"Serius lah. Ngapain juga gue bohong."
Maya mengangguk-anggukan kepalanya. "Bener juga sih. Ngapain juga lo bohong. Trus, lo nggak malu gitu? Dia bilang apa ke elo?" Ia kemudian melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ya, awalnya sih gue kaget, tapi sekuat tenaga gue tahan ekspresi gue. Untuk dianya sendiri sih kayaknya dia lupa. Wajahnya baisa aja gitu. Ya, udah bisa ditebak lah. Mana mungkin dia inget sama gue." Memikirkan ayah Theo membuat Adel tak suka. Entah kenapa Adel ingin diingat oleh pria tersebut.
"Ngapain gue malah ngarepin itu?" batin Adel.
Maya melototkan matanya seakan akan ingin meloncat keluar dari tempatnya. "Gawat del!" Maya mengguncangkan lengan Maya. "Gawattt! Kenapa gue baru sadari sih. Astaga." Ia mengacak rambutnya.
Adel mengeryitkan keningnya. "Kenapa sih lo? Gawat? Gawat apanya? Apa yang gawat?" Ia melihat ekspresi Maya yang begitu terkejut. "Hei, May, jawab elah. Gawat apanya? Jangan nakutin gue deh."
"Anak kecil yang lo temuin itu kan ternyata anak dari laki-laki yang waktu itu di club. Nah berarti, dia udah punya istri dong? Berarti ...."
Maya dan Adel saling berpandangan. "Eh, amit-amit. Emang sih gue suka banget ama yang namanya cogan apalagi punya body goals, tapi kalau udah punya istri ya gue mundur. Gue tahu diri, May. Tapi ya kok udah laku aja sih laki-laki seganteng dia." Adel menghela napasnya berat.
"Nggak jodoh kali," ujar Maya. "Eh, tapi kalau dia single daddy gimana? Lagian ya, kenapa dia malah pergi ke club kalau udah punya istri."
Adel mengedikkan bahu. "Mana gue tahu. Bisa jadi dia lagi ada urusan kantor atau pekerjaannya atau malah ayahnya Theo itu suka mainin wanita, ya." Ia bergidik ngeri jika apa yang ada dalam benaknya benar. Sungguh disayangkan kalau hal tersebut terjadi.
"Amit-amit, tapi sayang banget kalau emang bener." Maya berdiri. "Gue pulang dulu, ya. Apartemen gue belum dibersihin."
Adel menganggukkan kepala. "Yaudah gih sana pulang. Kebiasaan banget apartemen belum dibersihin. Udah tau kalau ke tempat gue lo bakalan berabad abad di sini."
Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe. Gue pulang dulu."
"Hm."
*****
Di kediaman Dava.
Dava dan Theo saat ini sedang sarapan. Theo memakan makanannya dengan lahap. Anak kecil itu memang tidak pemilih dalam hal makanan. Hal itulah yang disyukuri Dava, ia tak perlu repot repot membujuk rayu anaknya agar memakan sayuran.
Theo menyendok dengan banyak. Lalu dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil. Saat mengunyah, pipi gembulnya semakin mengembang dan jangan lupakan sisa makanan yang ada di sekitar bibir anak itu.
Theo melihat ke arah Dava. Ayahnya itu sedang termenung sembari tersenyum sendiri. "Daddy," panggilnya. Namun, Dava tak kunjung menyahut. "Daddy." Lagi-lagi Dava juga tak merespons. Wajah Theo sudah tertekuk karena merasa diabaikan. "DADDY!" Akhirnya Theo berteriak.
Dava tersentak mendengar teriakan anaknya di pagi hari. Ia melihat ke arah Theo. "Ada apa Theo? Kenapa berteriak? Daddy sudah melarangmu untuk tidak berteriak."
Theo mengerucutkan bibirnya. "Habisnya Daddy dari tadi diem aja. Theo pangil tidak nyaut."
Dava baru tersadar kalau sedari tadi ia melamun. Memikirkan pertemuan keduanya dengan Adel kemarin. Pertemuan singkat itu membuat Dava hilang fokus sampai Theo merasa diabaikan olehnya.
"Maaf, ya. Daddy salah karena mengabaikanmu."
"Kenapa Daddy senyum terus dari tadi?"
Dava terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. "Oh, itu. Daddy mencoba makanannya dan rasanya sangat enak." Ia lalu memakan sarapannya. "Hmmm, sangat enak."
"Tapi Daddy, makanan ini memang enak seperti biasa."
Dava kehabisan kata-kata. "Ayo, kita berangkat. Theo ada senam pagi, kan?" tanyanya sebagai pengalih perhatian.
"Iya. Ayo Daddy kita berangkat." Anak itu kemudian meminum susunya hingga tandas.
"Theo. Apa Theo masih ingat di mana tempat tinggal kakak cantik?" tanya Dava. Ia berharap anaknya ini tahu.
"Theo lupa Daddy."
"Pulang sekolah daddy akan menjemput Theo. Theo ingat-ingat lagi ya jalan menuju rumah kakak yang nolong, Theo."
Theo mengangguk. "Iya, Theo akan inget-inget lagi Daddy, tapi belikan Theo es krim ya?"
"Modusmu pinter sekali, Nak," batin Dava.
Dava mengangguk. "Iya, Daddy akan belikan nanti, tapi Theo harus ingat ya di mana rumah kakak cantik."
"Siap, Daddy."
*****
Setelah pulang sekolah.
Seperti janji Dava. Ia membelikan es krim rasa cokelat di dekat sekolah anak itu. Sekarang mereka berada di dalam kedai, duduk dan menikmati es krim. Sebenernya cuma Theo yang makan es krim.
Dava tidak begitu suka makanan atau minuman yang manis atau terlalu manis. Es krim salah satunya. Waktu kecil Dava pernah sakit gigi. Berhari-hari dia menangis dan setelah sembuh ia akan memakan es krim secukupnya.
Berbeda halnya dengan Theo, anak itu sangat menggemari es krim. Hampir semua varian rasa sudah Theo coba. Hal itu lah yang membuat Dava harus menjadi lebih waspada jika Theo mulai merengek meminta es krim.
Untungnya, di sekolah Theo, makanan yang ada di kantin sangat selektif dan hanya makanan sehat yang boleh ada di sana. Tak heran jika biaya sekolah Theo bisa mencapai ratusan juta setiap tahunnya.
"Ayo Theo kita pergi," ajak Dava setelah melihat es krim Theo habis.
Theo mengangguk. "Ayo, Daddy. Habis Theo makan es krim, Theo udah inget tempat tinggal kakak cantik."
"Alah, bilang aja cuma modus biar dibeliin es krim. Sok sok'an lupa. Dasar bocil. Untung anak sendiri," ujar Dava dalam hati.
Theo dan Dava berjalan ke arah mobil. Keduanya pun masuk. Dava melirik anaknya. "Theo beneran yakin kan kalau udah inget alamatnya?"
Theo mengangguk. "Iya, Daddy. Theo kan habis makan es krim."
"Es krim terus yang diomongin," batin Dava.
Dava menjalankan mobilnya. Selama dalam perjalanan, Theo memandu Dava ke jalan yang benar. Awalnya Dava sempat ragu, pasalnya Theo terlihat kurang percaya diri saat mengatakannya.
Mereka akhirnya sampai. Dava melihat rumah sederhana di seberang jalan. "Seperti rumah kontrakan," gumam Dava.
"Ini rumahnya, Theo?" tanya Dava.
"Iya, Daddy. Rumah kakak cantik ada di sini." Theo melihat Dava. "Daddy, kenapa kita tetep di sini? Ayo turun."
"Tunggu dulu Theo. Kita lihat dulu."
"Kenapa dilihat? Kan sudah kelihatan. Ayo Daddy kita masuk. Theo ingin bertemu dengan kakak cantik." Theo terus merengek tiada henti. Rengekan anak itu membuat Dava mau tak mau mengiyakan perkataan putranya.
Dava menggandeng Theo menuju rumah Adel. Degup jantung Dava berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia pun memegangi bagian tersebut.
Dava khawatir bukan karena takut salah rumah, tapi ia seperti tidak siap dan tidak tahu harus berkata apa nanti saat Adel membuka pintu.
"Kenapa tadi nurut kata Theo? Jadinya akward gini kan." Dava membatin.
Dava dan Theo sampai di depan pintu rumah Adel. Tidak ada bel untuk dibunyikan. Akhirnya Dava mengetuk pintu di depannya.
Tok tok tok
Belum ada sahutan atau tanda-tanda pintu akan terbuka. Mereka berdua masih setia menunggu. Saat Dava ingin mengetuknya lagi, pintu pun terbuka.
"Iya, siap---" Perkataan Adel terhentu saat melihat siapa yang berkunjung.