Chereads / Skenario Cinta / Chapter 5 - Kembali ke Habitat

Chapter 5 - Kembali ke Habitat

Maya menyikut lengan Adel. "Kapan lo nganter tuh bocah kembali ke habitatnya? Udah pagi ini. Entar emak ama bapaknya makin uring-uringan di rumah."

Adel tak langsung menjawab, wanita itu melihat Theo yang sedang menonton kartun. Bocah itu terlihat senang dan sering kali tertawa melihat adegan yang dianggap lucu. Sudut bibir Adel tertarik ke atas melihat pemandangan yang menurutnya menggemaskan.

Sedangkan Maya melihat tidak suka. Dia bukannya benci pada Theo, tapi karena bocah tersebut menguasai tv. Maya jadi tak bisa menonton drama korea kesukannya. Andai dia punya kuota berlimpah, mana mau nonton lewat tv. Banyak adegan yang dicut bun.

Adel melirik Maya. Dia menahan kekehannya. Adel tahu betapa Maya begitu menginginkan remot tv tersebut. "Kalau mau nonton drakor di apartemen lo aja sana."

Maya menggeleng. "Enakan di sini. Di sana sepi."

Maya sering kali menginap di kontrakan Adel karena merasa apartemennya sepi. Maya sempat menawari Adel untuk tinggal di apartemen miliknya, tapi wanita itu menolak. Katanya ingin mandiri dan merasakan susahnya membayar uang kontrakan di saat uang krisis.

Aneh kan? Iya, emang.

Kalau Maya berada di posisi Adel, dengan senang hati Maya akan menerima tawarannya. Secara tinggal di apartemen teman sendiri kan tidak perlu repot-repot bayar, tapi Adel masih saja menolak.

Sebahagiamu lah.

"Del, buruan ke sana. Anterin tuh bocah balik ke habitatnya. Cepet!" Dorongan Maya membuat tubuh Adel bergerak ke depan.

Adel berdecak. "Iya, ya." Dari tatapannya, ia memperingati Maya agar tak mendorongnya seperti tadi.

Adel mendekat ke arah Theo. Dalam benaknya, Adel tak tahu harus berkata apa. Sedangkan Maya mengatakan 'cepat' tanpa bersuara dan dibalas Adel 'Iya, ya' tanpa suara juga.

"Dek, mau---"

"Theo. Panggil Theo, Kakak Cantik." Bocah itu melihat ke arah Adel lalu tersenyum kecil.

Ya Ampun anak orang kok ya imut banget sih. Karung mana karung?

"Theo. Theo nggak pengen ketemu keluarga Theo?" tanyanya hati-hati.

Anak itu mengangguk. "Theo kangen. Theo kangen daddy, rumah, ikan mas. Semua yang ada di rumah."

Senyum kecil Adel terbit. "Kalau gitu, kakak anterin pulang. Theo mau, 'kan?"

"Ayuk." Theo berdiri begitu pun Adel.

"May, lo mau ikut atau nggak nih?" tanyanya.

"Oh, jelas tidakkkkk. Gue mau nonton drakor. Lo pergi aja sana. Buruan. Nanti keburu tuh anak nangis." Maya mengibas ngibaskan tangannya, mengusir Adel.

"Hm." Adel menatap Theo. "Ayo, Theo." Wanita itu mengulurkan tangannya dan disambut baik oleh Theo.

*****

Adel baru ingat kalau Theo tak mengingat di mana letak rumahnya. Jadi lah mereka hanya berkeliling tak jelas menggunakan taksi. Adel pun merasa tak enak dengan supir taksi tersebut. Selain itu, ongkosnya akam semakin mahal bila terlalu lama.

"Theo," panggilnya.

"Iya?"

"Theo masih ingat nggak di mana rumah Theo. Maksud kakak, arah rumah Theo. Kalau Theo masih lupa, coba inget-inget lagi." Adel menatap Theo penuh harap. Dalam hatinya semoga Theo segera mengingatnya.

Theo mengerutkan keningnya dalam. Otak kecilnya berusaha mencari informasi di mana letak rumahnya. Namun, sampai saat ini dia belum juga ingat. Hanya gelengan yang dapat Theo berikan.

Adel mengbuskan napasnya pelan. Harusnya ia membawa Theo ke kantor polisi. Mereka yang akan mengurus semuanya, tetapi Adel paling malas untuk pergi ke sana. Pasti dirinya akan ditanyai dan entah kenapa Adel sama sekali tak menyukainya.

"Pak, berenti di sini."

Akhirnya Adel memutuskan untuk turun. Mengharapkan Theo segera ingat, mungkin akan membutuhkan waktu lama. Sedangkan dia tak tahu lagi harus mengarahkan sopirnya ke mana lagi. Selain itu, Adel tentu tak akan mampu membayar ongkos taksi.

Sangat jarang dirinya menggunakan taksi. Paling sering menggunakan angkot atau pun bisa. Tentu saja karena biayanya yang jauh lebih murah.

"Ayo Theo kita turun," ujar Adel setelah membayar ongkos taksi.

"Kenapa kita turun Kakak Cantik? Di luar panas. Theo nggak mau turun." Ia menggeser tubuhnya hingga ke pojok sembari menggelengkan kepalanya.

Aduh, nih bocah pake acara nolak segala. Nggak tau apa nahan malu depan sopir taksi.

Adel harus segera memikirkan cara. Untung lah otaknya kali ini bisa segera memberi ide. "Kita akan pergi beli es krim. Theo mau kan?"

Moga aja mau

"Theo Mau." Anak itu segera turun dengan senyum cerah yang menghiasi wajah imutnya.

Untungnya ada kedai es krim di seberang jalan. Jadi, Adel tak perlu repot-repot untuk mencari es krim lagi. Dengan bergandengan tangan, Adel dan Theo.

Mata Theo berbinar melihat deretan es krim dengan berbagai rasa serta toping. "Wah, Theo mau semuaaaa."

Adel melotot. Segera ia normalkan eskpresinya. "Theo jangan begitu. Pilih salah-satu saja, ya. Nanti bisa-bisa perut Theo sakit karena kebanyakan makan es krim. Nanti daddy Theo juga akan marah."

Seketika senyum Theo pudar. Bibirnya manyun. "Daddy pasti marah liat Theo makan es krim banyak. Daddy pernah bilang kalau Theo makan banyak es krim, ada peri jahat yang ambil gigi Theo. Theo nggak mau ompong Kakak Cantik." Theo menatap Adel dengan berkaca-kaca.

"Pilih satu. Peri gigi yang jahat tidak akan mengambil gigimu."

"Benarkah?" tanyanya dengan pandangan menatap Adel dan jajaran es krim secara bergantian.

"Benar. Ayo pilih."

*****

Setelah lima belas menit menghabiskan es krim, Theo akhirnya ingat di mana letak rumahnya. Adel yang melihatnya pun terheran-heran. Apakah ini keajaiban sebuah es krim? Ya, mungkin saja kalau ada yang mempercayainya.

Ternyata rumah Theo hanya membutuhkan waktu lima belas menit menggunakan taksi. Mereka memasuki perumahan elit.

Adel menoleh ke kiri dan kanan. Komplek tersebut terdapat banyak rumah mewah dan megah. Halamannya pun luas. "Definisi rumah holkay."

Taksi pun turun di salah satu rumah besar bercat putih. Rumah itu memiliki pagar yang paling tinggi. Dapat dilihat merupakan orang terkaya di komplek tersebut---menurut Adel.

"Ini rumah Theo?" tanya Adel memastikan. Wanita itu khawatir Theo hanya menghayal. Bisa saja itu adalah rumah teman Theo dan Adel tak mau nantinya menahan malu karena telah salah mengembalikan anak orang ke tempatnya.

"Iya, ini rumah Theo. Ayo turun Kakak Cantik."

Setelah membayar ongkos taksi, kedua orang itu pun turun. Namun, tidak ada satpam di depan. Tangan kecil Theo berusaha membuka pagar, tetapi hanya menciptakan celah sedikit. Akhirnya Adel yang membukanya.

"Theo beneran kan ini rumahny?"

"Iya, Kakak Cantik."

Halam rumah Theo luas dengan air mancur berada di salah-satu sisi taman. Rumahnya juga tampak sangat menawan dan ada mobil sport yang terparkir di depan sana.

"Tunggu," cegah Adel saat Theo hendak masuk ke dalam rumah begitu saja. "Biar kakak dulu yang memanggil daddymu."

Adel memencet bel. Tak berapa lama keluar lah seorang laki-laki yang memakai kaos hitam panjang. Wajahnya tampan, persis seperti aktor-aktor hollywood.

Namun, bukan itu yang menjadi daya tarik Adel saat ini. Wanita itu terkejut karena melihat pria yang pernah dirinya cium beberapa minggu lalu di club. Adel memang mabuk saat itu, tapi kalau soal mengingat wajah coga, ingatan Adel akan sangat kuat meski apa pun yang terjadi. Maklum, pecinta cogan garis keras. Apalagi bertampang bule dengan tubuh atletis.

Dava pun juga terkejut melihat wanita yang sama waktu itu. Beberapa minggu ini dirinya selalu dinaungi oleh rasa penasaran akan siapa wanita yang dengan berani menciumnya tanpa izin.

Celana Dava terasa ditarik. Netranya melihat ke bawah dan mendapati Theo. "Theo, ke mana saja, hm? Daddy frustrasi mencarimu." Ia langsung mengendong lalu mengecup pipi gembul anaknya.

"Theo menginap di rumah kakak cantik ini, Daddy."

Pandangannya beralih pada Adel. Meski ia mengenali siapa wanita di depannya, tetapi menurut Dava sikap dan wajah Adel yang tenang tidak mencerminkan kalau wanita itu mengingatnya.

Dava ingin bertanya, tetapi ada Theo digendongannya. "Terima kasih telah menjaga dan mengantar Theo pulang ke rumah." Hanya untaian terima kasih yang bisa Dava sampaikan saat ini.

Adel mengangguk pelan. "Sama-sama. Kalau begitu aku harus pergi." Ia menatap Theo. "Jaga dirimu baik-baik Theo. Jangan sampai tersesat lagi."

"Siap Kakak Cantik."

"Tunggu, siapa namamu?" tanya Dava yang melihat Adel berbalik dan hendak melangkah pergi.

Adel membalikkan badannya sebentar. "Adel."