Chereads / Skenario Cinta / Chapter 8 - Perkara Gayung

Chapter 8 - Perkara Gayung

Note: Untuk ke depannya saya pakai tanda ('....') buat tokoh yang ngomong di dalam hati.

*****

Tok tok tok

Adel mendengar suara pintu diketuk. Ia yang baru saja membuat brownis cokelat pun mengernyitkan kening.

"Siapa itu yang ketuk pintu? Maya? Kayaknya bukan atau pak kurir. Beberapa hari lalu aku kan pesan sepatu. Tapi kenapa pak kurirnya cuma ketuk pintu? Biasanya dia teriak manggil namaku. Kan pak kurirnya udah hafal wajah dan namaku."

Dengan celemek yang masih berada di tubuh Adel, ia berjalan ke arah pintu. Tentu, tadi Adel sudah mencuci tangannya hingga bersih.

"Iya, siap---" Perkataan Adel terhenti saat melihat siapa yang berkunjung.

'Si duda ganteng. Eh, dia kan belum tentu duda.'

Adel merutuki pemikirannya. Bisa bisanya dia berpikir kalau manusia bak pangeran tampan di tokoh fiksi di depannya adalah seorang duda. Itu sama saja mendoakan istrinya tiada kan?

'Nggak boleh gitu Adel. Inget, udah ada yang punya.'

Dava memperhatikan bagaimana wajah Adel yang terkejut setengah mampus. Wajahnya terlihat sangat lucu. Mirip seperti anak kecil yang dicari oleh orang tuanya saat bermain tak kunjung pulang.

Dava menyunggingkan senyumnya. Adel sangat jeli melihat bagaimana sedikit perubahan dari raut wajah Dava sangat menggetarkan kalbunya. Begini kah efek menjomblo? Ya, mungkin.

Dava berdehem. "Ekhem."

Adel langsung tersadar dari keterkagumannya melihat wajah Dava. Ia merasa malu karena tertangkap basah mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

"Add-ada apa yy-ya?" Hanya pertanyaan itu lah yang terlintas di benak Adel dan itu pun diutarakan dengan terbata bata.

"Saya .... aku datang ke sini untuk mengantar Theo. Dia begitu rindu ingin menemuimu. Kamu tahu kan bagaimana anak-anak? Mereka akan terus merengek jika keingannya tidak dituruti," ujarnya dengan alasan yang dibuat semasuk akal mungkin. "Apa kami mengganggumu? Sepertinya kamu sedang sibuk." Dava tentu melihat ada celemek yang menggantung di tubuh Adel.

Adel melihat celemeknya. Ia meringis, baru sadar jika benda tersebut masih menempel di bajunya. Ia terlihat semakin kacau dengan tepung yang ada di celemeknya.

'Malu-maluin banget sih aku!' Adel merutuki dirinya sendiri.

"Aku baru saja selesai memasak. Oiya, silakan masuk." Adel menggeser tubuhnya ke samping Agar kedua tamunya bisa masuk ke dalam.

"Terima kasih," ujar Dava kemudian masuk.

Theo masih mematung di tempatnya. Ia mendongak, melihat Adel yang sedang Melihat Dava berjalan ke dalam. Theo menarik pelan baju Adel. "Kakak Cantik, ayo masuk."

Adel tersadar kembali. Ia menunduk sembari tersenyum canggung. "Iyy-iya. Ayo masuk."

Theo masuk terlebih dahulu baru Adel masuk. Adel merasa tak pantas jika orang sekaya Dava mendatangi rumahnya lebih tepatnya kontrakan.

Kontrakan Adel dan rumah Dava begitu berbeda. Sangat jelas berbeda. Tentu rumah Dava lebih dalam hal segi apa pun. Jika diibaratkan, rumah kontrakan Adel hanya seperti debu tembok rumah Dava.

"Silakan duduk."

Dava pun duduk. Sedangkan Theo sudah duduk sedari tadi. Dava melihat ke sekeliling. Rumah milik Adel tergolong sederhana. Walau begitu, ia merasa nyaman di sini.

"Mau minum apa?" tawar Adel.

"Milkshake," jawab Theo dengan girang. Anak itu baru berpikir tentang minuman yang cukup lama tidak ia minum. Theo merindukan rada milkshake.

"Jika tidak keberatan, beri kami air putih saja," ujar Dava. Tentu ia tidak akan meminta minuman seperti yang dikatakan Theo. Hei, dirinya mau mendekati Adel. Harus sangat hati-hati dalam berbicara dan bertindak bukan?

Di film yang pernah Dava lihat, ketika ada orang yang mengunjungi gebetannya atau sekedar orang yang dikagumi, kebanyakan tak merasa enak untuk minum atau paling hanya minta air putih saja.

"Ih, Daddy. Theo maunya milkshake." Theo memprotes tidak terima. Air putih sudah berlimpah ruah di rumahnya. Ya kali di rumah orang lain minum air putih juga.

"Theo, jangan seperti itu Sayang. Ini rumah orang bukan rumah kita."

"Memang ini rumah orang Daddy. Ini bukan rumah genderuwo."

Dava yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada sembari mengelengkan kepalanya. Cerita tentang hantu yang diceritakan oleh satpamnya kini telah terserap ke dalam otak Theo.

'Untung anak sendiri.'

"Maaf, ya Theo. Kakak tidak punya bahan-bahan untuk membuat milkshake,"ujar Adel.

"Yahhhh." Jelas sekali anak itu kecewa berat. Di dalam benaknya sudah bisa membayangkan betapa enaknya milkshake.

"Katanya mau ketemu Kak Adel. Kok malah minta milkshake." Dava mencoba mengalihkan perhatian putra semata wayangnya itu.

Adel tak tega membuat waut wajah lucu nan gembul milik Theo murung. "Kakak baru selesai membuat brownis. Apa Theo mau?" tawarnya. Ia baru ingat tentang makanannya itu. Tentu Adel harus menawarkannya pada tamu. Jika tidak, akan terlihat tidak sopan.

Theo tersenyum sembadi mengangguk. "Theo mau Kakak Cantik."

"Tunggu sebentar, akan kakak ambilkan." Adel pun pergi mengambil makanan manis itu beserta dua gelas air putih. Tak lama kemudian wanita itu kembali dengan membawa sepiring penuh brownis. "Ini brownisnya."

Dengan tatapan penuh minat, Theo mencomot satu brownis. Asap mengepul saat ia menarik brownis tadi. Theo memasukkan ke dalam mulutnya. "Ini enak Kakak Cantik."

"Terima kasih." Adel kini melihat Dava yang juga melihatnya. "Silakan dimakan."

"Terima kasih." Dava mengambil makanan itu dan mulai mencicipinya. Benar apa yang dikatakan Theo. Brownis buatan Adel sangat lezat.

'Ini mah istri idaman. Eh.'

Adel menjadi kikuk sendiri saat Dava masih melihatnya. Ia mengalihkan pandangannya. 'Duh kenapa manusia ganteng ini malah menatapku sih? Ah, mamak, anakmu grogi!'

"Apa aku boleh ke toiletmu?" tanya Dava.

Adel menatap Dava. "Iyy-ya bb-boleh kok."

'Gagap lagi kan. Aduh Adel, jangan malu-maluin.'

Dava dan Adel beranjak dari ruang tamu. Mereka menuju toilet. Di rumah Adel hanya ada satu toliet.

Kedua orang itu berada di depan toliet. "Terima kasih telah mengantarku."

"Iyy-iya."

Dava pun masuk dan tak lupa menutup pintu. Di dalam sana, pria itu merasa kebingungan. Pasalnya tidak melihat wastafel. Hanya ada keran.

Dava harus membungkukkan tubuhnya di depan keran yang jauh lebih rendah darinya. Namun, airnya tak mau keluar.

Dava keluar dari sana. "Tunggu," cegahnya saat melihat Adel yang ingin pergi.

"Ya."

"Kerannya tidak berfungsi."

"Benarkah? Mungkin ada masalah pada kerannya. Pakai saja gayung yang ada di bak mandi." Baru kali ini Adel berkata dengan lancar. Memang lidahnya mengatakan dengan mulus, semulus kulit artis korea. Tapi jantungnya dag dig dug ser bun. Bicara dengan orang tampan memang beda rasanya lah.

Dava mengangguk. Ia kembali masuk ke dalam. Ia melihat gayung berwarna hijau di bak. Dava mengambil airnya juga.

"Bagaimana caraku membasuh tangah? Tangan yang satunya kan megang gayung?"

Dava mencoba membasuh tanga kirinya terlebih dahulu. Namun karena air yang ada digayung penuh dan hampir tumpah, jadilah lengan kemejanya basah. Ia lupa untuk menggulungnya.

"Sial! Bagaimana cara menggunakan benda ini?"

Maklum, orang yang kelewat kaya belum pernah pakai gayung.

Dava menaruh kembali gayung tadi. Niat untuk membasuh tangan hilang sudah. Dava menghela napasnya. Ia kemudian ada ide cermerlang.

Pria itu keluar dan masih mendapati Adel ada di depan. "Bisa kamu bantu aku?"

"Bantu apa?"

"Bantu untuk memegang gayungnya. Aku ingin mencuci tangan."

'Wah gila, nih orang habis dari mana sih? Masa gak bisa pakai gayung'

Adel pun masuk. Ia mengambil air dengan gayung. "Tolong angkat lengan kemejanya." Dava menurut.