"Dadah Kakak Cantik, Theo pulang dulu ya," pamit Theo yang tanpa permisi langsung mendaratkan bibir mungilnya di pipi Adel.
Adel tampak cukup terkejut. Namun, ia tersenyum setelahnya. "Theo harus rajin belajar dan jangan pernah pergi tanpa sepengetahuan orang rumah. Theo mengerti, kan?" tanya Adel.
Theo mengangguk. "Theo janji. Kakak Cantik, kalau Theo ingin ke sini lagi boleh ya?"
"Tentu saja boleh, Theo Sayang." Adel tak kuasa menahan tangannya. Ia mencubit pelan bibi bulat kemerahan anak di hadapannya ini. "Tapi Theo harus ditemani orang lain. Jangan sendiri ke sini. Theo tidak boleh ke sini sendiri."
"Iya, Kakak Cantik."
Sedangkan Dava hanya memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu. Diam-diam Dava menyunggingkan senyumnya. Ia senang melihat interaksi Adel dan Theo. Seperti anak dan ibu.
'Ah, apa yang kupikirkan? Sepertinya bukan ide yang buruk.' Dava jadi memikirkan bagaimana kelak jika Adel menjadi istrinya. Pasti kehidupannya dan Theo akan terurus dengan baik, kan?
Dava melangkah mendekat. "Theo, apa kata daddy saat ada seseorang yang memberimu sesuatu?"
Theo mendongak sebentar untuk melihat Dava. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Adel. "Terima kasih Kakak Cantik untuk kuenya."
"Sama-sama. Tapi Theo jangan sering makan cokelat atau makanan yang terlalu manis. Theo tidak mau kan kalau giginya berlubang? Nanti ada ulat yang akan bersarang di dalamnya."
Theo refleks menutup mulutnya sembari menggeleng. "Theo janji tidak akan makan cokelat sering-sering, Kakak Cantik."
"Anak pintar." Adel mengusap kepala Theo dengan gemas.
"Ayo, Theo, kita harus pulang. Waktunya istirahat." Dava menggenggam tangan mungil putranya. "Terima kasih atas keramah tamahannya. Kami permisi dulu."
"Tidak masalah. Aku ingin minta maaf gara-gara gayungku, lengan kemejamu jadi basah tadi."
Tentu Adel merasa bersalah. Rumah dan isi di dalamnya tentu berbeda dengan yang ada di dalam rumah Dava. Bahkan pria itu tak tahu cara menggunakan gayung dengan baik dan benar. Adel merasa tak pantas untuk menerima tamu sekelas Dava.
"Bukan hal besar. Lagi pula aku yang salah karena tak bisa menggunakan gayungnya." Dava menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ayo Daddy kita pulang. Theo ngantuk," rengek anak itu sambil menarik narik kemeja Dava. "Gendong." Theo merentangkan tangannya.
Dava dengan senang hati menggendong buah hatinya tersebut. "Ayo jagoan saatnya kita pulang."
Dava membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Sedangkan Theo menoleh ke belakang sembari melambaikan tangannya. "Sampai jumpa Kakak Cantik." Lambaian Theo dibalas oleh Adel.
Adel melihat bagaimana mobil itu mulai menjauh dari pandangannya. Ia tersenyum saat memikirkan kejadian yang cukup lucu tadi. Adel juga mengingat betapa menggemaskannya Theo saat mulut anak itu penuh makanan sambil berbicara.
"Woy, ngelamun aja lo." Maya tiba-tiba menepuk pundak Adel dan membuat wanita itu kaget bukan main. Bagaimana tidak kaget? Saat sedang enak-enaknya memikirkan Dava dan Theo malah dikagetkan.
Adel manatap sebal temannya itu. "Ngagetin aja lo. Udah kayak setan aja yang tiba tiba nongol."
"Heh, gue udah perhatiin lo beberapa menit, tapi malah lo yang cuma ngelamun sambil senyum senyum kagak jelas. Stres ya lo?"
"Enak aja." Adel kemudian meninggalkan Maya.
"Eh tunggu, ngelamunin apaan tadi."
"Kepo."
****
Dava kini sampai ke rumahnya yang mewah dan besar. Ia melirik ke arah Theo yang sudah pulas tertidur. Anak itu tertidur saat Dava mengemudi baru dua menit.
Dava segera turun dan menghampiri tempat Theo duduk. Dengan pelan dan penuh kehati-hatian, Dava menggendong putranya. Ia menutup pintu mobil secara pelan.
Theo tipikal anak yang mudah bangun saat mendengar suara atau kegaduhan di sekitarnya. Itu lah yang membuat Dava kerepotan, terlebih saat Theo belum sampai di kamarnya.
Suasana di sekitar banyak suara. Dava tak tahu mana suara yang bisa membangunkan Theo atau tidak. Kadang suara yang dianggap Dava berisik tidak membangunkan Theo, malah sebaliknya.
Aneh kan? Sama sih kayak bapaknya.
Sebelum masuk Dava memberikan kunci mobil pada penjaga rumah. Dava masuk.l ke dalam. Ia memgernyit melihat seorang wanita yang memunggunginya.
Mendengar suara langkah kaki membuat wanita tadi menoleh. Ia mendekat ke arah Dava dan melihat Theo yang sedang tertidur pulas. Wanita itu mengelus surai lembut milik cucunya.
"Bawa dia ke dalam kamar. Mommy ingin berbicara hal yang penting denganmu, Nak," ujarnya dengan pelan dan Dava mengangguk sebagai jawaban.
Dava berjalan ke arah tangga dengan pelan. Theo menggeliat di gendongannya. Dengan sigap Dava menepuk pantat anak tersebut.
Ceklek
Pintu kamar Theo terbuka. Dava masuk ke dalam. Kamar anaknya ini didominasi warna biru dan banyak sekali mainan atau poster bergambar super hero.
Dava membaringkan Theo dengan lembut. Tidak lupa laki-laki tadi menyelimuti anaknya. Ia mengelus lebih rambut Theo. Dava menepuk-nepuk pelan.
"Theo kangen mommy," gumam Theo dalam mimpinya.
Dava menghela napasnya. Theo sering mengigau, menyebutkan kata itu. Anak tersebut memang sedang sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Di sekolah sering kali Theo iri dengan teman-temannya yang diantar dan ditemani oleh ibu mereka. Sedangkan Theo tidak bisa. Anak itu sering bertanya pada Dava di mana mommynya, tapi Dava selalu mengalihkan topik.
Dava mencium kening anaknya. "Mimpi indah anak daddy."
*****
Dava berhadapan dengan ibunya yang bernama Anita. Wanita yang sudah berumur itu terlihat masih cantik diusianya.
"Ada apa Mommy tiba-tiba ingin bicara padaku?" tanya Dava langsung pada intinya.
"Apa salah kalau seorang ibu ingin bicara dengan anaknya sendiri? Lagi pula kita kan sudah lama tidak saling bicara. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Anita.
"Aku baik, Mom. Seperti yang Mom lihat."
"Kamu mungkin baik-baik saja, tapi bagaimana dengan Theo? Anak itu kesepian di rumah sebesar ini. Dia butuh seseorang untuk mendidik serta merawatnya."
Dava tahu ke mana arah pembicaraan Anita. Pasti wanita itu menyuruhnya untuk segera menikah. Dava sih mau-mau saja, tapi menikah tak segampang membuat telur dadar.
"Mom, aku bisa mendidik dan merawat Theo. Selama ini aku bisa melakukannya. Jadi, jangan khawatirkan itu."
Anita menyesap tehnya hingga tersisa setengah. "Kamu benar, tapi kamu tidak bisa menemani Theo selama seharian penuh. Ada karyawan yang harus kamu beri makan. Kamu setiap harinya pun sibuk dan Theo hanya bermain dengan pengasuhnya saja."
"Jadi, Mom ingin aku mencari ibu baru untuk Theo?"
Anita tersenyum sembari mengangguk. "Kamu paham betul apa maksud mommy."
Dava menghela napasnya. "Mom, menikah tidak semudah yang dibayangkan. Akan ada banyak pertimbangan. Terlebih, aku harus mencari dengan hati-hati karena ada Theo."
"Kalau kamu tidak mau bersusah payah biar mommy yang akan mencarikannya untukmu. Mommy kenal beberapa wanita yang mungkin cocok dengan kriteriamu."
Jika Anita sudah membicarakan mengenai 'ibu baru' untuk Theo, pastinya Anita tak mau mengalah demi anaknya. Menurut Anita sudah terlalu lama Dava menduda.
Anita berdiri. "Mommy tidak akan memaksamu, tapi setidaknya cobalah. Kalau merasa tidak cocok, ya jangan lanjutkan." Anita menepuk pundak Dava. "Mommy pergi dulu."