Adel
Satu kata dari nama seorang wanita yang berhasil membuat Dava tak henti-henti melupakannya. Nama itu bagai tertanam kuat dalam benaknya.
"Adel," gumam Dava. Ia menyandarkan punggung di kursi kerja yang ada di rumah besarnya. "Ternyata wanita itu bernama Adel." Dava memejamkan matanya, ia melihat bagaimana wajah Adel saat berhadapan dengannya tadi. Wajah wanita itu terlihat lebih cantik saat berada di ruang terbuka.
Tanpa sadar Dava tersenyum bak seorang remaja yang sedang kasmaran. Sudah lama ia tak merasakan perasaan seperti ini. Ia bahkan tidak ingat kapan pernah merasakannya.
Dulu, saat ibunya Theo alias istri Dava masih hidup, Dava menyukai wanita itu, tapi perasannya tak semenggebu-gebu seperti sekarang ini. Apa bisa dikatakan cinta atau cuma rasa tertarik? Entah lah, Dava tidak tahu.
Brak
Pintu dibuka begitu saja tanpa diketuk. Dava melihat ke arah pintu. Ada Evan yang berdiri di sana sembari tersenyum seolah tak merasa bersalah sama sekali. Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Dava menatap datar temannya itu. Evan berjalan ke arah Dava. Evan sudah siap menerima ocehan tata tertib, tata krama, dan sejenisnya dari Dava.
"Kenapa malah senyum-senyum? Obat lo habis, ya?" tanya Dava yang masih mempertahankan wajah datarnya.
Sedangkan Evan tak langsung menjawab. Pria itu duduk di sofa abu-abu Dava. "Tidak. Gue hanya, ya ingin aja. Senyum itu sebagian dari iman. Nggak pernah denger ya pasti? Gini nih kalo di sekolah sukanya tidur sama bolos kerjannya."
"Sok tau!" Dava menghampiri Evan kemudian duduk di depan pria tersebut. "Kenapa ke sini? Gue sibuk. Pergi sana," usirnya secara terang-terangan. Evan itu spesies orang yang sulit untuk diajak serius, serius untuk mengobrol bukan ke KUA loh ya.
"Baru juga dateng. Udah diusir aja. Jahat bener sih jadi orang." Evan menampilkan wajah sendu dan memelas.
Dava tak tersentuh sama sekali. Ia tahu kalau yang dilakukan Evan hanya trik saja. "Dasar laki-laki penuh intrik," celetuk Dava yang berhasil membuat Evan mencebik kesal.
"Dedek selalu disalahkan." Evan berpura-pura seperti menangis. Ia mengambil tisu dan mengelap wajahnya yang tak basah karena air mata.
Dava menatap jijik ke arah Evan. Sejak kapan temannya ini mendapat gelar drama queen? Apa Evan benar-benar sudah 'belok' ya? Memikirkannya saja membuat Dava bergidik ngeri.
"Evan, hentikan itu. Apa lo nggak ngerasa jijik dengan sikap lo yang seperti ini? Nanti bisa-bisa jomblo seumur hidup."
"Enak aja! Doanya jangan yang jelek-jelek!"
"Cepetan! Mau apa ke sini? Awas kalau cuma mau mendrama. Gue tendang sampai ke pluto."
"Oiya, gue lupa mau ngomong apa," ujar Evan. "Anak lo belum gue temuin."
"Udah ketemu."
Evan membulatkan matanya. "Eh, seriusan?"
Dava mengangguk. "Hm."
"Kok lo nggak ngasih tau gue sih! Gue dari kemarin udah cape keliling kota buat cari Theo. Eh, sekarang Theo malah udah ketemu."
Evan merasa kesal karena Dava tak memberitahukannya. Ia bela-belain untuk mencari Theo, tapi dengan seenak udel Dava bilang Theo ketemu.
Di mana hati nuranimu Babang Dava---pikir Evan.
"Gue lupa." Hanya dua kata yang dikatakan Dava.
"Enak banget ngomongnya. Gue pontang-panting nyariin anak lo eh dengan gampangnya ngomong 'gue lupa'."
Dava menghela napasnya. Berdebat dengan Eva memang tak ada habisnya. Pria itu selalu saja mendramatisir keadaannya. Entah makan apa emaknya pas hamil si Evan.
"Yaudah, gue minta maaf. Puas lo?"
Evan hanya cengegesan sembari mengangguk. "Iya."
"Lo cuma mau ngomong itu? Kenapa nggak lewat telepon atau chat? Lebih simpel dan nggak buang waktu."
"Iya, gue tahu, tapi ada hal lain yang mau gue omongin sama lo."
"Apa?" tanya Dava.
"Gue mau ngajak lo buat ke club. Biasa lah. Kita refresing sambil cuci mata. Ngeliat yang seger-seger." Evan menaik turunkan alisnya.
"Gue lagi nggak mood. Lo pergi aja sendiri."
Evan bersecak sebal. "Nggak asyik lo."
"Emang."
"Ayo lah Dav, kita ke sana. Cuma sekedar nongkrong kok. Nggak ngapa-ngapain."
Dava menatap datar kembali Evan. "Emang biasanya kita ngapa-ngapain?"
"Hehehe, nggak sih."
"Yaudah. Apa bedanya kalau gitu. Lo pergi aja sendiri. Udah gede juga. Lo bukan anak TK yang mesti dianterin ke sana ke sini."
"Ck. Beneran nih lo nggak mau ikut? Yakin? Seriusan? Seratus persen."
"Iya, Van. Udah sana lo pergi. Gue nggak ikut dan jangan maksa gue."
Evan mengangguk. Ia kecewa Dava menolak ajakannya, tapi ya sudah lah. Mau bagaimana lagi? Evan tak mungkin membawa paksa Dava. Yang ada Evan malah dihajar Dava.
"Tunggu, Van," cegah Dava saat Evan akan melangkah pergi.
Evan tersenyum. Kemudian membalikkan badannya. "Berubah pikiran?"
"Nggak."
"Terus?"
"Gue ada tugas buat lo."
"Gue bukan bawahan lo. Enak aja main nyuruh-nyuruh." Evan tentu menolak. Ia bermaksud membalas penolakan Dava tentang ajakan pergi ke club. Biar impas gitu.
"Yakin lo nggak mau? Padahal kalau lo berhasil ngelakuin apa yang gue minta, gue mau kasih lo gratisan buat keliling eropa, tapi yaudah kalau nggak mau ya nggak papa."
Evan bimbang. Tawaran Dava memang sangat menggiurkan. Mana bisa ditolak kawan-kawan. "Tugas apa dulu? Jangan-jangan susah."
Dava menggeleng. "Nggak. Tugasnya mudah. Lo cari tahu orang yang namanya Adel."
"Adel? Siapa dia? Nama lengkapnya apa?"
Dava mengedikkan bahu. "Mana gue tahu. Yang jelas namanya Adel."
"Gila lo. Mana bisa gue cari cuma modal nama doang. Lo pikir Jakarta seluas daun kelor?"
"Lo masih inget kan cewek yang nyium gue di club waktu itu?"
Evan mengangguk. "Iya. Tunggu, jangan bilang ...." Dava menganggukkan kepala. "Kok lo tahu namanya Adel?"
"Dia yang mulangin Theo."
Evan tentu terkejut. "Wah. Dunia ini ternyata sempit. Oke deh gue bakal cari tahu sedetail mungkin, tapi inget ya sama omongan lo tadi."
"Iya. Cuma modalin lo keliling eropa nggak bakal bikin gue bangkrut."
"Dih, sombong amat."
*****
"Gimana Del?" tanya Maya saat wanita itu baru duduk di samping Adel.
"Gimana apanya?"
"Ck! Anak kecil yang lo temuin? Gimana respons keluarganya? Rumahnya sebesar apa? Duh gue kepo banget nih."
Pletak
Adel menjitak kepala Maya. "Satu-satu nanyanya."
"Yaudah buruan jawab. Jangan bikin anak orang penasaran."
Adel memutar matanya jengah. "Rumahnya sih gede. Gede banget malah. Perumahannya elit. Rumahnya Theo paling gede di antara yang lain."
Maya terkejut dan berkata 'wow' tanpa suara. "Terus-terus."
"Pas gue ketuk pintunya, yang bukain tuh bapaknya. Wah ganteng parah bapaknya. Muka-muka bule gitu. Sama persis kek anaknya." Adel tersenyum membayangkan bagaimana wajah pria itu.
Definisi cogan yang the best.
Maya juga ikut membayangkannya. Ia jadi ingin bertemu dengan ayahnya Theo. Seganteng apa sih sampai-sampai Adel ikut senyum.
Senyum Adel hilang begitu ingat siapa ayah Theo. Maya pun menyadarinya. "Kenapa malah ditekuk gitu mukanya?"
Adel menatap Maya. "Bapaknya Theo ...."
"Kenapa? Bininya empat?"
"Ck. Bukan lah."
"Terus apa?"
"Laki-laki yang gue cium di club."
"HAH?"