Tahap revisi seperti typo, alur.
*****
"Kita nggak bisa lanjutin hubungan ini Del." Ucapan Bima bagai badai di tengah cuaca cerah.
Laki-laki yang bernama Bima itu memutuskan hubungan begitu saja dengan Adel. Sebelumnya, hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada masalah atau semacamnya. Bahkan, tadi malam Adel dan Bima telponan seperti biasa. Tidak ada gelagat yang mencurigakan.
"Apa katamu?" Adel tidak bisa percaya atas apa yang didengarnya ini. "Kita putus? Tapi kenapa? Apa aku membuat kesalahan? Jawab, Bim! Apa salahku sehingga kamu ingin kita putus." Adel mendesak Bima untuk mengatakan yang sebenarnya. "Kita pacaran sejak dua tahun yang lalu dan selama itu, tidak ada masalah besar. Kamu juga tidak pernah mengeluhkan sikapku, begitu pun juga aku."
Bima tak langsung menjawab. Dia menatap kopi di depannya—saat ini mereka tengah berada di salah-satu cafe di Jakarta. Netranya beralih menatap Adel. Ia pun berkata, "Kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku ... aku berpikir selama kita menjalani LDR ini, kalau kita memang tidak bisa bersama."
Diketahui Adel dan Bima menjalin hubungan selama dua tahun dan satu tahun terakhir ini mereka menjalani LDR karena Bima harus berkerja di luar kota. Mereka pun sangat jarang bertemu secara langsung.
"Tapi apa alasannya, Bim? Aku butuh alasan yang lebih spesifik." Seketika itu pula Adel teringat akan salah-satu artikel yang memuat tentang rawan putusanya hubungan yang menjalani LDR. "Apa ada wanita lain? Maksudku saat kita ...."
"Ya," jawab Bima tanpa keraguan. "Aku menemukan wanita yang lebih cocok untukku. Dia banyak memiliki keunggulan yang aku inginkan. Dia sangat kompeten dalam bekerja."
Dada Adel terasa sesak mendengar pengakuan Bima. Sebelum mereka memutuskan untuk berpacaran, Adel sudah katakan kalau dirinya bukan lah wanita dari kalangan berada atau pun memiliki pendidikan yang tinggi. Bima bilang waktu itu tidak mempermasalahkannya, tapi sekarang apa?
"Kau bilang—"
"Aku salah. Ternyata menyukai orang yang memiliki keunggulan yang kita miliki jauh lebih menyenangkan." Bima berdiri. "Aku harus pergi, Monika menungguku di dalam."
Adel menatap kepergian Bima dengan tatapan sendu. Ia memejamkan mata, mencoba mengurangi rasa sesak yang masih mengganjal di hatinya.
*****
Adel tak bisa menghentikan tangisannya kala mengingat Bima yang memutuskannya secara sepihak. Ia mengambil tisu untuk mengelap air matanya.
Adel juga tak memperhatikan pintu apartemen Maya yang terbuka. Ya, wanita itu saat ini sedang berada di apartemen milik temannya yang bernama Maya.
Maya yang melihat Adel masih menangis hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia pergi Adel masih menangis dan saat kembali wanita itu masih menangis. "Udah lah Del. Lupain tuh manusia laknat! Dia nggak pantes buat lo tangisin. Harusnya dia nyesel karena udah nyia-nyiain lo." Maya menaruh belanjannya di meja dapur dan kembali ke ruang depan.
"Susah, May. Kita udah pacaran dua tahun. Tadi malem dia telepon pengen ketemu sama gue, tapi pas kita udah ketemu dia malah minta putus." Adel masih menangis. Di cafe ia menahan mati-matian tangisannya. Adel tak ingin Bima menganggapnya lemah.
"Iya, gue tahu, tapi gimana lagi? Lo juga pastinya nggak mau kan buat mohon-mohon biar kalian tetep lanjut. Jadi, berhenti menangis Del. Tuh, tisu gue abis lama-lama. Stok terakhir itu. Gue lupa beli tadi. Kalo kayak gini caranya, tadi gue beli deh tisu sepabrik pabriknya," gurau Maya.
"Becandaan lo nggak lucu!"
"Lah, gue nggak bercanda Neng Adel. Abang emang mau nyetok tisu buat Eneng. Siapa tau nangisnya sampai tahun baru."
Adel menatap datar Maya. Ia tahu temannya ini mencoba untuk menghiburnya. Adel lemparkan kotak tisu kosong pada temannya tersebut. "Tuh, makan kotak tisu."
"Galak bener jadi orang."
Punggu Adel disandarkan pada sofa. Ia memilih menyalakan tv dan mengambil toples yang berisi keripik pisang. Tak lupa kedua kakinya ia taruh di ata meja. Saluran tv yang dipilihnya ialah kartun dari negara tetangga. Bukan yang kepalanya botak, tapi yang tokoh utama memiliki power hingga bisa pecah jadi tiga orang.
"Eh buset, tuh kaki sopan banget," sindir Maya yang hanya bergurau saja.
"Berisik lo. Udah diem."
Sesekali gelak tawa terdengar dari Adel ketika menyaksikan adegan yang dianggapnya lucu. Melihat hal itu, Maya menjadi merinding sendiri. "Tadi dia nangis kejer, tapi sekarang malah ketawa ketiwi kayak orang sinting."
Namun, Maya bersyukur temannya ini bisa tersenyum kembali meski sementara. Maya memutuskan untuk ikut menonton. Kedua perempuan itu pun larut dalam menonton.