Anita merasa cemas seketika saat Dava mengabari kalau Theo mengalami demam dari tadi pagi. Anita yang akan makan siang bersama teman-temannya pun menundanya.
Teman-teman Anita juga ikut merasa cemas. Pasalnya, mereka tahu kalau Theo hanya memiliki Dava sebagai orang tua. Teman-teman Anita memutuskan untuk pergi bersama Anita.
Betapa shocknya Anita saat sampai di rumah ternyata tidak ada siapa-siapa. Pelayan rumah mengatakan kalau Dava ada di kantor. Sedangkan Theo ikut dengan Dava dan dalam keadaan baik-baik saja.
Anita bingung harus berkata apa pada teman-temannya. Alhasil ia mencari alasan kalau Theo sedang tidur dan tidak bisa diganggu. Untung mereka mau mengerti.
Sedari tadi ia menelepon Dava, tapi ponsel anaknya itu malah tidak aktif. Anita berdecak sebal.
"Ck! Kenapa ponsel anak nakal itu malah tidak aktif? Awas saja kalau dia sudah pulang." Anita terus saja mengomel. Wanita itu kini duduk di sofa ruang tamu. "Maunya apa coba mengerjai mommynya sendiri? Dasar Dava. Awas ya kamu Dava!" Netra Anita fokus ke depan. Sebelah kakinya ia hentakkan pelan. Anita melihat jam di tangannya. "Mommy akan tunggu sampai jam berapa pun."
Beberapa menit kemudian Anita mendengar suara deru mesin mobil. Wanita itu berdiri dan berjalan ke arah pintu. Anita memilih untuk melihat Dava melalui jendela rumah.
"Kenapa malah duduk diam di mobil? Dia takut aku akan mengomelinya? Huh, siapa suruh mengerjai mommynya sendiri."
Dua menit kemudian Dava dan Theo turun dari mobil. Mereka sedang berbicara dengan Theo yang berada di gendongan Dava.
Anita pun berdiri di tengah pintu utama. Ia bersedekap sembari memandang datar wajah Dava.
Dava melihat ibunya berdiri di sana pun langsung segera memikirkan cara supaya Anita tak mengomelinya panjang lebar.
Dava menurunkan Theo dari gendongannya waktu ia berdiri tepat di depan Anita. Theo segera pergi menuju kamar, seperti yang diperintah Dava.
Dava maju beberapa langkah. "Kenapa berdiri saja di sini, Mom? Ayo masuk."
"Jangan coba mengalihkan topik pembicaraan Dava!" Anita jelas tahu betul bagaimana Dava yang berusaha membelokkan pembahasan yang bahkan belum dimulai. "Kenapa kamu membohongi Mommy? Jawab!" Wajah garang Anita pun semakin garang.
Dava kebingungan dalam menjawab. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sebenarnya yang mengirim pesan bukan aku, tapi Theo."
Dava cukup sering mengkambing hitamkan Theo jika berhadapan dengan kemarahan Anita. "Maafin daddy, Theo," batin Dava.
Anita merasa janggal dengan jawaban Dava. Ia memicingkan mata. Seolah ingin mendeteksi seberapa jujur Dava. "Jangan bohong, Dav!"
"Untuk apa aku bohong, Mom?" Dava memasang wajah seriusnya. "Apa untungnya aku bohong? Yang ada Mommy akan memarahiku habis-habisan. Mommy kan tahu sendiri kalau aku tidak suka dimarahi."
"Benar juga," ucap Anita dalam hati.
"Oke, mommy percaya. Tapi awas kalau kamu bohong! Mommy jewer telinga kamu!" Setelah mengatakan ancamannya, Anita pun masuk rumah.
Dava yang mendengar dengan jelas ancaman Anita pun refleks memegang telinganya. "Sadis amat jadi ibu." Ia bergidik ngeri membayangkan dirinya yang sering kali dijewer oleh Anita.
*****
Dava kira Anita akan langsung pergi begitu Dava menjelaskannya tadi. Namun, Anita justru sedang asyik menemani sang cucu tercinta bermain.
Dava tidak keberatan sama sekali jika Anita berlama-lama di rumahnya. Tinggal pun tak ada masalah, tapi Dava tak suka saat Anita menceramahinya tentang dirinya yang kerap kali lembur hingga jarang ada waktu untuk Theo.
Ia tahu kalau maksud Anita baik, tapi mau bagaimana lagi? Dava punya perusahaan yang harus dijalankan. Para karyawan bergantung pada kinerjanya.
Jika perusahaan bangkrut atau semacamnya, maka akan ada banyak karyawan yang harus dipangkas. Pengangguran akan meningkat begitu juga dengan kejahatan.
Dava kembali melihat layar laptopnya, ia berada di sofa tak jauh dari mereka berdua.
Salah seorang pelayan menghampiri Anita. Pelayan itu berkata, "Makan malam sudah siap, Nyonya."
Tangan Anita yang sibuk mewarnai buku gambar pun terhenti. Ia menatap ke arah pelayan. "Kau boleh pergi." Anita menoleh pada Theo. "Theo, udahan warnainnya yuk. Makanannya sudah matang. Theo lapar kan?"
Theo berhenti sembari menatap Anita. Ia memegang perutnya dan mengangguk. "Iya. Perut Theo ingin makan katanya."
Anita terkekeh dengan tingkah lucu cucunya. Ia berdiri dan menggandeng Theo menuju ruang makan. "Dava, saatnya makan malam."
"Iya, Mom. Aku akan menyusul."
"Anak itu, selalu saja." Anita dan Theo menuju wastafel, hendak mencuci tangan. "Ayo cucu nenek cuci tangan dulu."
Theo mengangguk. Anak itu mulai mencuci tangan dengan diperhatikan Anita. "Sudah Nenek."
"Theo ke meja makan duluan."
Theo berjalan ke arah meja makan. Ia pun duduk di kursi dan meja khusus yang disiapkan untuknya.
Dava ikut duduk di samping Theo. Dava mulai menyiapkan piring untuk Theo makan. "Mau apa?" tanyanya pada Theo.
Theo melihat hidangan yang tersaji di meja makan. "Theo mau ayam goreng, oseng jamur, dan tempe."
Dava menaruh makanan yang ditunjuk ke atas piring Theo. Anak itu kegirangan melihat ayam goreng kesukaannya. Anak itu pun makan dengan hikmad.
Anita duduk di sebarang Dava. Ia menatap Dava. "Berapa kali aku harus bilang padamu, Dav, cuci tangan dulu."
Dava yang hendak menyendokkan nasi beserta lauk ke dalam mulutnya pun terhenti dan menaruhnya ke piring. "Mom, tanganku tidak kotor dan aku sudah cuci tangan sebelumnya. Tenang saja, jangan khawatir berlebihan, Mom."
Anita menghela napas kasar mendengar nada ketidak pedulian Dava pada diri sendiri. "Kamu itu sibuk kerja. Jadi, apa-apa harus bersih. Nanti kalau kotor, kamu bisa sakit perut." Wanita tersebut menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.
"Iya, Mom."
"Iya, iya doang, tapi tetep diulangin terus. Makanya, cepet cari istri sana biar ada yang ngurusin."
"Mulai lagi kan," ujar Dava dalam hati.
Beberapa saat ke depan, Anita terus saja memberi nasihat dan petuah bijak untuk Dava. Sedangkan Dava hanya menganggukkan kepalanya.
Bukannya dia tak mau mendengar nasihat Anita, tapi ia sudah hafal setiap kalimat, saking seringnya Anita memberi petuah yang sama.
Theo mulai merasa terganggu. Ia berbisik pada Dava. "Daddy, Nenek kerasukan macan galak lagi ya?"
Dava membulatkan mata dan segera menutup mulut anaknya. Nada suara Theo bukan sedang bisik-bisik. Takut-takut, Dava melihat ke arah Anita yang sedang menatapnya juga.
"Mom denger tidak ya tadi?" batin Dava bertanya tanya.
Anita samar-samar mendengar kata 'macan galak', ia lantas bertanya, "Theo Sayang, tadi apa yang kamu bilang pada daddymu?" Theo menggeleng. "Kalau mau bilang, nenek akan bawakan es krim besok."
Mata Theo berbinar. Sedangkan Dava memasang sinyal waspada. Ia memundurkan kursinya serta memasang kuda-kuda.
"Kata daddy kalau Nenek marah-marah, tandanya Nenek kerasukan macan galak."
Anita terkejut. Ia menatap Dava yang hanya memberikan senyum tidak berdosanya. "Dava!"
"Sorry Mom." Dava segera berlari sebelum Anita mengamuk.
Anita mengejar Dava dengan membawa sendok sayur. "SINI KAMU DAVA! ANAK NAKAL!"
Sedangkan Theo teryawa terbahak-bahak menyaksikan aksi kejar-kejaran tersebut.