Setelah pulang sekolah, sikap Theo cenderung lebih diam dari biasanya. Dava senang karena Theo tidak akan membuat kejahilan di rumah, tapi setelah Dava melihat raut wajah putranya, Dava malah menjadi khawatir dan pikirannya penuh dengan tanda tanya.
Kira-kira, apa yang menyebabkan Theo lebih diam dari biasanya? Bukan hanya Theo yang merasa aneh, tapi Anita juga. Anak itu seperti tak bersemangat sama sekali.
Theo bahkan belum mengunjungi Anita di kamarnya. Theo hanya turun untuk makan dan memgambil camilan, sisanya bocah itu akan pergi ke kamar.
"Ada apa dengan Theo hari ini, Dav?" tanya Anita yang baru saja menghabiskan makanannya.
Dava meletakkan piring dan gelas ke atas nampan. Ia hendak pergi, tapi tak jadi karena pertanyaan yang dilontarkan Anita. "Aku sendiri kurang tahu, Mom. Sejak pulang sekolah, anak itu langsung masuk kamar. Saat makan pun dia juga diam, tidak mengoceh seperti biasa."
Anita semakin khawatir. Tak biasanya Theo bersikap demikian. "Apa hari ini terjadi sesuatu padanya? Maksud, mommy ... di sekolah Theo atau kalian bertengkar?"
Dava lupa tidak memberitahu apa yang terjadi di sekolah Theo. Ia sekarang ingat, tapi Dava berencana untuk tetap tidak menceritakannya.
Namun, Anita begitu khawatir dan penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada cucu laki-lakinya tersebut.
Dava menghela napasnya sebelum berbicara. "Sebenarnya hari ini aku dipanggil ke sekolahnya. Theo memgalami masalah hari ini dan mungkin itu yang menyebabkannya menjadi lebih pendiam."
Anita terkejut mendengarnya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sepengetahuannya, Theo merupakan anak baik dan tidak pernah berbuat ulah. Pasti kan ada penyebabnya.
"Masalah? Masalah apa memangnya hingga kau sampai dipanggil ke sekolah Theo?"
Anita semakin cemas dan penasaran. Ia bahkan sudah membayangkan kalau seandainya Theo menjadi anak berandal. Itu merupakan hal terburuk bagi Anita.
"Theo bertengkar dengan temannya di sekolah. Namanya Angga. Angga mengejek Theo tidak punya mommy (ibu). Theo marah. Angga semakin mengejeknya dan akhirnya Theo mendorong Angga. Terjadilah aksi saling mendorong hingga akhirnya Angga terjatuh dan guru pun tahu," jelas Dava.
Telinga Anita seperti merasa umum dengan nama Angga, meski nama Angga itu banyak. Namun, kali ini beda, seakan Theo pernah bercerita.
"Tunggu, kau bilang Theo berkelahi dengan Angga? Angga anak yang sering mengejek Theo dan membuat keonaran di sekolah?"
Dulu Theo pernah bercerita padanya dan juga Dava tentang anak yang bernama Angga. Anita memberi nasihat pada Theo agar menjauh dari Angga, tapi cucunya tersebut malah terlibat perkelahian dengan anak nakal itu.
"Iya, tapi mereka sudah minta maaf satu sama lain. Aku tidak tahu apa lagi yang Theo pikirkan saat ini."
PLAK
Anita memukul lengan Dava hingga pria itu mengaduh kesakitan. Netra Anita mendelik. Ia sebal dengan ketidak pekaan Dava. "Kau ini bagaimana sih Dav? Kau bukan sehari dua hari punya anak, masa iya belum peka-peka juga? Memang, kapan pekanya, Dava?"
Dava malah menjadi bingung sendiri. "Maksudnya? Peka apa sih Mom? Aku tidak paham."
Anita kembali memukul Dava, kali ini sedikit lebih pelan dari yang tadi. "Dasar kau ini! Sebenarnya kau itu anakku bukan sih? Mommymu ini jenis manusia yang peka begitu juga daddymu. Malah anaknya yang tidak peka-peka!"
"Mungkin kalian membuatnya tidak pakai doa."
Anita mendelik. "Mommy serius Dava!"
"Dava juga serius Mom! Apa yang Mom maksud tadi? Jelaskan, baru aku bisa mengerti dengan baik dan benar."
Anita harus banyak-banyak bersabar menghadapi tingkah anak satu-satunya tersebut. "Begini ya anak mommy yang paling ganteng sebumi, Theo bertengkar dengan Angga karena Angga mengejek anakmu tidak memiliki ibu. Pastinya Theo jadi sedih dan marah, makanya dia mendorong Angga. Sebelumnya, Theo tidak pernah sampai begini. Apa kau paham sekarang?"
Dava tertegun, ia tadi sempat memikirkan itu, tapi pikirannya segera ditepis hal yang positif, misalnya Theo memang ingin banyak diam.
"Mommy benar." Dava membawa nampan itu. "Aku akan bertanya padanya."
*****
Dava berdiri di depan pintu Theo. Pria itu ragu untuk mengetuk, takutnya Theo kunci. Netranya menangkap bahwa pintu itu terbuka sedikit.
Tangan Dava memegang knop pintu yang terasa dingin. Ia pun masuk dan menutup kembali benda itu dengan hati-hati. Dilihatnya Theo sedang menggambar dan kini mulai mewarnainya.
"Jagoan Daddy sedang apa nih?" Dava menghampiri Theo. Ia duduk bersila di samping Theo.
Tangan anak itu yang memegang pensil warna pun berhenti. "Theo sedang mewarnai," jawab Theo yang kembali fokus pada kegiatannya.
Dugaan Dava tentang apa yang terjadi pada Theo memang benar. Guratan kesedihan tak bisa ditutupi dengan baik oleh Theo. Theo bukan tipikal orang yang pandai menyembunyikan perasaannya, lagi pula ia juga seorang anak kecil.
"Coba daddy lihat."
Theo memperlihatkan gambar pemandangan air terjun. Dava yang melihatnya merasa kagum. Untuk anak seusianya, gambaran Theo cukup bagus.
"Wah, gambar Theo bagus sekali. Hebat anak daddy." Dava mengacak pelan rambut Theo. "Daddy boleh nanya?"
"Apa?"
"Kenapa hari ini, jagoan daddy murung? Kalau masih kepikiran soal ucapan Angga, daddy harap Theo segera melupakannya. Angga akan senang melihat Theo sedih seperti ini. Theo harus tunjukkin kalau Theo itu kuat seperti baja."
Theo berhenti menggambar. "Bukan itu yang membuat Theo sedih."
Dava bingung dengan jawaban Theo. "Lalu, apa yang membuat jagoan daddy sedih begini?" tanyanya.
Theo berdiri dan mengambil tas sekolah yang ia letakkan di atas meja. Theo membawa benda itu ke hadapan Dava. Anak tersebut mengambil surat undangan.
"Theo tadi dapet surat undangan ini. Kata bu guru, kami harus memberikannya pada orang tua kami."
Dava mengambilnya. Ia segera membuka benda itu. Netranya menangkap dan membaca setiap kata dengaan cermat. Dava menjadi paham setelah ia membaca undangan dari sekolah Theo. Ia menutup benda tadi.
Dava menatap Theo. "Jadi, isi surat ini yang membuat Theo jadi sedih?"
Mata Theo mulai berkaca-kaca. Anak laki-laki tadi mengangguk pelan. "Iya, Daddy. Theo sedih karena tidak bisa ikut lomba itu." Ia menundukkan kepalanya, menahan air mata yang ingin tumpah.
Dava menghela napasnya. Ia sedih melihat putranya seperti saat ini. Dava menegakkan kepala Theo. "Theo jangan sedih seperti ini, daddy ikutan sedih nantinya."
Theo memeluk Dava. Anak itu mulai terisak. "Kk-kata Angga, Theo tidak ada mm-mommy karena Theo nakal. Theo memangnya senakal itu ya Dad? Kata Angga juga, mommy tak mau ketemu sama Theo."
Dava belum menceritakan mengenai ibu Theo. Ia menunggu waktu yang tepat. Pria tadi mengelap air mata Theo.
"Sudah jangan menangis lagi, ya. Theo tidak nakal kok. Daddy akan buat Theo ikut lomba itu."
"Bagaimana caranya?"
"Nanti Theo akan tahu sendiri."
Theo tersenyum. Ia memeluk Dava kembali. "Thank you Daddy."