Chereads / Skenario Cinta / Chapter 11 - Siapa Laki-Laki Itu?

Chapter 11 - Siapa Laki-Laki Itu?

Semenjak kencannya bersama Siska, Anita sudah tak menerornya lagi. Dava bisa bernapas lega akan hal itu. Setidaknya ia tak merasa pusing harus menghadapi berbagai sifat wanita yang hendak dijodohkan Anita padanya.

Adel.

Tiba tiba saja nama wanita itu terlintas di kepala Dava. Sudah berhari-hari Dava tak melihat atau mengunjungi wanita itu. Dava memeriksa galeri ponselnya, di sana ia membuka sebuah folder yang hanya berisi foto-foto Adel dalam kesehariannya.

Dava memang sengaja memerintahkan orang untuk memotret Adel diam-diam. Ia tahu tindakannya ini jelas sangat tidsk sopan, bahkan bisa saja ia dituntut, tapi jika tidak ketahuan ya tak masalah kan? Lagi pula, ia bukannya bermaksud jahat.

Dava hanya ingin menyimpan untuk dirinya sendiri. Ia tersenyum sembari memandang salah-satu foto Adel yang sedang membawa rangkaian bunga.

"Cantik," gumamnya.

Dava merasa tertarik pada Adel sejak pandangan pertama. Ia belum yakin apa yang dirasakannya ini adalah cinta atau hanya sekedar rasa penasaran akibat insiden di tempat malam saat itu.

"Daddy." Theo membuka pintu kamar Dava. Ia melihat Dava yang sedang setengah tiduran di atas ranjang sembari memegang ponsel dengan senyum yang merekah. "Daddy." Panggilan Theo tak didengar oleh Dava. Anak itu memnerengut kesal. Ia menghentak-hentakkan kakinya dan langsung melompat ke kasur Dava.

Dava terkejut karena merasakan goncangan, ia pikir tadi gempa bumi atau musibah mengerikan lainnya. Namun, saat laki-laki itu menoleh ke samping, ia melihat wajah Theo yang tampak kesal.

Dava mematikan ponsel dan menaruh benda itu di atas nakas. "Jagoan daddy kenapa terlihat kesal, hm?" Dava mendudukkan Theo ke pangkuannya. Ia mencium puncak kepala anak itu.

Theo masih belum bicara. Ia kesal karena diabaikan. "Theo kesal pada Daddy. Pokoknya Theo Ngambek!" Theo bersedekap sembari membuang mukanya ke sembarang arah.

Bukannya marah atau bagaimana, Dava justru terkekeh melihat Theo yang sangat menggemaskan di matanya.

Malaikat kecilnya ini sungguh bisa membuat harinya menjadi berwarna setiap harinya. Dava bersyukur karena Theo dikirimkan Tuhan untuknya. Ya meski Theo harus tumbuh tanpa ibu.

Terkadang, Dava mengeluh pada Tuhan tentang kenapa Theo tak bisa menerima kasih sayang. Anaknya ini tidak bersalah, lalu kenapa harus hidup tanpa sosok ibu? Itu sangat sulit.

Dava tersenyum dan berkata, "Theo jangan marah lagi ya. Maafin Daddy karena mengabaikan Theo. Maaf, ya."

Theo masih diam dan tak ingin melihat wajah Dava. Dava harus putar otak agar putranya ini mau bicara lagi padanya. Satu ide bagus tercetus.

"Kalau Theo maafin daddy, daddy mau membawa Theo menemui kakak cantik. Di sana Theo bisa meminta kakak cantik untuk membuatkan puding cokelat kesukaan Theo."

Tawaran Dava menggiurkan, sangat menggiurkan di mata anak itu. Theo yang pada dasarnya hanya anak kecil pun luluh.

Ia melihat ke arah Dava sembari tersenyum. "Daddy janji akan membawa Theo menemui kakak cantik?" Jari kelingking bocah itu dihadapkan di depan wajah Dava.

Dava mengaitkan kelingkingnya dan juga Theo. "Daddy janji, tapi Theo juga harus janji kalau kalaub Theo harusmaafin daddy. Jangan marah lagi. Theo mau kan?" tanyanya.

Theo mengangguk. "Theo janji."

Dava tersenyum bahagia. Ia mengacak pelan rambut anaknya tersebut. "Nah, itu baru anak daddy. Sekarang ayo kita ke rumah kakak cantik."

Theo mengangguk beberapa kali. "Tapi Theo ingin makan di luar dulu daddy." Theo menepuk perutnya. "Perut Theo mengecil. Theo lapar."

"Ayo kita pergi."

*****

Theo dan Dava telah sampai di salah-satu restoran yang tak begitu jauh dari toko bunga Adel.

Dava turun dan segera membawa anak itu ke dalam gendongannya. Hari ini Theo memang lebih manja dari sebelumnya. Walau begitu, ia tak merasa keberatan. Justru Dava bisa lebih dekat pada anaknya ini, layaknya seorang ibu.

Saat memasuki restoran yang tak begitu ramai, bunyi lonceng pun menyambut indra pendengarannya—lonceng itu diletakkan di atas pintu masuk, hingga siapa pun yang membukanya langsung terdengar bunyi benda itu. Tenang, lonceng itu berbunyi tak nyaring, bahkan nyaris pelan, hingga tak khawatir pelanggan lain akan terganggu.

Atensi para pelanggan terutama para wanita langsung terpusat pada Dava yang sedang menggendong Theo.

Wanita-wanita itu terpana akan ketampanan Dava. Terlebih ada Theo yang berada di gendongannya, menambah kesan hot daddy.

Beberapa pria tampak terganggu karena kekasih mereka malah sibuk memperhatikan orang lain.

Dava tak memedulikan tatapan-tatapan penuh kagum itu. Ia terus berjalan hingga sampai di tempat tujuannya. Dava mendudukkan Theo di sampingnya.

Pelayan yang melihat pelanggan baru duduk pun segera menghampiri. "Mau pesan apa, Mas?" tanya si pelayan.

Dava melihat buku menu. "Theo mau pesan apa?" tanyanya pada anak semata wayangnya itu.

"Theo mau ayam goreng sama milkshake," jawab Theo yang sekarang tengah fokus bermain rubik.

"Saya pesan ayam goreng dan nasi goreng seafood. Untuk minumnya, milkshake dan jus jeruk."

"Itu saja?" tanya si pelayan yang selesai mencatat pesanan Dava.

"Hanya itu."

"Baik, pesanannya segera datang." Pelayan itu pun pergi.

Dava melirik ke arah Theo. "Theo main apa sih? Kok wajahnya serius." Ia mencubit pelan salah-satu pipi Theo.

Theo segera melepaskan tangan pada pipi gembulnya. "Daddyyy! Jangan ganggu Theo. Theo lagi main," ujarnya yang masih fokus menyelesaikan sususan warna rubik miliknya.

Dava ingin tertawa melihat kekesalan Theo. Ia memang sering kali membuat sang anak jengkel seperti ini. Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri untuk bersama Theo sekaligus menjahili anak itu.

Rasanya menyenangkan saat melihat wajah kesal bocah itu yang tampak sangat lucu. "Iya, iya, maafin daddy. Yaudah, Theo fokus mainnya."

"Hm."

Dava membuka ponselnya. Kali ini bukan untuk melihat potret Adel, tapi untuk mengecek email dan pesan yang masuk.

Dava kemudian memasukkan kembali benda pipih nan canggih itu ke dalam saku.

Ia menatap ke depan, tepat saat itu juga ia melihat Adel masuk bersama laki-laki lain. Dava terkejut. Ia menatap tajam si laki-laki yang dengan seenaknya merangkul pundak Adel. Adel bahkan tidak merasa keberatan sama sekali.

"Siapa laki-laki itu? Beraninya di mendekati Adel!" batinnya menjerit tak terima. Saat ingin berdiri, pesanannya pun datang.

Dava berkata pada Theo, "Taruh dulu rubiknya. Makan dulu, ayo."

Theo mengangguk. Ia meletakkan benda itu di atas meja. Mata bulat kecilnya berbinar melihat makanan dan minuman kesukaannya. Ia pun segera mengambil paha ayam yang terlihat menggugah selera.

"Makannya pelan-pelan Jagoan. Masih panas ayam gorengnya."

Theo mengangguk dan kembali fokus pada makanannya. Netra Dava melihat di mana Adel duduk memunggunginya. Dava hendak menghampiri Adel, tapi ....

"Alasan apa yang akan aku katakan? Tidak, tidak! Aku tak bisa ke sana. Lagi pula, Adel belum menjadi siapa-siapaku. Kalau aku nekat, bisa bisa Adel ilfeel padaku. Jangan sampai itu terjadi," batin Dava.