Jasmine membuka kelopak matanya yang bengkak namun tidak dapat melihat apapun. Gelap, tapi tidak gelap total. Ia masih bisa mengenali bentuk perabot kamar yang warna bayangannya lebih pekat. Mencoba bangun, kakinya menyenggol sebuah benda persegi pipih hingga benda itu merosot jatuh ke karpet bulu di bawah kasur.
Ia berdecak. Meraba-raba tepian kasur hingga akhirnya berhasil menekan tombol nyala pada lampu tidur. Kamarnya menjadi sedikit terang dan walaupun tidak kuat, cahaya dari lampu tidur membuat matanya buta selama beberapa detik—karena wajahnya berada cukup dekat dengan benda itu. Ia mengerjap cepat lalu mengucek kelopak matanya yang terasa gatal.
Akhirnya ia bisa melihat apa yang terjatuh tadi; Macbook-nya tersungkur dengan membentuk kerangka segitiga. Layarnya padam. Ia bangkit perlahan dan mengambil benda itu. Ada setitik merah yang berkedip di sisinya, mengindikasikan daya baterai yang mau habis.
Jasmine berjalan menuju meja belajar dan mencolok charger pada lubang di sisi Macbook. Sekilas ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 04.45 pagi. Pantas saja masih gelap dan … hening. Ia menyeringai kecil dan masuk ke kamar mandi. Biasanya ia akan terbangun karena suara alarm ponsel atau karena teriakan dari dua orang dewasa di rumah ini. Keberuntungan yang langka; terbangun dalam keadaan hening damai sentosa.
Seharusnya pagi itu seperti ini kan? Tidak ada yang berisik kecuali burung atau ayam berkokok. Atau suara adzan dari masjid terdekat. Pagi yang normal itu memang seharusnya seperti ini.
Matanya masih terasa bengkak dan rasa gatal itu belum sepenuhnya hilang. Ia bercermin dan menghela napas panjang. Terlihat seperti habis ditonjok orang, minus warna lebam biru-keunguan. Setelah memakai seragam sekolah, ia turun ke lantai dasar dan pergi ke dapur untuk mencari es batu. Masih ada waktu setengah jam untuk mengompres matanya.
"Kak."
Jasmine sedikit menutup pintu kulkas dan mengintip. Joshua masih memakai piyama bergambar matahari. Berdiri lunglai di pintu masuk dapur.
"Kok bangun?" tanyanya, kembali membuka freezer dan memasukkan beberapa butir es batu ke dalam ice bag.
"Aku dengar suara kakak mandi," kamar mandi mereka memang menyambung dengan kamarnya dan kamar adiknya, suara keran air jadi terdengar ke kamar sebelah. Joshua melangkah pelan hingga akhirnya duduk di salah satu stool. "Aku mau sarapan sekarang."
Masih ada waktu lima belas menit hingga asisten rumah tangga tiba dan memasak sarapan. Tapi Joshua tetap menatapnya dan ia tidak memiliki pilihan lain.
Jasmine mengeluarkan box Kellogg's dari cabinet atas, mangkuk, sendok dan susu dari dalam kulkas. Ia hanya menyiapkan bahan-bahannya karena Joshua yang akan membuatnya sendiri. Umur anak itu sudah delapan tahun dan sudah perlu diajari kemandirian. Adiknya pernah berkata kalau ia bisa menyiapkan bahan-bahannya secara mandiri, namun posisi serealnya terlalu tinggi untuk digapai. Jasmine pernah mengubah posisi sereal agar bisa dijangkau Joshua tapi esoknya sudah kembali ke posisi semula. Ia mengubahnya berulang kali, namun box itu seperti punya pikiran sendiri.
"Cepat habiskan," Jasmine duduk di sebelah adiknya dan mengompres kedua matanya. Joshua memandangnya heran namun tidak bertanya. Adik pintar.
"Sekarang hari Senin, jadi aku harus pulang jam 3 sore?"
"Tunggu di taman atau di café es krim seperti biasa," jawab Jasmine tanpa melihat adiknya. Joshua selesai sarapan sepuluh menit kemudian dan menaruh bekas alat makannya ke dalam bak cuci. Meninggalkan dapur tanpa mengatakan apapun lagi.
Jasmine mengembalikan box sereal ke tempat semula dan berjalan menuju lantai dua—kamarnya. Mengendap sesunyi mungkin agar pemilik kamar lain tidak terbangun karena langkah kakinya yang berisik. Tubuhnya berbaring di kasur dan ice bag besar itu menutupi kedua matanya. Rasa dingin meresap sempurna ke dalam setiap sel otaknya. Memberinya rasa segar yang baru namun menyenangkan. Dua puluh menit berlalu, kepalanya nyaris membeku. Ia buru-buru menaruh ice bag di nakas samping tempat tidur sebelum otaknya mati dan tetap pada posisi berbaring. Menunggu bias cahaya masuk dan diolah sempurna oleh retina mata.
Ia mendengar bunyi air yang mengalir dari kamar mandi—Joshua. Itu adalah tanda yang menyuruhnya untuk bersiap. Bekas tetesan air di sekitar wajah diseka dengan handuk lalu memulas make up. Poin utama adalah menyamarkan mata panda dan mengembalikan rona merah bibirnya.
Sambil mengantungi ponsel ke dalam saku blazer, ia membuka pintu kamar dan melihat Joshua sudah berdiri di depan pintu kamarnya sendiri, menunggunya. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas keluar rumah—sekilas mendengarkan obrolan di dapur. Sudah pasti itu suara ART dan tukang kebun. Mereka selalu datang beberapa saat setelah subuh untuk bekerja.
"Uang jajan masih ada?"
"Masih."
Jasmine harus mengantar adiknya sekolah lebih dulu. Sekolah Joshua adalah sekolahnya juga, mereka bernanung di bawah nama yayasan yang sama. Kenyataan bahwa mereka berangkat sekolah lebih pagi bukan untuk dicap sebagai anak rajin, ternyata cukup menyedihkan. Tapi siapa peduli?
"Jam 6 pagi seperti biasanya," kata Pak Darman selaku penjaga gerbang SD Budi Pertiwi ketika melihat mereka datang. Merasa kagum dengan semangat kedua anak muda tersebut yang selama dua tahun tidak pernah berubah.
"Titip Josh ya, Pak," ujar Jasmine dengan ramah. Joshua segera melepas genggaman tangan mereka dan pergi menuju pos security. KBM baru akan dimulai dua jam dari sekarang. Jadi, anak itu mau tidak mau menunggu sebentar hingga seluruh kelas dibuka.
"Siap, Non."
Lokasi SMA Budi Pertiwi hanya berbeda satu blok dari SD dan SMP-nya. Jasmine cukup berjalan kaki santai 15 menit. Seperti bangunan SD, SMA Budi Pertiwi dikelilingi pagar tembaga tinggi yang berbentuk jaring-jaring. Di bawahnya tertanam semak-semak setinggi pinggang orang dewasa yang ditanam sepanjang pagar, dipangkas menyerupai bentuk persegi panjang terbalik. Ia mengibaskan tangannya yang basah oleh embun semak-semak. Kibasannya cukup kuat untuk melepaskan cincin silver dari jari manisnya.
Ah, terlalu banyak benda yang dijatuhkannya pagi ini.
Tepat ketika hendak berdiri seusai mengambil cincin, sebuah sedan melintas dan berhenti di trotoar. Jasmine menyembunyikan diri di balik pohon terdekat dan mengintip. Seorang gadis yang dikenalnya keluar dari sana dan memasuki area sekolah. Berjalan dengan terburu-buru membawa sekantung plastik.
Ia tidak berniat mengikuti, tapi ternyata arah gadis itu sama dengan tujuannya; kelas 12 IPA 1. Jasmine kembali bersembunyi di balik tiang lebar yang terdapat di sepanjang koridor ketika gadis itu keluar dari kelas.
Jasmine tersenyum saat mendapati sekantung plastik berisi 2 kotak susu pisang, 3 bungkus onigiri tuna mayo dan 6 lollipop rasa strawberry. Berada tepat di atas meja Mario, sang pacar.
▬▬▬
"Jaz, gue mau liat juga ya!"
Ia menurunkan sedikit buku The Bell Jar karya Sylvia Plath yang menutupi wajahnya. Melihat tatapan penuh harap dari Bayu—si Tukang Pinjam Buku PR. Ia mengangguk, tentu saja. Siapapun boleh melihat jawaban PR—apa saja—miliknya, asalkan telah meminta ijin lebih dahulu. Bayu bersorak dan ikut berkumpul dengan anak-anak yang sedang menyalin isi buku PR-nya di sudut kanan kelas.
Jam kosong saat pergantian kelas ini dimanfaatkan anak-anak untuk makan, main ponsel, bercanda, dan juga menyalin tugas. Bahkan ada yang sedang mengecat kuku—Vira, teman yang duduk di depannya.
"Jadi dong!" seru Vira ketika berbalik menghadap belakang, memamerkan keahliannya dalam memoles.
Peraturan sekolah mereka memang agak aneh. Para siswa diperbolehkan mengecat kuku asalkan kuku mereka tidak panjang. Kuku Vira sekarang berwarna merah dengan beberapa bintik hitam kecil, jadinya seperti sayap bugs. Lucu.
"Bagus," responnya. Menaruh novelnya ke laci meja. "Yang kanan belum?"
"Nanti di rumah aja. Susah nulisnya kalau sekarang. Fotoin dong!"
Jasmine mengambil ponselnya dari dalam laci meja dan Vira langsung berpose, setelah sepuluh kali take, Vira baru puas. "Kirim ke WA."
"Duh, pasangan goals-ku. Yang awet ya kalian!" seru Vira sambil tersenyum menatap layar ponselnya dan Jasmine bergantian.
"Hm?"
Vira memperlihatkan layar ponselnya. "Si Mario bikin status Insta, foto camilan yang lo beliin buat dia. Lo di-tag kok, belum baca ya? Jangan mesra-mesra! Gue iri!"
Jasmine melempar tatapan ke sisi kiri kelas, tempat yang bersebrangan dengan kursinya. Mario tengah bergurau dengan anak-anak lain sambil meminum susu pisang. Ketika tatapan mereka bertubrukan, Mario tersenyum lebar sambil menggoyangkan kotak susu itu. Ia membalas senyumannya tak kalah lebar.
"No PDA, guys!" seru Vira lagi. Jasmine menyentil lengan gadis itu dan mereka tertawa.
▬▬▬
"Beneran gak mau aku anterin?"
Jasmine mengangguk pasti. Mario telah menanyakan hal ini lebih dari 6x, dan jawabannya akan tetap sama. Ia bisa melihat tatapan kesal itu walaupun si pemilik wajah tersenyum lebar.
"Tapi hari Sabtu jadi kan?" Mario menegaskan, nadanya lebih seperti mengancam daripada merajuk.
"Iyaa," jawab Jasmine dengan manis, berharap dapat mengurangi kekesalan pacarnya itu. "Nanti aku chat lagi kalau ada perubahan jadwal."
Setelah memutarkan bola mata, Mario mengangguk dan mengecup pipinya kilat. Jasmine melirik sekitar dan ada banyak pasang mata yang tengah memperhatikan mereka. Ia hanya bisa memukul pelan lengan Mario dan membuat si pacar tertawa geli.
"Yah … Jasmine gak ikut, Yo?" tanya Ilham yang entah muncul dari mana. "Gak asik lah. Kita-kita pada bawa cewek, masa lo ngenes sendirian?"
Mario membuka pintu mobilnya dan masuk. "Gak usah maksa. Buruan cabut, nanti macet!" lalu menatapnya. "Hati-hati, sayang. Chat aku begitu sampai rumah."
Ia mengangguk lalu melambaikan tangan. Berjalan keluar dari lapangan parkir lebih dulu, meninggalkan Mario dan gerombolannya di belakang. Sore ini, mereka mengajaknya nongkrong di café. Bukan café biasa, melainkan café sekaligus arena bermain band. Ada banyak sekali jenis alat musik disana, dan Mario menjadikan tempat itu sebagai markas geng-nya.
Ia pernah setidaknya dua kali kesana, menemani Mario hingga malam.
Kakinya berjalan cepat menuju kawasan SD, wilayah itu sudah sepi dan hanya gedung SMP saja yang masih beroperasi. Taman yang ada di sebelah gedung SD pun sepi. Ia menyebrangi zebra cross dan berbelok di perempatan. Ada sebuah café kecil yang ramah bagi anak-anak disana. Bel pada pintu bergemerincing begitu dibuka, ia mencari seorang anak laki-laki bertas biru muda.
"Yuk pulang," ajaknya. Ia menemukan Joshua duduk di pojok ruangan dengan buku bergambar di tangannya.
Anak itu langsung mengemasi crayon dan buku bergambarnya ke dalam tas. Jasmine tergoda untuk membeli milkshake, jadi ia menyuruh adiknya untuk menunggu lagi. "Mau jajan lagi?"
Joshua menggeleng. Lima menit kemudian mereka sudah ada di dalam bus. Pikirannya melalang buana tentang makan malam; apakah sisa makanan masih ada? Ataukah dia harus membelinya? Joshua duduk diam di bawahnya, tertidur dengan kepala yang mengangguk-angguk. Jasmine melepaskan sebelah pegangannya pada grip atas dan menahan kepala adiknya agar tidak terkantuk bahu penumpang lain.
"Duduk aja, Dik," tawar seorang ibu-ibu yang duduk di sebelah Joshua. Menawarkan kursinya untuk Jasmine.
Jasmine menggeleng seraya tersenyum. "Gak pa-pa, Bu. Sebentar lagi kami turun."
Joshua masih terlelap bahkan ketika mereka turun dari bus. Jasmine jadi harus menggendong gaya piggy-back ride anak itu. Anak seusia Joshua, pada jam-jam ini seharusnya ada di rumah, belajar, bermain dan berkumpul dengan keluarga. Bukannya melewatkan jam tidur siang setiap hari karena harus menunggu kakaknya pulang sekolah dan berdesakan di dalam bus pada sore hari.
Jelas bocah ini kelelahan.
Mereka tiba di rumah. Ia baru akan menaiki tangga ketika teriakan itu menggedor gendang telinganya.