Dava yang sedang berada di kantor rekan bisnisnya pun dibuat kaget bercampur khawatir saat Anita mengabari kalau dia mengalami kecelakaan kecil.
Dava walaupun suka iseng pada Anita, pria itu sangat lah sayang pada ibunya. Terlebih saat ayahnya tiada, rasa ingin melindungi Anita pun semakin kuat.
Untunglah saat Anita menelepon, ia baru saja selesai meeting. Dava segera ke tempat yang dimaksud Anita. Keadaan Anita tidak separah apa yang dibayangkan.
Bahkan, Anita masih saja mengomel karena Dava tak kunjung datang. Itu menandakan, kalau Anita baik-baik saja. Hanya kakinya yang terkilir.
"Kenapa Mom bisa kecelakaan?" tanya Dava setelah membantu Anita naik ke tempat tidur.
Saat ini mereka berada di kediaman Dava. Jarak klinik lebih dekat dari rumah Dava dibanding Anita. Dava memutuskan untuk membawa Anita tinggal bersamanya sampai wanita itu sembuh. Dava membawa Anita ke kamar bawah agar memudahkan ia dan Anita untuk keluar.
"Kan di klinik mommy sudah jelaskan bagaimana ini bisa terjadi. Apa sekarang anak mommy satu-satunya mulai pikun? Padahal ingataan mommy masih sangat kuat."
Satu lagi sikap yang menurut Dava menganggu, ialah saat Anita sedang sakit atau hanya kurang enak badan saja, wanita itu seakan terus mengejeknya ini dan itu.
"Mom. Ayo lah yang serius sedikit. Maksudku, bagaimana Mommy bisa berada di sana? Biasanya beli bunga juga tidak di sana."
Dava terkejut tadi saat Anita bercerita tentang toko bunga yang baru wanita tersebut kunjungi. Toko itu ada Adel yang menjadi salah-satu karyawannya.
Ia ingin bertanya apakah ibunya bertemu dengan Anita atau tidak? Tapi bisa-bisa Anita jadi curiga dan malah mencari tahu tentang Adel.
"Ya, mommy hanya lewat saja awalnya. Terus mommy lihat bunga-bunga di sana cantik dan segar. Akhirnya mommy masuk dan memesan bunga untuk diitaburkan ke makam daddymu," jelas Anita.
Dava menganggukkan kepala tanda dirinya mengerti. "Ya, sudah kalau begitu Mommy harus banyak istirahat. Aku akan mengantarkan makanan ke kamar. Habis itu Mommy harus minum obat supaya cepat sembuh."
"Iya," jawab Anita. Mulut Anita sempat terbuka, tapi ia tutup kembali.
"Mommy ingin mengatakan sesuatu?" tanya Dava melihat gelagat Anita yang ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
Anita menggeleng. "Tidak. Bukan hal yang penting," celetuknya. "Sudah, sana pergi. Katanya mau bawakan makanan ke sini. Kok ya masih berdiri kayak patung."
"Iya ini Dava mau pergi."
Dava pun akhirnya pergi. Anita tadi hendak mengatakan siapa penolongnya. Namun, entah karena alasan apa, tiba-tiba di saat terakhir Anita mengurungkan niatnya.
Ceklek.
Pintu terbuka. Bukan Dava yang masuk, tapi Theo. Bocah itu mendekat sembari menatap neneknya. Ia sudah mendengar tentang Anita yang mengalami kecelakaan.
"Cucu Nenek kenapa diam saja?" Anita menepuk sisi tempat duduknya, mengisyaratkan agar Theo duduk di sisinya. "Ayo, sini duduk."
Theo tidak menjawab, tapi ia langsung menuruti perkataan Anita. Theo menatap neneknya lekat-lekat. Air mata seketika jatuh. "Nenek." Isakan pun terdengar dari mulutnya.
"Hei kok cucu nenek nangis? Kenapa?" Anita menghapus air mata Theo. Theo memeluk tubuhnya. Anita mengelus punggung cucunya tersebut. "Kenapa nangis? Ada yang jahil sama Theo ya di sekolah?"
Theo juga pernah menangis, lalu memeluknya seperti ini. Waktu itu ada teman Theo yang mengejek karena tidak punya ibu. Anita yang mendengar bagaimana Theo bercerita dengan linangan air mata membuatnya sedih dan menahan tangis.
Theo menggeleng. "Bukan." Ia melepaskan pelukannya.
"Lalu karena apa, Sayang?"
"Theo sedih karena Nenek sakit. Kata daddy kaki Nenek sakit dan tidak bisa dibut jalan. Pasti rasanya sakit." Theo kembali menangis.
Anita tersenyum samar. Ia tersenyum karena bahagia melihat kepedulian Theo untuknya. Meski Theo tumbuh tanpa seorang ibu, tapi kelakuan Theo sangat baik dan penurut.
Anita sering sekali melihat anak yang bertindak sesuka hati, faktornya karena kurang mendapat kasih sayang dari salah-satu atau kedua orang tua.
Itu lah yang dikhawatirkan Anita. Anita tak ingin Theo menjadi anak pembangkang. Namun, gelagat yang ditunjukkan Theo berkebalikan.
Walaupun Theo masih kecil dan saat dewasa sikapnya bisa berubah, tapi setidaknya ada nilai-nilai baik yang ada di dalam diri bocah itu.
"Sekarang kan nenek sudah dalam keadaan baik. Theo jangan khawatir ya. Jangan menangis lagi." Anita mengusap sisa air mata cucu laki-lakinya itu.
Kedua orang itu memandang ke arah pintu begitu mendengar suara. Dava membawa makanan, minuman, serta obat untuk Anita. Ia menaruh di atas nakas. "Waktunya makan Mom. Theo, ayo ikut daddy."
Theo menggeleng. "Theo masih pengen di sini Daddy."
"Nenek sedang sakit. Nenek mau makan. Kita tidak boleh mengganggunya."
Dava ingin Anita istirahat total. Menurutnya, Theo bisa berpotensi menganggu masa pemulihan Anita. Ya tahu sendiri lah bagaimana anak kecil itu.
"Tapi Theo masih mau di sini Daddy. Theo janji tak menganggu nenek. Iya kan Nek?" tanya Theo yang sedang mencari dukungan Anita.
Anita tersenyum sembari mengelus kepala Theo. "Iya." Kini netranya ia alihkan kepada Dava. "Biarkan Theo di sini menemani mommy. Mommy sama sekali tidak keberatan atau merasa terganggu dengan keberadaan Theo." Theo yang merasa Anita ada di pihaknya pun menjulurkan lidah ke arah Dava.
Dava membulatkan matanya. "Dasar bocil, untung anak sendiri," ucap Dava dalam hati.
Dava mau tak mau menyetujuinya. "Theo minggir dulu, nenek mau makan."
"Theo mau menyuapi Nenek." Seumur umur, Theo belum pernah menyuapi orang lain. Yang ada, orang lain yang menyuapi anak itu.
Dava dan Anita pun cukup terkejut. Anita terharu melihat betapa pedulinya Theo padanya.
"Biarkan saja anakmu, Dav." Disuapi oleh Theo kedengarannya ide bagus. "Ayo, suapi nenek."
Theo mengangguk. Anak itu mengambil piring yang ada di atas nakas, menyuapkan makanan ke dalam mulut Anita. Anita menerima dengan senang hati.
"Enak, Nek?"
Anita mengangguk pelan. Ia menelan makanan itu baru menjawab, "Iya. Kalau Theo yang suapin, makanannya makin bertambah enak."
Theo merasa senang mendapat pujian. Ia pernah melihat Dava merawat Anita yang sedang sakit dan Dava mendapat pujian dari Anita dan orang lain.
Theo juga ingin merasakannya. Ia tidak mau kalah dengan Dava. "Berarti suapan Theo lebih enak dari suapan daddy kan, Nek?"
Anita melihat ke arah Dava yang hanya memandang malas Theo. "Iya, lebih enak kalau Theo yang menyuapi." Wanita itu ingin membuat Theo bahagia dengan pujian kecil yang dirinya beri.
Theo merasa bahagia bisa mengungguli Dava. "Daddy dengar kan apa yang dibilang nenek?"
"Hm," jawab Dava yang terkesan tak peduli.
Theo terus menyuapi Anita hingga makanan yang ada di piring habis tak tersisa. Theo mengambil minuman serta obat Anita. Anak itu bergidik ngeri saat Anita menelan tiga obat besar sekaligus.
"Theo dan daddy keluar dulu, ya Nek. Nenek istirahat."
"Iya."
Sebelum pergi, Theo mencium pipi kanan dan kiri Anita. Tentu dengan perintah Anita.