Anna terbangun dari tidurnya setelah sudah semalaman ia menangis dan merasakan kesakitan sampai-sampai tetesan darah itu sudah mengering dari telapak kakinya. Ketika ia terbangun, ia merasakan lantainya yang begitu dingin, sampai hawa dingin itu begitu menusuk tulang-tulangnya. Ketika serpihan kaca itu masih berhamburan di lantai, ia pun mencoba memungutnya dengan perlahan.
Serpihan itu ia kutip dan ia bawa keluar menggunakan kantong kresek hitam dengan pakaiannya yang masih begitu berantakan sekali. Ia pun keluar dengan menenteng kantong kresek hitam itu, dengan berjalan perlahan-lahan demi menahan rasa sakitnya di kakinya itu. Namun tiba-tiba saja saat itu Anna tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang ia kenali. Ia ingin membuang muka, dan berusaha menjauh. Tapi malangnya ia tetap dipanggil oleh orang itu yang tidak ia kenali.
Anna pun merasa risih ketika ada orang yang tidak kenali tiba-tiba sedang menolongnya untuk berjalan, ia pun berusaha menghindar meskipun tentengan serpihan kaca itu juga membuatnya kewalahan ketika ia bawa. Pria itupun penasaran dengan apa yang sedang Anna bawa. Sampai akhirnya ia pun langsung mengambil kantong kresek itu untuk ia lihat.
Ketika ia melihatnya pria itu sampai tercengang saat melihat begitu banyak serpihan kecil yang sedang wanita itu bawa. Lalu ia pun bertanya. "Hey, lihatlah kakimu sekarang sedang terluka parah, dan ini serpihan kaca ini apa luka itu berasal dari benda ini kan?"
"Apa peduli mu?" tanya Anna dengan menjawab begitu ketusnya. Namun pria itu hanya tertawa renyah ketika mendengar hal itu, lalu pun berkata. "Aku hanya kasihan dengan sesama tetangga ku, kau penghuni baru ya di apartemen ini?"
"Kalau iya memangnya kenapa?" Lagi-lagi Anna terus menyahut ucapan pria itu dengan sangat ketus, bahkan ia begitu terlihat sangat kasar waktu itu.
"Oh begitu ya sudah," sahut pria itu sembari melepaskan pegangannya kepada Anna. Namun ketika ia melepaskan pegangan itu tiba-tiba saja Anna hampir jatuh ambruk, dan untung saja pria tersebut berhasil untuk menahan dirinya untuk yang kesekian kalinya.
Pria itu tersenyum tipis saat melihat penolakan dari Anna, padahal memang membutuhkan pertolongan, ia pun berkata. "Kamu ini terlalu gengsi, padahal lihat dirimu sekarang berjalan saja tidak bisa. Ayo cepat aku akan membantumu, dan serahkan serpihan kaca ini kepadaku."
Ucapan pria asing itu dengan sangat terpaksa harus Anna terima, meskipun ia merasa risih ketika ada orang yang tidak ia kenali mencoba membantunya.
"Oh ya kamu duduk di sini sebentar ya, enggak apa-apakan? Biar aku membuang serpihan ini dulu," tanya pria tersebut. Anna langsung menjawabnya dengan anggukan kecil.
Ketika serpihan kaca itu telah dibuang, pria tadi pun kembali kearahnya lengkap dengan membawa sekotak obat Betadine lengkap dengan perban yang ada di dalam kotak tersebut.
"Arahkan kakimu lebih ke depan lagi," ucap pria tersebut sembari memegangi kaki Anna, dan langsung menaruhnya di atas lututnya.
Anna hanya mengamati kearah pria asing yang sedang mencoba mengobatinya. Dengan perlahan-lahan pria itu memberikan obat merah dengan mengusapkan ke arah kakinya, sampai langkah terakhir perban pun membalut telapak kakinya.
"Um ... makasih ya, kalau begitu aku harus segera pergi." Dengan melangkah pelan-pelan Anna ingin kembali masuk ke apartemennya, namun dengan cepat pria asing itu menahan lengannya sampai membuat keseimbangan tubuhnya tidak seimbang.
"Kenapa buru-buru sekali? Kita bahkan belum berkenalan," kata pria asing tersebut tanpa melepaskan pegangannya.
"A ... aku ingin merapikan apartemen ku jadi waktuku tidak banyak," sahur Anna yang sengaja ingin menghindar bahkan tidak menatap ke wajah pria asing itu.
Pria itu langsung menepuk jidatnya sendiri sambil tersenyum tipis, lalu ia berkata. "Oh ya? Ingin merapikan apartemen mu dalam keadaan yang seperti ini? Um sebaiknya aku ikut masuk kedalam."
"A-apa maksudnya?" tanya Anna sampai kebingungan.
Pria asing itu tidak menjawab melainkan membopong tubuh Anna untuk di bawa masuk kedalam apartemen Anna. Sampai di sana, pria tersebut tidak melihat adanya barang-barang yang bertaburan, ia pun berpikir kalau Anna dengan sengaja menjauh darinya.
"Hem! Ternyata apartemen mu tidak terlalu buruk juga. Oh ya kenalkan namaku Jackson, kamu bisa memanggilku dengan Jack. Lalu siapa namamu?"
"Um, namaku Anna Gisella, panggil saja Anna."
"Baiklah, Anna. Hmm ... nama yang menarik. Oh ya kamu di sini tinggal sendirian?"
"Menurutmu dengan siapa lagi?" jawab Anna dengan ketus.
"Oh ya ampun .... Kamu ternyata tipe wanita yang tidak mudah ditaklukkan. Em, baiklah. Kalau begitu aku akan keluar. Ah ya! Satu lagi kita juga belum saling menukar nomor telepon," ucap Jack dengan mengulum senyumnya.
Dengan menarik nafas panjang, Anna langsung memberikan ponselnya kepada Jack. Beberapa saat kemudian, ponsel itu dikembalikan.
"Kalau begitu aku pergi dulu, dan jika membutuhkan sesuatu tekan saja angka 1, karena aku sudah membuat panggilan untuk nomorku di sana. Sampai jumpa lagi, Anna. See you ..."
Ketika mendengar ucapan itu sampai membuat Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu ia bergumam. "Siapa dirinya sampai berani sekali? Aduh ... kenapa sikapku jadi kasar begini? Apa mungkin karena mood ku sekarang sedang tidak baik? Padahal orang lain sedang berbuat baik kepadaku, sebaiknya besok aku harus meminta maaf kepada Jack.
Kediaman Nicole.
Sudah seharian penuh Anna pergi dari kehidupannya, ia pun menatap kearah wallpaper dinding yang menyerupai wajah mereka berdua, ia pun mencoba menyentuh tepat di arah wajah Anna_mantan istrinya.
"An, maafkan aku," gumam Nicole dengan begitu pelan saat itu.
Ia sekarang sudah benar-benar sendiri, tidak lagi memiliki kekasih karena Jenny telah terbukti berselingkuh darinya, dan sekarang karena kemarahannya ia harus melimpahkan kekesalan terhadap rumah tangganya sampai pernikahan itu juga harus berakhir. Saat ia terus menatap wajah Anna, tiba-tiba saja kring! Kring! Suara dering pintu gerbang pun berbunyi dua kali.
Nicole meminta kepada pelayannya untuk melihat siapa yang datang.
"Tuan, diluar sedang ada Nona Jenny," ucap pelayan itu.
"Jenny? Ya sudah suruh saja dia masuk."
"Baik, Tuan."
'Ada hal apalagi dia datang kemari? Apa belum cukup dengan perselingkuhannya?' batin Nicole.
Saat Jenny masuk kedalam kediamannya, tatapan Nicole begitu tajam. Namun berbeda dengan Jenny, ia justru memperlihatkan raut wajah yang penuh kesedihan. Mencoba menggenggam tangan Nicole, sembari Jenny berkata. "Nic, aku bisa menjelaskannya."
"Jelaskan apalagi?"
"Semuanya tidak seperti yang kamu lihat, Nic. Hari itu kamu salah paham," ucap Jenny dengan penuh lemah lembut.
"Jangan berbelit-belit katakan apa tujuanmu untuk datang lagi kemari? Bukankah aku sudah mengusir mu? Tapi tidak apa-apa ini kesempatan terakhir untukmu jadi cepat katakan," desak Nicole tanpa menatap kearah wajah Jenny.
"Nic, tunggu dulu-"