Mobil Rolls Royce putih segera melaju pulang menuju kediaman keluarga Riana Wijaya, selama perjalanan Alana hanya diam dan kepalanya ia sandarkan ke jendela mobil, memandangi ruas jalan dengan pikiran yang ia bebaskan untuk mengembara kemana saja. Oma Riana yang duduk di sampingnya tampak khawatir.
"Kamu kenapa Alana? Apa kamu tidak bahagia menikah dengan Ken?"
Pertanyaan Oma Riana sontak membuat Alana tersentak ke dunia nyata, ia gelagapan namun tak menemukan kata-kata untuk menjawab.
Sementara Ken yang duduk di depan samping sopir pribadi keluarga mereka, tampak menoleh ke belakang seraya cepat menimpali, "Mungkin Alana hanya kelelahan Oma, kami melakukannya dengan sangat baik tadi malam."
Ekspresi Oma Riana langsung berubah, bahkan ia sampai tertawa sembari geleng-geleng kepala mendengar penuturan Ken, bahkan sopir pribadi Oma pun ikut menahan tawa gara-gara Ken.
Berbeda dengan Alana yang wajahnya justru memerah sepeti tomat matang, ia tak menyangka Ken akan berucap seperti itu, Alana jadi semakin kesal dengan Ken.
"Baguslah, Oma tidak sabar memiliki cicit yang lucu dari kalian."
Alana sangat malu hingga ia ia ingin sekali menutupi wajahnya dan melarikan diri.
"Oma akan segera mendapat kabar baik itu," balas Ken percaya diri sembari melirik ke arah Alana dengan senyuman penuh arti.
Alana sempat mendelik ke arah Ken, ia mendesis geram, namun ia terpaksa harus merubah ekspresinya secepat kilat saat Oma Riana memandangnya, Alana memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Suasana itu sungguh membuat Alana sangat tersiksa, ini baru permulaan dan rasanya ia hampir menyerah, untung saja Rolls Royce putih segera tiba di Green Garden, sekeluarnya dari mobil, Alana pamit pada Oma Riana untuk langsung ke kamar dan istirahat.
Oma Riana dengan senang hati mengiyakan karena perempuan itu justru berpikir itu hanya alasan Alana untuk kembali mendapatkan waktu berdua saja dengan Ken, perempuan itu bisa memaklumi karena mereka pengantin baru.
Alana lupa kalau ia sudah menikah dengan Ken, ia hendak memasuki kamarnya namun masih terkunci rapat, jadi ia meminta pelayan untuk membukakannya namun detik itu juga Ken malarangnya dan menyuruh pelayan itu kembali melakukan pekerjaan yang lain.
"Bagaimana aku bisa istirahat kalau kamarnya terkunci Ken?" protes Alana kesal.
"Kamu lupa? Mulai sekarang kamu satu kamar denganku."
Alana menepuk jidatnya lalu mendengus kesal.
"Selesaikan peranmu dengan baik Alana, ini baru permulaan, ayo ikut aku sekarang!" ajak Ken seraya menggandeng tangan Alana ke kamarnya.
Masuk ke kamar Ken yang jauh lebih luas dari kamar Alana sebelumnya di rumah ini, ia diam-diam mengagumi penataan di kamar Ken yang begitu rapi, hingga ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak memperhatikan sekeliling kamar Ken yang terlihat lebih sederhana namun sangat nyaman, Alana juga bisa mencium bau parfum maskulin khas seorang Ken yang samar dan memenuhi udara.
"Ganti baju dulu kalau mau tidur, aku sudah menyuruh pelayan untuk memindahkan seluruh pakaianmu ke ruangan wardrobeku, meski jadi lebih sempit tapi bagaimana lagi," ujar Ken sedikit kesal sembari menunjukkan sebuah ruangan khusus di sudut kamarnya yang isinya adalah seluruh pakaian Ken dan segala pendukungnya seperti sepatu dan aksesoris lain.
Alana kembali terkejut karena ia tidak menyangka masih ada ruangan lagi di kamar Ken, dan ruangan itu sangatlah luas menurut Alana.
"Baiklah, tapi kita tidak akan tidur satu ranjang lagi kan?" tanya Alana dengan ekspresi tak kalah kesalnya.
"Memangnya kenapa kalau kita tidur satu ranjang?"
Alana mendesis geram, tidak mengerti apa sebenarnya keinginan Ken karena itu jelas tidak ada di perjanjian yang telah ia tanda tangani.
"Ken, aku memang dulu sangat mengidolakanmu bahkan tergila-gila padamu, tapi bukan berarti aku bisa kamu bodohi berkali-kali."
"Maksud kamu?"
Ken menautkan alisnya dengan tatapan yang berubah sangat dingin.
"Tidur satu ranjang itu tidak ada dalam surat perjanjian Ken, dan kita hanya akan berperan sebagai suami istri ketika di depan Oma."
Entah kenapa Ken tampak tidak senang dengan pernyataan Alana meski apa yang dikatakan Alana itu benar.
"Aku juga sebenarnya tidak mau kita berpura-pura seperti itu Ken karena bagaimanapun pernikahan kita sah di mata agama sekaligus hukum, tapi kamu sendiri yang memintaku seperti itu bukan?" lanjut Alana dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Ken terdiam, mata dinginnya menyapu wajah Alana yang begitu terluka.
Detik berikutnya Alana sudah tidak bisa lagi membendung air matanya, sejak nama Viola ia dengar saat Ken memeluknya tadi pagi, hatinya sangat hancur dan membuatnya ingin uring-uringan seperti ini.
"Alana, aku minta maaf," Ken menurunkan kelopak matanya dan berucap dengan lembut.
"Aku tidak akan memintamu lagi tidur seranjang denganku, aku bisa tidur di sofa," lanjut Ken.
Alana justru semakin terluka, bukan itu yang diinginkannya.
"Tidak Ken ini kamarmu, aku biasa tidur di mana saja."
Ken tampak mendengus kesal.
"Terserah kamu!" pungkasnya.
Terlanjur kesal dan kecewa, Alana tidak lagi mempermasalahkan itu, ia justru ke kamar mandi dan berganti pakaian, setelahnya ia meringkuk di sofa dan memejamkan matanya.
Ken yang melihat pemandangan seperti itu merasa tidak tega, tapi ia masih bimbang dengan keputusannya sendiri, di sisi lain ia sudah menyatakan perjanjian yang tidak boleh dilanggar, sisi lain ia ingin berubah pikiran dan menganggap Alana sebagai istri sahnya namun ia takut belum siap karena ia masih sangat mencintai Viola, meski Viola sudah menjauhinya sekarang, Ken kesulitan menghadapi dirinya sendiri.
Ken akhirnya menggendong Alana pindah ke tempat tidurnya, ia tahu Alana kelelahan karena pesta kemarin.
Saat bangun, Alana sedikit linglung karena menyadari dirinya telah berada di tempat tidur Ken.
"Apa aku tidak sadar dan berjalan sendiri ke sini?" tanyanya bingung.
Ken yang baru saja keluar dari kamar mandi segera menertawakan kebingungan Alana, namun Alana justru berteriak karena melihat Ken yang bertelanjang dada dan hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Ken kesal.
"Memangnya kamu tidak punya handuk kimono apa Ken?" Alana justru balik bertanya dengan sambil menutupi wajahnya.
"Punya lah," balas Ken yang justru semakin mendekat ke arah Alana.
Ini kedua kalinya Ken berada satu kamar dengan Alana dan itu membuat hasratnya berbeda, mungkin karena ia laki-laki normal jadi tentu saja ingin bermain-main dengan istrinya meski hanya sekali saja, lagi pula apa salahnya? Pikir Ken.
"Alana, ayolah! Sekali saja," pinta Ken tiba-tiba.
"Hah?"
Ken tak sabar, ia menarik tangan Alana agar mendekat ke arahnya, hal itu membuat tubuh Alana sontak jatuh ke pelukan Ken, dan Ken menyeringai senang, sementara Alana justru berusaha untuk melepas cengkraman Ken di tubuhnya namun berujung sia-sia.
"Aku akan memberikannya berkali-kali Ken, asalkan...."
"Aku setuju," sela Ken tak sabar.