Theo memegang surat undangan di tangannya. Guru yang mengajar tadi memberitahu kalau besok lusa akan diadakan lomba antar ibu dan anak. Teman-teman anak itu menerima dengan rasa senang serta senyuman lebar di wajah masing-masing.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi Theo. Anak laki-laki itu jadi sedih karena pengumuman tersebut. Theo memandang benda tadi dengan pandangan sendu. Air mata siap menetes.
"Theo mau ikut," ujarnya lirih. Air mata jatuh dengan mudahnya.
Saat itu juha ia teringat kata Dava kalau laki-laki tidak boleh terlalu sering menangis. Theo segera mengusap air matanya.
"Kasihan deh yang tidak punya mommy." Seorang anak laki-laki seusia Theo tib-tiba datang begitu saja dan mengejek Theo. Ia tertawa setelah mengatakannya.
Theo merasa kuping dan pikirannya panas. Ia menatap Angga dengan pandangan kesal. Theo memasukkan surat tadi ke dalam tas.
Ia berdiri sembari berkata, "Pergi sana! Dasar pengganggu!"
"Makanya jangan nakal biar ada mommy." Lagi-lagi Angga tergelak dengan puasnya. "Kasihan deh yang tidak bisa ikut lomba." Angga menjulurkan lidah, bermaksud meledek.
Wajah Theo benar-benar marah. Ia mendorong Angga. "Sana pergi! Ganggu aja jadi orang!"
Angga tentu saja tidak terima di dorong. Ia mendorong balik dengan lebih kasar. "Emang kenyataan begitu kan? Theo kan tidak punya Mommy. Jangan marah kalau begitu!"
"Theo punya mommy kok!" Theo kembali mendorong.
Alhasil, terjadilah aksi saling mendorong. Keduanya sibuk bertengkar dan mengejek satu sam lain. Hingga pertengkaran itu terhenti saat Angga terjatuh dan tangannya terkena kerikil.
Rasa perih pun menjalar di telapak tangan Angga. Angga melihat telapak tangnnya yang kemerahan serta menjadi lecet pun menangis.
Tangisan Angga di dengar oleh anak-anak lain serta beberapa guru yang tak sengaja lewat di sekitar Theo dan Angga berada. Mereka pun menghampiri keduanya.
Salah satu dari guru tadi bertanya, "Ada apa ini?"
Angga dibantu berdiri oleh guru lain. Anak itu segera menunjuk ke arah Theo. "Theo tadi mendorong Angga sampai jatuh. Tangan Angga jadi sakit." Ia memperlihatkan telapak tangannya yang terluka.
"Benar Theo yang mendorong Angga?" tanya sang guru.
Theo dengan cepat menggeleng sembari menjawab, "Tidak, Pak Guru. Angga yang mulai duluan. Dia jatuh sendiri kok." Apa yang dikatakan Theo memang ada benarnya.
Keduanya tadi terlibat dorong-dorongan. Tentu, cepat atau lambat akan ada yang kalah di antara mereka. Tangan Angga ssmpat digigit semut hingga menyebabkan fokusnnya terpecah. Alhasil, bocah itu terjatuh.
"Bohong!" sanggah Angga. "Theo yang mendorong Angga Pak Guru. Lihat tangan Angga. Lihat tangan Theo, tangannya tidak terluka sama sekali."
Pak Guru tersebut menghela napas berat. "Kalian berdua ikut bapak ke kantor. Kita lihat siapa yang berkata jujur dan siapa yang berbohong."
Di dalam hati Theo, ia sama sekali tidak setuju dengab perkataan gurunya. Bukan karena sembarang alasan, Angga memang dikenal sebagai murid yang sering membuat onar dan suka mencoret-coret tembok.
Beberapa kali orang tua Angga dipanggil ke kantor, diberi peringatan. Harusnya Angga dikeluarkan, tapi berhubung orang tua anak itu bukan orang biasa, jadinya para guru hanya memberi peringatan.
Memang tidak adil, giliran orang biasa langsung dikeluarkan hanya dengan beberapa kali kesalahan. Begitu lah dunia, siapa yang berkuasa, dialah yang menang.
Theo berjalan lesu menuju kantor. Netranya menangkap sosok wanita yang dikenalnya berada tak jauh darinya.
Theo memicingkan mata. "Kakak Cantik," gumam Theo. Theo melihat Angga dan guru tadi masuk ke dalam kantor. Theo tak langsung masuk. Ia menghampiri Adel. "Kakak Cantik," sapa Theo.
Adel terkejut dengan kehadiran Theo di sekolah tersebut. Ia baru saja mengantar bunga pesanan para pelanggannya langsung. Adel berjalan menghampiri Theo. "Theo. Theo sekolah di sini?" tanyanya.
Theo mengangguk. "Iya, Kakak Cantik."
Adel bukan heran Theo bersekolah di sekolah elit, wanita itu terkejut karena bisa berjumpa di sekolah Theo.
Dari sekian banyak sekolah bergengsi, ternyata Theo bersekolah di sini. Benar kata orang, dunia memang sempit.
"Kenapa Theo tidak masuk ke kelas? Ini kan sudah bel masuk." Beberapa menit yang lalu memang bel tanda masuk berbunyi.
"Theo tadi mau pergi ke ruang guru."
Adel menjadi penasaran dengan jawaban Theo. Biasanya, anak-anak yang bermasalah lah yang masuk ke ruang guru. Apa Theo membuat masalah di sekolah? Melihat tingkah dan wajah Theo, sangat tidak cocok bila anak itu membuat onar.
"Loh, kenapa kok bisa masuk ruang guru? Ada masalah?"
Theo mengangguk. "Iya, Kakak Cantik. Tadi, Theo berkelahi dengan Angga. Angga yang mengejek Theo duluan. Angga bilang kalau Theo tidak punya mommy."
Mengingat perkataan Angga yang menyakiti hatinya membuat Theo kembali menitihkan air matanya. "Theo sedih dan marah sama ucapan Angga."
Adel bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari netra Theo. Anak itu sangat butuh sosok ibu di sampingnya. Namun, sang ibu telah ada di sisi Tuhan---dari cerita Dava sebelum ia pulang ke rumah.
Tidak ada yang mampu mencegahnya, meskipun berusaha mati-matian. Sejatinya, kematian adalah hal yang pasti. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya meski dengan uang sekalipun, karena kematian tak bisa dibeli.
Adel memeluk dan mengusap punggung Theo. "Jangan menangis Theo. Jangan hiraukan ucapan temen Theo."
"Angga bukan temen Theo!" Theo melepaskan pelukannya. "Angga jahat. Angga sering mengejek Theo Kakak Cantik."
"Ya sudah kalau begitu, Theo jangan menangis lagi. Angga makin mengejek Theo kalau menangis begini." Adel mengusap sisa air mata Theo.
"Iya, Kakak Cantik." Sekuat apa pun Theo, anak itu tetap lah anak kecil, anak kecil yang merindukan sosok seorang ibu di sampingnya.
Orang dewasa saja bisa menangis karena tidak punya ibu, apalagi anak kecil seperti Theo.
Adel hendak pergi, tapi dia tak tega meninggalkan Theo sendiri. Dari arah depan, terdapat guru yang menghampiri mereka. "Theo, ayo masuk ke dalam."
Theo melihat gurunya. Ia beralih pada Adel. Theo menggeleng. "Theo mau Kakak Cantik menemani Theo di dalam. Theo tidak mau diejek sama Angga lagi Pak Guru."
"Nama saya Adel. Kebetulan saya mengenal Theo."
"Ohh." Sang guru mengangguk anggukan kepalanya. "Anda bisa masuk bersama Theo. Supaya Theo mau masuk ke dalam.
"Baiklah." Ketiganya pun masuk ke dalam. Tak lupa, tangan Theo mengenggam tangan Adel. Tatapan Theo dan Angga saling bertemu. Keduanya segera memutuskan kontak mata. Wajah mereka pun tampak tak bersahabat.
"Pak Guru sudah menghubungi daddy Theo. Dia akan segera datang."
"Iya," jawab Theo. "Kakak Cantik, ayo duduk. Kaki Theo pegel." Theo mengajak Adel untuk duduk di kursi kecil yang ada di sana.
Theo menatap wajah Angga yang terlihat menyebalkan di matanya. Ia menarik pelan ujung baju Adel.
Adel menatap Theo. "Ada apa Theo?"
"Anak itu yang mengejek Theo tadi Kakak Cantik," tunjuk Theo dengan dagunya.
Saat pertama masuk, Adel memang sudah melihat keberadaan anak lain yang seusia Theo. Adel menatap dalam-dalam Wajah Angga.
Wajah anak itu termasuk manis, walau tidak semanis Theo. Namun, mulut Angga sama sekali tak mengeluarkan kata-kata manis.