Luna merasa sangat tidak nyaman berada di antara orang-orang yang mengabaikan kehadirannya. Ingin rasanya ia pulang dan meninggalkan teman-teman yang tengah asyik menonton sembari memakan cemilan yang terhidang di atas meja, tetapi perutnya terasa begitu lapar. Selain itu, ia merasa tidak enak jika harus berpamitan duluan.
Sudah hampir dua jam lamanya mereka menonton televisi, dan jam pun sudah hampir menunjukkan pukul satu siang. Saat ini waktunya makan siang, tetapi mata mereka masih saja menatap layar televisi.
Luna melirik ke arah donat kenamaan di dalam box berwarna kuning dan juga klappertaart yang membuatnya terasa semakin lapar. Ia ingin mengambil makanan-makanan tersebut, tetapi ia sungkan karena tidak ditawarkan atau dipersilakan untuk memakannya oleh sang empunya rumah.
Perut Luna tiba-tiba berbunyi. Ia sudah tak bisa lagi menahan rasa laparnya. Jikalau ia memaksakan pulang di tengah terik matahari dalam keadaan lapar, ia khawatir akan jatuh pingsan. Di saat ia ingin sekali makan, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya berparas cantik jelita tanpa hijab berjalan menghampiri mereka yang tengah menonton di ruang keluarga.
"Eh, ini, toh, teman-temannya Clara. Gimana, udah selesai kerja kelompoknya?" ujar Christie menghampiri teman-teman putrinya yang sedang bersantai. Mereka pun serentak menoleh kearah Christie, dan menyadari bahwa wanita yang baru saja berbicara itu adalah ibunda Clara.
"Iya, sudah selesai dari tadi, Tante. Maaf, kami tadi belum sempat menemui Tante pas kami baru datang," balas Hilda spontan.
"Gak apa-apa. Gak perlu minta maaf juga."
"Iya, Tante," ucap Hilda kemudian. Mereka pun segera beranjak dari duduk dan menghampiri Christie untuk mencium tangannya.
Hingga tiba giliran Luna mencium tangannya, Christie menyadari bahwa wajah gadis di hadapannya terlihat sedikit pucat. Ia pun nampak khawatir dan menanyakan kondisi Luna.
"Kamu sakit? Wajah kamu agak pucat."
"Hum? Enggak, kok, Tante," jawab Luna sembari menggelengkan kepalanya. Tak sampai satu menit, perutnya kemudian berbunyi kembali dan didengar oleh ibunda Clara.
"Kamu pucat karena belum makan, ya?" tanya wanita paruh baya itu.
"I–iya, Tante," balas Luna.
Mendengar jawaban Luna, Christie melihat ke arah sang anak seraya menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan putrinya yang membiarkan temannya sendiri kelaparan di saat makan telah terhidang di atas meja.
"Temannya, kok, gak ditawarin makan, sih, Nak. Kasian ini temanmu kelaparan. Mungkin dia juga sungkan ambil makanan karena gak kamu tawarin," ujar Christie.
Clara diam tanpa kata. Ada perasaan kesal pada Luna karena sang ibu menyalahkan dirinya hanya karena ia tidak menawarinya untuk makan. Ia pun cemberut sesaat setelah ibunya selesai berbicara.
"Ya sudah, ayo makan dulu," ajak Christie, merangkul Luna menuju meja makan untuk makan siang.
Luna pun berjalan beriringan bersama wanita itu menuju meja makan. Hal tersebut membuat Clara cemburu. Ia melihat ke arah Luna dengan tatapan tidak senang seraya melipat tangan di depan dada.
Sadar bahwa sahabatnya tengah kesal, Hilda pun bertanya,
"Sekarang lo pasti lagi kesel banget sama si Luna? Iya, 'kan?" Hilda mencoba menerka apa yang sedang dirasakan sahabatnya.
"Iya! Gimana gak kesel coba, nyokap gue nyalahin gue gara-gara dia kelaparan. Kan bete gue jadinya."
"Udah, gak usah bete. Gak enak banget tampang lo diliatnya kalo lagi bete," ujar sahabatnya yang coba untuk meredam rasa bad mood Clara.
Saat sudah sampai di depan meja makan, mata Luna berbinar ketika melihat berbagai macam makanan yang terlihat sangat enak telah terhidang di atas meja. Makanan-makanan tersebut sangat jarang ia nikmati, bahkan ada yang hanya ia nikmati setahun sekali.
"Ayo, makan yang banyak. Ambil lauk mana aja yang kamu suka," ujar wanita itu sembari memberikan piring kepada Luna.
Luna segera menyendok nasi, lalu mengambil beberapa jenis lauk yang hanya ia makan setahun sekali yaitu rendang daging. Tak lupa, ia juga mengambil ayam goreng, udang saus mentega, dan juga capcay.
Gadis itu mendudukkan dirinya di kursi, ia sudah tak sabar ingin menikmati hidangan istimewa yang ada di atas piringnya. Ia mulai menyendok makanan itu ke dalam mulutnya. Saat sudah berada di mulut, Luna merasakan bahwa makanan yang tengah ia nikmati saat ini adalah makanan terenak yang pernah ia makan. Begitu lezat dan nikmat.
Karena sangat kelaparan, tak butuh waktu lama, Luna sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa. Melihat Luna yang telah selesai makan, Christie menawarkannya untuk menambah lagi.
"Ayo ambil lagi nasi sama lauknya. Makan yang banyak biar nanti kamu gak kelaparan di jalan pulang," ujar wanita itu menawarkan.
"Iya, Tante," jawab Luna sembari tersenyum malu. Karena belum merasa kenyang dan ia sudah ditawari untuk mengambil makanan lagi oleh empunya rumah, akhirnya Luna mengambil lagi setengah centong nasi beserta lauk yang sama.
Setelah piring yang kedua, Luna akhirnya merasa kenyang. Ia begitu menikmati makan siangnya kali ini. Gadis itu berharap suatu saat nanti bisa makan enak seperti ini setiap hari.
Melihat piring Luna yang telah bersih tanpa sedikit pun ada sisa makanan, Christie pun tersenyum senang. Ia tahu bahwa teman dari putrinya itu sangat lapar.
"Wah, makanan kamu habis? Enak ya makanannya?"
"Iya, Tante, enak banget makanannya. Jarang-jarang saya makan makanan seperti ini di rumah."
"Iya, kah?" tanya Christie tak percaya. Karena sepengatahuan wanita itu, anak-anak yang bersekolah di SMA negeri, tempat di mana putrinya menimba ilmu didominasi oleh anak-anak dari kalangan menengah atas.
"Iya, Tante. Apalagi makan rendang, cuma setahun sekali saja saat kurban," jawab Luna begitu polosnya.
Christie kemudian menyadari bahwa Luna berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia pun iba mendengar pengakuan gadis belia itu. Wanita berparas cantik itu pun kemudian beranjak ke dapur mengambil plastik kiloan untuk membungkus semua jenis lauk yang kemudian akan ia berikan kepada Luna agar bisa ia santap bersama keluarganya.
Saat semua lauk sudah dimasukkan ke dalam plastik, ia pun memberikannya kepada Luna.
"Ini buat kamu makan di rumah. Salam sama Bapak dan Ibu kamu, ya."
Luna yang masih duduk di atas kursi makan pun mendongak ke atas menatap wajah Christie, lalu melihat ke arah makanan yang telah dibungkus olehnya.
"Gak usah, Tante. Gak perlu repot-repot," balas Luna yang merasa sungkan.
"Gak apa-apa. Biar sesekali kamu bisa ngerasain makan rendang. Kalau makan rendangnya nunggu kurban dulu masih lama."
Luna pun menerima plastik berisi makanan tersebut seraya tersenyum. Ia sudah tak sabar ingin segera pulang agar kedua orang tuanya dapat menikmati hidangan istimewa ini.
Saat teman-teman Clara pamit pulang, Christie pun mengatakan sesuatu kepada Luna sebelum gadis itu meninggalkan kediamannya.
"Lain kali main-main ke sini lagi, ya," pesan Christie sembari menyentuh bahu Luna. Menatap matanya dengan penuh perhatian.