamu tepati janji, walau akhirnya begini. Sudahlah, Nak. Tidurlah," kata Ayahnya.
"Makasih, Pa. Raymond tidur dulu," kata Raymond.
Robby hanya mengangguk. dia ambil kembali laptopnya dan beranjak dari kamar Raymond. Sepeniggal ayahnya, Raymond menghubungi Boim.
"Halo, bang. Lu tega amat sih nipu gue. Gue kan mintanya video itu, kok lo kasih video sapi sih?" kata Raymond dengan nada kecewa.
Boim tertawa lepas di balik telepon. Tawanya meledak.
"Ya elah, Bhro. Lo kan gua tawarin video telanjang. Nah itu, gua kasih. Kan itu telanjang beneran," kata Boim sambil terkekeh-kekeh.
Raymond tampak sewot.
"Ya iya, telanjang. Tapi yang telanjang kan sapi. Lagian, namanya lihat sapi telanjang mah udah biasa," kata Raymond dengan nada sewot.
Boim tertawa lepas. "Bhro, lo masih kecil buat pegang video bokep. Mendingan lo fokus ama sekolah dan band lo supaya sukses. Dan dari video itu, siapa tahu lo nantinya bakal sukses dan banggain ortu lo."
Raymond tampak jengkel. Boim kembali memberikan nasehatnya.
"Ray, sorry nih kalo gua ngecampurin urusan lo. Lagian, gue juga takut kalau nyebarin video bokep. bisa masuk penjara gue. Nah, karena itulah gue kasih video itu. Siapa tahu ntar lo bisa ngawinin sapi," kata Boim dengan tenang.
Raymond membelalakkan matanya
"Apa? Ngawinin sapi? Ogah!" kata Raymond.
Boim kembali tertawa lepas.
"Hahahaha ... Raymond. Bukan itu maksud gue. Hehehe ... . Btw, maaf ya gua terlalu ikut campur. Please ... jangan marah. Nanti aku gratisin deh dua kali latihan band. Gimana?" kata Boim bernegosiasi.
Raymond terdiam. Kemarahannya hilang.
"Bener nih, Bang?" tanyanya.
"Empat rius. Beneran. Ntar lo kalau mau latihan datang aja. Gua bakalan tepatin janji gue, itung-itung penyesalan gue," kata Boim di balik telepon.
Raymond tersenyum simpul. "Sipp! Lumayan neh, dapat dua kali free sewa studio," katanya dalam hati
"Oke. Gue percaya. Thanks, ya. Gue mau tidur dulu. Udah ngantuk," balas Raymond.
"Oke," balas Boim.
Telepon pun ditutup. Sejenak, Raymond termenung. Dalam hati, dia membenarkan ucapan Boim. Sambil mendengarkan musik, perlahan dia terlelap.
Waktu terus berjalan. Tak terasa, dua minggu berlalu. Raymond yang begitu stress menjalani hari-hari liburnya tampak sedang melakukan Her registrasi di sekolahnya. Di sana, tampak Shely yang kebetulan pergi ke sekolah.
"Ray, kok lo tampak lesu gitu?" tanya Shely.
"Yah, gegara nilai gua merah, gua gak bisa bebas nih. Beruntung, gua sempat curi-curi waktu buat ikut festival band," kata Raymond dengan wajah lesu.
Shely memandangi Raymond dengan perasaan iba. Dia menyentuh lembut pundaknya.
"Ray, kalo lo gak ngerti pelajaran di sekolah, kenapa gak bilang gue? Kali aja gue bisa bantu," kata Shely menawarkan jasa.
Raymond terdiam. Dia pandangi wajah Shely.
"Yah, mau gimana, Shel. Udah terjadi. Gue mau gak mau mulai nanti masuk harus ikut bimbel," kata Raymond.
"Bagus dong. Lo musti semangat, Hon. Gue dukung," kata Shely dengan senyum manis.
Raymond terkejut mendengar perkataan Shely. Dia begitu gugup.
"Shel, maaf. Gua buru-buru pulang. Uhm … ntar nyokap tanya macam-macam deh," kata Raymond.
Shely hanya mengangguk. Raymond yang begitu gugup buru-buru pulang ke rumahnya. Sore harinya, Raymond akhirnya mendaftar ke sebuah bimbel. Setelah membayar dan mengambil buku paket, dia buru-buru berjalan keluar. Raymond tak menyadari jika dia diawasi oleh sepasang mata di sana. Ternyata, diam-diam Mayang mengawasinya.
"Wow, keren amat sih tuh cowok. Gua jadi penasaran," kata Mayang dalam hati.