"Wah, gila! Anak siapa yang lo culik, Del?" tanya Maya saat tiba di kamar Adel.
Awalnya Maya ingin mengajak Adel untuk makan malam di luar, tetapi pemandangan tak terduga tersaji di atas kasur temannya tersebut.
Seonggok eh seorang bocah laki laki terbaring di sana. Dengan mata terpejam dan mulut yang sedikit terbuka. Maya kira itu adalah Adel yang dikutuk menjadi bocah oleh mak lampir. Maklum lah, barusan Maya menonton film tentang tokoh utama yang dikutuk.
Plak
Satu pukulan keras mendarat tepat di lengan Maya. Wanita itu tentu terkejut sekaligus merasa kesakitan di saat yang bersamaan. Mulutnya hendak berteriak, tetapi segera dibungkam oleh Adel.
"Diem May! Suara kaya toa lo itu bisa ngebangunin tuh bocah." Pelototan tajam ditujukan Adel pada Maya. "Gue lepas, tapi lo jangan teriak. Oke?" Maya pun mengangguk sebagai jawaban.
"Anak siapa yang lo bawa pulang? Bukan anak lo kan?" tanya Maya dengan nada pelan. Adel sudah bersiap untuk mendaratkan geplakannya pada Maya, tetapi Maya menyengir. Serasa tak berdosa. "Maaf, maaf, gue cuma bercanda, tapi gue nanya serius. Tuh anak siapa yang lo bawa?"
Adel menghela napasnya. "Udah nanyanya?" Maya pun mengangguk. "Dari tadi ngoceh mulu, udah kayak emak-emak ditagih kreditan panci." Netra Adel beralih pada bocah laki laki yang masih tidur dengan pulasnya. "Gue juga nggak tau dia anak siapa dan tinggalnya di mana. Gue nemu di deket toko lagi nangis. Eh pas gue samperin minta gendong terus kebablasan tidur."
Maya mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia sepertinya harus membeli korek kuping. Setaunya, Adel bukan tipikal orang yang membawa masuk sembarangan orang asing. Entah itu orang dewasa atau anak anak.
Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kok lo bawa ke sini sih? Nanti kalo orang tuanya nyariin gimana? Dikira lo nyulik anak mereka."
Maya bergidik ngeri jika ucapannya menjadi kenyataan. Dia membandingkan dengan maling yang sering dipukul kalau ketahuan mencuri. Nah, ini, main ambil anak orang. Bisa bisa kena teluh. Amit-amit, jangan sampai!
"Ya mau gimana lagi, May? Mana tega gue ninggalin dia sendirian. Mana mau malem. Emangnya gue emak tiri cinderella apa yang tega nyiksa anak tirinya."
"Tapi kan dia bukan anak lo, Del. Jadi, itungannya lo bukan emak tirinya."
"Iya juga sih. Terus perumpamaan yang tepat apa dong?"
Seketika Maya berpikir. Dia mengetuk ngetukkan jarinya ke dagu. "Snow white."
Adel mengeritkan kening. "Snow white? Korelasinya di mana coba?"
"Gue sendiri juga nggak tau. Suka aja kisah snow white hehehe."
Wajah Adel berubah datar, sedatar triplek. Berbicara dengan Maya memang mengasyikkan, tapi sering kelewat waras a.k.a gila.
"Udah ah, kita kok jadi mikirin snow white sama cinderella."
"Lo sih yang mulai. Terus tuh anak mau kita apain?"
"Ya kita pulangin lah. Ya kali masak di kuali."
"Emang lo punya kuali?"
"Nggak sih."
Tuh kan, pembicaraan yang tadinya normal malah melenceng jauh dan melampauinya.
"Ih, serius May! Jangan bercanda!" Adel segera menutup mulutnya begitu berbicara agak keras. Dengan ragu, matanya melirik ke anak laki-laki tadi yang masih tidur.
"Kebo juga tuh anak," batin Adel.
"Nunggu dia bangun. Terus kita tanyain di mana rumahnya atau bangunin aja. Keknya belum ada tanda-tanda dia bangun." Maya ikut melihat anak tersebut.
Adel yang melihat bagaimana raut wajah si anak yang tampak lelah pun menggeleng. "Nggak ah. Biarin aja. Kita tunggu sampai dia bangun. Lihat noh, mukanya pules banget. Nggak tega gue bangunin."
Bukan hanya karena kepulesan yang membuat Adel tak tega, tetapi bagaimana wajah mengemaskan bocah laki laki itu kala tertidur. Menggemaskan. Rasa pengen karungin melambung tinggi.
"Ck! Lo tuh apa-apa nggak tega. Sesekali lo harus tega. Teges gitu Del. Makanya Bima dengan seenak jidat main pergi gitu aja." Perkataan Maya begitu menohok ke dalam kalbu Adel, tetapi Adel tahu kalau Maya hanya bercanda.
"Yaudah, bangunin sana."
"Gampang itu mah. Lihat ahlinya beraksi." Dengan langkah percaya diri Maya mendekati Theo. Jari telunjukkan menoel-noel lengan Theo. "Hei, Dek, bangun."
Namun, usaha Maya kali ini belum membuahkan hasil. Theo masih terlelap di alam mimpi. Maya tak menyerah begitu saja. Wanita itu kini menoel-noel pipi gembul nan kemerahan milik Theo.
"Dek, bangun! Bangun, Dek."
Lagi-lagi Theo masih tertidur dengan damai. Maya sudah mencak-mencak di tempatnya. Sedangkan Adel menahan tawanya.
"Eh buset nih anak, kecil-kecil kok kebo sih."
Adel menghampiri Maya. "Katanya ahli bangunin orang. Kok belum bangun sih nih anak."
"Ck! Jangan ngeledek, Del. Salah nih bocah, tidur apa pingsan. Nggak bangun-bangun."
Tak berapa lama kemudian mata Theo perlahan terbuka. Anak itu mengerjapkannya beberapa kali sembari menguap. Dahinya mengernyit kala melihat ruangan dan dua wanita asing ada di hadapannya.
"Theo di mana ini? Dan siapa kakak-kakak cantik ini?"
Mendengar kata 'cantik', Maya langsung tersipu malu. Adel yang melihat tingkah baperan Maya pun hanya bisa memutar matanya malas.
Adel menatap Theo. "Oiya, kalau nggak salah anak ini namanya Theo," batin Adel.
"Dek, kamu masih inget nggak sama kakak?" Adel menunjuk dirinya sendiri. "Kamu nangis di trotoar terus minta gendong kakak. Kakak bawa kamu ke sini."
Theo menatap tanpa kedip Adel sembari berpikir tentang apa yang dikatakan wanita tersebut. Theo mengangguk. "Iya, Theo inget."
"Syukur deh kalau inget. Oiya, rumah kamu di mana? Biar kakak anterin."
"Rumah Theo besar dan luas." Kedua tangannya direntangkan, ingin menunjukkan seberapa besar dan luas rumahnya.
"Iya, tapi di mana rumahnya?" Kini, giliran Maya yang bertanya.
Theo mengeleng. "Theo nggak tau, Kakak."
Baik Maya atau pun Adel sudah menduganya. Maya menarik tangan temannya itu agar menjauh. "Tuh kan, nih bocah kagak inget. Tapi Del, kalau diliat dari muka sama bajunya, keknya orang kaya. Holkay gitu."
Adel menatap sekilas Theo. Dia juga sependapat dengan Maya. Adel merasa tampang macam Theo itu merupakan anak orang kaya. Kulitnya juga putih tanpa belang, bukan seperti anak-anak di sekitar sini yang berkulit gelap akibat bermain di bawah terik matahari.
Maya dan Adel menghampiri Theo. "Theo, sebenarnya kakak ingin nganterin kamu pulang, tapi berhubung ini udah malem. Jadi, besok aja ya."
Theo mengangguk dengan patuh. "Iya, Kakak Cantik, tapi Theo laper." Dia memegang perutnya.
"Kalau gitu kita makan. Ayo." Adel mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Theo.
*****
Maya menyikut Adel. "Del, lo yakin dia anak manusia? Makannya kok kayak orang abis nguli berjam-berjam sih." Mata Maya masih fokus mengamati Theo yang makan dengan lahap. Anak laki-laki itu menyendok dengan suapan besar.
"Yaiyalah dia manusia. Ada-ada aja sih lo. Mungkin dia laper kali. Lagian kan banyak juga anak kecil yang nafsu makannya gede."
"Iya sih."
"Theo baru pertama kali memakan makanan ini. Koki di rumah Theo nggak pernah masak kayak gini."
Adel dan Maya saling berpandangan satu sama lain. Otak mereka berpikir, makanan apa yang biasa di makan Theo? Oh tentu saja makanan mewah dan mahal. Sedangkan yang dimakan bocah itu sekarang hanya nasi, sayur bayam dengan lauk tahu dan juga tempe.
Maya berbisik. "Mungkin bagi si Theo makanan murah serasa makanan yang ada di hotel bintang lima. Lidah orang emang kadang unik. Kita makannya b aja, tapi orang sejenis Theo malah nganggep luar biasa.
"Theo suka?" tanya Adel.
"Theo sangat menyukainya." Dia meminum air dan menepuk nepuk perutnya. "Sekarang Theo kenyang. Ayok Kakak-kakak Cantik kita tidur." Theo langsung melangkah menunu kamar Adel.
Sedangkan Maya dan Adel hanya bisa melongo melihat tingkah Theo yang tak takut akan keberadaan orang asing. Apalagi ini bukan rumah anak itu. Kedua wanita tersebut tadinya mengira Theo akan merengek dan menangis untuk minta dipulangkan segera.