Chereads / The Dream High / Chapter 3 - Kerja Kelompok

Chapter 3 - Kerja Kelompok

"Yah, kelompoknya sesuai absen lagi." Luna sedikit kecewa. Ia terbiasa satu kelompok dengan sahabatnya, Raissa. Namun, untuk kali ini, mereka terpaksa harus berbeda kelompok.

"Kira-kira lo kelompokan sama siapa aja, ya?" tanya Raissa penasaran.

"Gak tau deh sama siapa aja. Tapi, dugaan gue sih sama si Clara." Luna berbisik di telinga sahabatnya saat mengucapkan nama itu.

"Apa? Sama si nenek sihir itu?" Mata sendu Raissa membulat sempurna karena terkejut saat mendengar dugaan Luna.

Luna menganggukkan kepala, mengiyakan perkataan sahabatnya itu tanpa berbicara.

"Ya ampun ... semoga dia memperlakukan lo dengan baik, ya. Agak ngeri gue sebenarnya sama dia." Raissa sedikit khawatir dengan nasib sahabat.

Saat mereka berdua dan juga murid yang lainnya tengah asyik mengobrol, Bu Ernawati menggebrak meja agar semuanya terdiam.

"Diam semua!" perintah Bu Ernawati dengan suara 5 oktaf. Seketika, kelas langsung hening.

"Kalian itu ngobrolin apa, sih? Bukannya buat kelompok malah asyik ngerumpi," tanya wanita itu heran.

"Kami gak tau kelompoknya sama siapa saja, Bu," tutur beberapa orang siswa memberikan penjelasan.

"Ya ampuun ... bilang, kek, dari tadi ke Ibu, bukannya malah ngerumpi sama teman kalian." Bu Ernawati mendengus kesal.

Wanita itu mulai mengambil absensi yang ia letakkan di atas meja, kemudian menyebutkan nama siswanya per lima orang dimulai dari absen pertama.

Tiba saat nama Clara pertama kali disebut setelah ada dua kelompok sebelumnya, Luna dan Raissa harap-harap cemas, apakah Luna termasuk ke dalam kelompok itu atau tidak.

"Clara Naura, Denny Aprilio, Hilda Safitri, Laila Lushi, Luna Mahira."

Nama Luna disebutkan terakhir di urutan kelima yang berarti bahwa ia satu kelompok dengan Clara. Satu kelompok dengan gadis super angkuh itu sungguh sangatlah menyebalkan bagi Luna.

Dari raut wajahnya, gadis itu nampak kecewa dengan pembagian kelompok berdasarkan absensi. Ia kemudian tertunduk lesu. Raissa yang tahu akan perasaan Luna hanya bisa mengusap-usap bahunya.

Raissa menoleh ke belakang, tempat di mana Clara duduk. Saat Clara tau bahwa Raissa—sahabat dari orang yang tidak ia sukai melihat kearahnya, ia langsung memutar bola matanya malas, lalu membuang muka. Ia seakan enggan melihat wajah Raissa.

"Malesin banget gak sih sekelompok sama si cewek miskin?" tutur Clara pada teman sebangkunya yang juga satu kelompok dengannya. Hilda tersenyum sinis mendengar perkataan sahabatnya sambil melihat ke arah Luna.

"Oke, hari ini kita akan menjelaskan materi tentang jamur dan Ibu akan memberikan penjelasan juga tentang tugas kelompok kalian. Tugas ini tidak dikerjakan di sekolah, tapi di rumah secara berkelompok. Ingat, semua anggota kelompok harus ikut berpartisipasi. Kalian bisa laporkan ke Ibu jika ada anggota kelompok kalian yang tidak ikut bekerja. Mengerti?" jelas Bu Ernawati panjang lebar di depan kelas.

"Mengerti, Bu," ucap mereka serentak.

"Sekarang kalian duduk dengan anggota kelompok masing-masing," perintah guru biologi itu.

Para siswa mulai bergabung dengan kelompok mereka masing-masing, begitu pun Luna dan Raissa. Luna berjalan ke arah tempat duduk Clara karena kelompoknya berkumpul di sana.

Saat Luna datang, Clara dan juga anggota kelompok yang lain terdiam. Mereka seakan tak menghiraukan kehadiran gadis malang itu.

Luna menarik sebuah bangku kosong yang ada di dekatnya untuk duduk. Kini, gadis itu duduk berhadapan dengan Clara, gadis yang membencinya tanpa sebab.

Seluruh murid telah berkumpul dengan kelompok masing-masing. Bu Ernawati mulai menjelaskan tentang materi dan langkah-langkah untuk melakukan tugas kelompok mereka.

Seusai mendengarkan penjelasan guru mereka, Clara dan juga anggota kelompok yang lainnya mulai berdiskusi. Sedangkan Luna, ia hanya mendengarkan saja apa yang mereka bicarakan.

"Eh, kita mau kerja kelompok di rumah siapa, nih?" tanya Denny sesuai pelajaran biologi berakhir.

"Di rumah gue aja, gimana?" Clara menawarkan.

"Hmm... boleh. Rumah lo di mana emangnya?"

"Di komplek Puri Indah."

"Wuih, keren. Itu, 'kan salah satu kompleks paling elit se-Jakarta," sahut Laila.

"Iya, dong. Si Clara, 'kan bapaknya pejabat." jelas Hilda pada teman-temannya yang lain.

"Wuih, pantesan aja."

Teman-teman Clara kagum karena ia tinggal di kompleks perumahan elit dan ayahnya merupakan seorang pejabat. Gadis itu menjadi besar kepala dan merasa bangga akan dirinya sendiri.

"Terus kapan, nih, waktunya?" tanya Denny memastikan.

"Hmm ... gimana kalau hari Minggu jam 10 pagi?" Hilda memberikan usul.

"Oke, fix, ya, hari Minggu jam 10 pagi."

"Iya, fix. Nanti gue minta ART gue buat sediaan cemilan buat kalian," tutur Clara pada teman-temannya.

"Wuih, sediain makanan yang enak-enak, ya," pinta Denny, lelaki bertubuh agak gemuk itu sambil cengar-cengir memperlihatkan giginya.

"Iya, gampang. Tenang aja."

Sedari tadi, Luna hanya terdiam mendengarkan percakapan mereka. Ia ragu untuk ikut berbicara karena takut tak ditanggapi oleh mereka. Namun, kini ia terpaksa harus berbicara pada Clara, menanyakan alamat rumahnya.

"Clara, boleh gue minta alamat rumah lo?" Luna berbicara sedikit takut.

Clara melirik ke arah Luna tanpa berbicara. Ia mengambil buku dan pena yang ada di atas meja, lalu mulai menuliskan alamat rumahnya di atas kertas.

Clara merobek kertas itu, lalu memberikannya pada Luna.

"Nih." Ia hanya berbicara sepatah kata pada Luna.

Luna mengambil kertas itu, lalu melipatnya. Gadis itu menaruh kertas berisi alamat rumah Clara ke dalam tempat pensilnya.

***

"Pa, besok bisa anterin Kakak gak ke rumah teman?" tanya Luna pada ayahnya yang tengah tidur-tiduran di atas tikar di ruang tamu.

"Bisa, Kak. Rumah teman Kakak di mana?"

"Di komplek Puri Indah, Pa. Papa tau gak?"

"Ya tau, dong. Papa, 'kan, pernah antar penumpang ke sana. Rumah di sana besar-besar kaya istana."

"Alhamdulillah, kalau Papa tau."

"Kakak mau ke rumah temannya jam berapa?"

"Gak tau, Pa. Tapi mulai kerja kelompoknya, sih, jam 10 pagi. Kira-kira berangkatnya jam berapa, ya, dari rumah?"

"Kalau dari sini ke kompleks Puri Indah paling lama 45 menit. Berarti kita berangkat aja jam 9 pagi."

"Oh, ya udah kalau gitu, Pa."

***

"Pak, mau tanya, alamat ini ada di sebelah mana, ya?" tanya Rendra pada salah satu security yang ada di pos sambil menyerahkan secarik kertas.

"Oh, ini rumah Pak Muhaimin. Bapak dari sini lurus aja terus belok kanan. Nanti di pertigaan Bapak belok kiri. Nah, rumahnya ada disebelah kanan jalan, pagarnya cat emas.

"Oh, iya, Pak. Terima kasih."

Rendra langsung menjalankan motornya mencari rumah Clara berdasarkan arahan dari satpam kompleks. Begitu mereka sampai di tujuan, ayah dan anak itu takjub dengan kemegahan rumah yang ada di hadapan mereka.

"Wah, gede banget pak rumahnya." Luna melongo.

"Iya, ya, Kak. Ckckck ...." Rendra berdecak kagum.

Luna turun dari motor, lalu memencet bel yang ada di dekat pintu pagar. Tak lama, ada suara terdengar dari speaker yang ada di dekat bel.

"Siapa?" terdengar suara seorang wanita dari speaker.

"Saya temannya Clara, Bu."

"Oh, mau kerja kelompok, ya? Sebentar ya, saya bukakan dulu gerbangnya.

Gerbang rumah itu pun terbuka secara otomatis sesaat setelah wanita itu berbicara.

"Silahkan masuk."

Luna berpamitan pada sang ayah, lalu masuk ke halaman rumah megah itu. Seumur-umur, iya belum pernah menginjakkan kaki di rumah sebesar itu.

Saat ia tengah menunggu untuk dibukakan pintu, ia melirik jam tangannya yang baru menunjukkan pukul 09:35 pagi. Berarti ia datang 25 menit lebih awal dari waktu yang seharusnya. Luna pun cemas, berharap ia bukanlah orang yang pertama sampai di rumah Clara.