Chereads / Skenario Cinta / Chapter 25 - Rasa Rindu

Chapter 25 - Rasa Rindu

Kemarin Dava mendapat kabar kurang mengenakkan tentang Anita dan sekarang ia mendapat telepon dari pihak sekolah yang mengatakan kalau Theo bertengkar dengan salah-satu temannya di sekolah.

Dava terkejut, sebelumnya Theo tak pernah berbuat aneh-aneh di sekolah. Dava jadi penasaran hal apa yang dilakukan anaknya hingga Theo berkelahi dengan temannya?

Dava kenal betul anaknya, Theo tak akan melakukannya duluan sebelum orang lain memancingnya.

"Daddy." Theo beranjak dari duduknya dan menghampiri Dava.

Dava mengelus kepala Theo. Ia masih bisa melihat wajah anaknya yang baru habis menangis. Dava menatap guru Theo. "Ada apa ini, ya, Pak?" tanyanya.

Sang guru sebenarnya merasa tak enak hati memanggil Dava ke ruangannya. Dava merupakan salah-satu donatur yang memiliki peran penting dalam pembangunan sekolah. Namun, aturan tetap lah aturan. Siapa pun anak yang berbuat ulah, maka orang tuanya ikut datang.

"Begini Pak Dava. Anak Anda dan juga Angga bertengkar. Saya lihat tadi Angga terjatuh, tangannya juga sedikit lecet."

"Bukan Theo yang mulai duluan Daddy. Angga yang jahat. Angga meledek Theo tidak punya mommy. Angga yang jahat, bukan Theo!" Theo berusaha menjelaskan sebelum Dava berucap. Ia tak ingin Dava salah paham dan menilai kalau dirinya adalah anak yang nakal. "Angga tadi juga mendorong Theo."

"Karena Theo yang mendorong Angga duluan!" timpal Angga yang membela diri. Memang benar Theo lah yang mendorongnya terlebih dahulu.

"Theo kesal karena Angga sering meledek Theo daddy. Katanya Theo tidak punya mommy karena Theo nakal."

Dava menghela napasnya. Ia mengusap puncak kepala Theo. Dava menatap guru tadi. "Jadi, bagaimana tanggapan Anda tentang pertengkaran mereka berdua? Apakah Anda menganggap anak saya bersalah karena diejek tidak punya seorang ibu?"

"Bb-bukan begitu Pak. Saya berniat untuk menyelesaikan masalah mereka. Saya ingin mencari duduk perkaranya saja."

"Tadi Theo sudah katakan kalau Angga yang mengejek Theo, tapi Pak Guru tetap menyuruh Theo masuk ke sini."

Theo memeluk kaki Dava. Ia menatap sengit Angga begitu pun juga sebaliknya. Namun, perasaan kesal dan sedihnya berkurang drastis saat Adel dan Dava ada di dekatnya. Mereka berdua seakan memberi perlindungan pada Theo.

Bicara soal Adel, wanita itu kini berdiri tak jauh dari Dava. Ia sedari tadi hanya diam sembari mendengar dan menyaksikan semuanya.

Adel merasa sudah tidak dibutuhkan lagi, tapi pergi begitu saja juga tidak lah sopan. Jadi, mau tidak mau wanita itu akan tetap di sini sampai semuanya selesai.

"Menurut Anda, siapa yang bersalah di sini?" tanya Dava pada sang guru yang juga merangakap sebagai guru BK.

Si guru merasa waswas dengan jawabannya. Ia takut jawabannya akan membuat Dava marah seperti kasus yang menimpa Angga. Orang tua Angga merasa kesal dan hendak menuntut sekolah ini. Pada akhirnya, Angga tidak jadi dikeluarkan.

"Maaf, Pak Dava, saya pikir keduanya bersalah. Angga salah karena mengejek Theo dan Theo juga salah karena mendorong Angga. Kekerasan bukan lah jalan keluar bagi suatu masalah."

"Jadi?"

"Theo, Angga, kalian harus minta maaf dan jangan pernah lagi mengulang kesalahan yang sama," putus sang guru.

Baik Theo dan Angga tidak setuju pada awalnya, tapi mereka terpaksa meminta maaf satu sama lain.

"Maafin Angga ya Theo."

Angga memutuskan untuk meminta maaf duluan. Setelah diingat, ia jadi merasa tak enak dengan perkataannya. Sedangkan hubungan keluarga Angga dan kedua orang tuanya tak begitu dekat.

Mereka sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Angga akhirnya diasuh oleh pengasuh kepercayaan keluarganya.

Theo juga mulai merasa bersalah. Tak seharusnya ia mendorong Angga. "Theo juga minta maaf ke Angga."

Baik guru, Adel, dan Dava pun ikut lega mendengar keduanya minta maaf tanpa diperintah dua kali.

Guru tadi berkata, "Masalah sudah selesai. Kedua belah pihak juga sudah berdamai, kalian diperbolehkan pergi dari sini dan terima kasih atas kehadirannya Pak Dava."

"Sama-sama."

Si guru bukan hanya memanggil orang tua Theo, tapi orang tua Angga juga. Namun, orang tua Angga tak kunjung datang.

Angga melihat ke arah pintu. Ia masih berharap orang tuanya datang. Sudah dua minggu lebih Angga tidak bertemu dengan keduanya. Ia rindu, sangat.

Angga bisa saja menelepon untuk sedikit mereda rasa rindunya, tapi mereka tak bisa dihubungi. Kalau pun bisa, pasti hanya beberapa detik saja.

"Maaf, saya terlambat," ujar seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan seragam pengasuh lalu menghampiri Angga. "Angga tidak apa-apa?" Sang pengasuh merasa khawatir saat mendapat telepeon jika anak majikannya terserempet dalam masalah lagi.

"Telapak tangan Angga lecek sedikit, Bi."

"Mana, bibi mau lihat." Wanita tersebut melihat. "Nanti kita obati." Angga mengangguk sebagai respons.

"Di mana orang tua Angga?" tanya guru tadi.

"Mereka sedang berada di luar negeri saat ini," jawab si pengasuh.

Guru tadi menganggukkan kepala. "Kalau begitu saya pergi dulu, ada rapat yang harus saya hadiri," ujarnya. "Oiya, ini obati Angga." Pria itu menyerahkan kotak obat pada pengasuh Angga, ia pun pergi dari sana.

Setelah kepergian orang tadi, Dava baru sadar ternyata ada Adel yang tak jauh dsri tempatnya berdiri.

"Adel, apa yang kau lakukan di sini? Kau ada urusan ya di sini?" tanyanya ingin tahu dan untuk basa-basi.

"Aku ke sini mengantar pesanan bunga dari pelanggan. Aku tak sengaja bertemu dengan Theo. Theo menceritakan masalahnya tadi. Dia juga memintaku untuk ikut dengannya."

"Apa benar yang dikatakan Kak Adel, Theo?"

Anak itu mengangguk. "Iya, Daddy. Theo tidak ingin Angga mengejek Theo tadi."

"Daddy paham, tapi Theo harusnya bertanya dulu pada Kak Adel, apa dia sedang sibuk atau tidak. Kalau sibuk artinya Theo mengganggu aktivitas Kak Adel."

"Theo salah, Daddy." Ia menatap Adel. "Maaf merepotkan Kakak Cantik."

Adel segera menggeleng. "Jangan minta maaf begitu Theo. Kakak tak merasa dibebani kok. Jadi, tenang saja."

Jujur saja Dava senang bisa melihat Adel lagi tanpa perlu repot-repot putar otak untuk bertemu dengan wanita itu.

Ia juga senang karena kehadiran Adel secara tak langsung membuat Theo merasa lebih baik.

"Adel, terima kasih karena mau menemani Theo. Aku jadi tidak enak karena mengganggu waktu kerjamu."

"Ah, tidak. Aku sama sekali tidak terganggu. Aku senang bisa membantu Theo meskipun hanya sekedar duduk dan melihat saja tadi." Adel tersenyum.

Sontak senyuman Adel membuat Dava terpaku beberapa saat. Jantungnya seperti sedang lari maraton sekarang.

Oh, astaga, apa sekarang waktu yang tepat untuk merasakan perasaan jatuh cinta layaknya muda mudi?

"Jantung, kenapa kau malah berdetak kencang seperti ini sih? Ini bukan waktu yang tepat! Theo baru saja mendapat masalah. Harusnya aku fokus pada Theo," ucap Dava dalam hati.