Chereads / Skenario Cinta / Chapter 16 - Hujan Membawa Berkah

Chapter 16 - Hujan Membawa Berkah

Saat Dava melihat Adel datang bersama Theo, ia memang terkejut. Namun, bukan karena kepulangan Theo yang kata Adel belum bilang saat ingin pergi.

Dava kaget karena rencana untuk membawa Adel ke rumahnya berhasil. Sebelumnya, ia sudah 'mengkompori' Theo agar segera datang ke rumah Adel.

Bukan hanya Theo, Dava meminta sang sopir untuk melakukan hal yang sama. Pada akhirnya Theo pergi ke rumah Adel bersama sang sopir.

Pertama ia tak yakin apakah rencananya ini akan berhasil, tapi pada kenyataannya berhasil. Makanya saat Theo ingin bicara, Dava segera mengalihkan topik ke es krim. Theo yang pada dasarnya lugu ya langsung terfokus pada makanan kesukaannya itu.

"Aku memang cerdik," puji Dava pada diri sendiri di dalam hati.

Keberuntungan tidak sampai di situ saja, ia tak menyangka jika hujan akan turun dengan lebat hingga menyebabkan Adel mau tak mau harus menunggu sampai hujan reda.

"Aku harus berterima kasih pada Theo karena berkat dia yang memperlambat kepergian Adel, hujan pun turun dengan waktu yang tepat," batin Dava.

Dava begitu senang karena keinginannya untuk bertemu dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Adel akhirnya terwujud.

Sedangkan Adel merasa tidak karuan. Rumah Dava dalam segi untuk ditinggali memang nyaman, tapi tetap saja ia merasa tak seharusnya ia berads di rumah Dava lama-lama.

Namun, apalah daya. Hujan lebat yang memaksanya untuk tinggal lebih lama. Dava tadi sempat menawarkan tumpangan, tapi jelas ditolak. Mana mungkin ia membiarkan Dava mengantarnya dalam kondisi seperti ini.

Dava tentu memperhatikan gerak-gerak Adel yang tidak begitu nyaman. "Apa yang Adel pikirkan sekarang ya? Kenapa tingkah dan wajahnya terlihat tidak nyaman begitu? Apa rumahku kotor?" itu lah yang bisa Dava pikirkan. Pria itu langsung melihat ke sekeliling. "Bersih. Tidak ada debu. Kalau bukan karena kotor, lalu apa?" batinnya bertanya-tanya.

"Ngengggg." Theo menjalankan mobil-mobilan menggunakan tangannya, karena remote kontrolnya kehabisan daya. "Kakak Cantik, ayo mainkan mobilnya." Ia mengambil mobil abu-abu dan mendekatkan benda itu pada Adel.

Lamunan Adel buyar. Ia melihat ke arah Theo dan benda yang dimaksud anak itu. Adel tersenyum samar. Ia memegang Mobil-mobilan tersebut dan mulai melakukan hal yang sama seperti Theo.

Theo tersenyum jahil, ia sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Adel. Adel langsung menatap Theo. "Bagaimana kalau mainanmu rusak?"

Adel melihat bagaimana Theo menabrakkan kedua benda itu dengan cukup keras. Adel bisa menebak kalau mainan milik Theo tidak lah murah. Ya, jelas lah, kelurganya saja kaya. Mana mungkin memberikan mainan murah.

"Kalau rusak, daddy yang akan membelikannya. Kata daddy, uangnya banyak. Jangan khawatir kalah rusak. Begitu katanya," jawab Theo. "Ngenggg ... ngeng, ngeng, ngeng." Theo kembali bermain seperti tadi.

Dava yang melihat dari sofa pun segera mengalihkan pandangannya ke arag laptop. Ia tahu kalau saat ini dirinya sedang ditatap oleh Adel.

Menurut informasi yang baru-baru ini ia dapatkan, Adel tipikal wanita hemat. Tentu, mendengar pengakuan polos Theo membuat Adel tak habis pikir.

"Apa sekarang Adel menganggapku sebagai pria boros? Duh, jangan sampai."

Adel mengalihkan netranya pada mainan Theo. Terdapat beberapa mobil mainan, dan action figur yang Adel tafsir mencapai puluhan juta. "Benar-benar definisi orang kaya. Untuk mainan saja, pria itu rela menghabiskan berjuta-juta uangnya. Aku yang hanya orang biasa ini, jelas tak bisa mengerti," ucap Adel dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Dava selesai menyelesaikan pekerjaannya. Ia melihat ke arah Adel dan Theo yang makin asyik bermain. Kedua sudut bibir Dava terangkat ke atas.

Netranya menatap Theo. Dava melihat riak kegembiraan yang terpancar dari wajah anaknya tersebut. Senyuman dan tawa yang ia lihat bukan biasa ditunjukkan Theo saat bermain dengannya.

"Sepertinya ucapan Mommy benar kalau Theo memang butuh seorang ibu." Dava beralih menatap Adel yang tersenyum sembari bertepuk tangan kecil. "Aku rasa Adel adalah kandidat yang tepat. Aku harap kami memang ditakdirkan berjodoh, kalau tidak ... aku akan tetap mengupayakan agar kami berjodoh." Ia terkekeh geli mendengar pikirannya tadi.

Beberapa menit lalu Theo bermain dengan gembira dan penuh antusias, tapi sekarang ini mata anak itu terpejam karena tidur. Adel melihat Theo tidur merasa gemas. Theo benar-benar menghipnotisnya dengan cepat.

"Apa dia tidur?" tanya Dava yang menghampiri keduanya.

"Iya. Aku rasa dia kelelahan karena sedari tadi bermain dengan penuh semangat." Saat menjawab, manik mata Adel terfokus melihat Theo. Sedangkan Dava melihat ke arah Adel.

Dava mengalihkannya pada Theo. Dava mengelus kepala Theo. "Aku belum pernah melihatnya bermain seantusias ini. Maklum lah, Theo tidak pernah mengenal sosok ibunya. Ia hanya bermain dengan pengasuh dan beberapa pelayan di sini. Aku juga bermain dengannya, tapi tidak sering."

Ucapan Dava barusan membuat Adel terkejut. Khususnya dibagian 'maklum lah, Theo tidak pernah mengenal sosok ibunya'.

Adel membatin, "Berarti Dava seorang duda? Pantas saja aku tidak pernah melihat istrinya. Aku kira istrinya sedang bekerja atau merajuk pada Dava. Ternyata ...."

Adel tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ada rasa senang dan sedih secara bersamaan. Senang karena Adel tak usah khawatir dicap sebagai pengganggu rumah tangga orang. Ia juga sedih memikirkan Theo yang sudah kehilangan sosok ibu sejak kecil.

Mulutnya terasa gatal ingin bertanya, tapi melihat raut wajah sendu yang Dava berikan pada Theo membuat Adel mengurungkan niatnya. Tidak sopan menanyakan hal yang bersifat pribadi.

Selain itu, hubungannya dengan Dava tak dekat. Mereka hanya sebatas kenal satu sama lain---itu pemikiran Adel.

"Aku akan membawa Theo ke kamarnya dulu." Dengan hati-hati Dava menggendong Theo.

*****

Dava memberikan secangkir teh pada Adel. Adel tadi sempat menolak untuk dibuatkan teh. Ia merasa sungkan, tapi Dava yang memaksa hingga Adel pun setuju.

Adel menerima teh itu sembari berucap, "Terima kasih."

Dava duduk di sebelah Adel. Adel sedikit menggeser posisi duduknya. "Terima kasih sekali lagi karena mengantar Theo dan mau bermain bersamanya."

Adel menatap teh di tangannya. "Apa yang kulakukan bukan lah hal yang besar."

"Mungkin bagimu bukan hal besar, tapi bagiku iya. Saat seseorang menjadi orang tau, maka secara otomatis kebahagian anak lah yang terpenting. Karenamu, Theo bisa tersenyum dan tertawa lepas."

Dava tersenyum sembari menyesap tehnya. Memang Dava dikenal sebagai orang yang dingin dan tegas.

Di depan temannya, ia barbar, tapi jika menyangkut anaknya, maka Dava seketika akan berubah layaknya motivator.

"Aku tidak tahu harus berkomentar seperti apa karena aku belum menjadi orang tua sepertimu, tapi aku bisa mengatakan satu hal padamu," ada jeda beberapa detik sebelum Adel melanjutkan perkataannya, "kau ayah yang baik untuk Theo."

Deg

Hati Dava merasa hangat saat mendengar pujian darj Adel. Rasa bagga dan bahagia lebih besar ketimbang saat orang lain memuji hal yang sama padanya.

"Kau juga akan menjadi ibu yang baik kelak." Adel langsung menatap Dava. "Suatu saat nanti kau juga akan menikah dan memiliki anak, bukan?"

"Tentunya denganku, hehehe," ujar Dava dalam hati.