Chereads / Mencintaimu Dalam Diam / Chapter 17 - Chapter 16

Chapter 17 - Chapter 16

Mungkin manusia didepannya kali ini adalah manusia aneh dan sok cari perhatian bagi Adila. Siapa lagi kalau bukan Devian? See sejak tadi pria itu hanya menatapnya dengan raut wajah santai meskipun Well, Adila akui wajah Devian memang tampan.

"Kenapa dengan wajah saya? Tampan ya?"

Buru-buru Adila mengalihkan tatapannya kelain karena tidak sengaja menatap Devian dalam waktu beberapa menit.

Adila berdeham. "Em tidak. Yang tampan itu Nabi Yusuf AS. Kamu tidak ada apa-apanya."

"Tidak ada apa-apanya ya? Bagaimana kalau saya dan kamu ada apa-apanya?"

"Ma-maksudmu?" tanya Adila gugup.

"Kamu dan aku, menjadi kita. Supaya terjadi apa-apa."

Untuk kesekian menit lagi, Adila dibuat terbungkam oleh gombalan Devian. Kesedihannya terhadap apa yang ia lihat sejak satu jam yang lalu dan berakhir dengan dirinya yang bertemu dengan Devian adalah hal yang tidak terduga dalam hidup Adila.

Adila mengecek jam di pergelangan tangannya. Sudah waktunya ia balik ke butik mengingat saat ini ia sedang berada didepan Outlet Apotik bersama Devian setelah memberikan plester obat untuk dahinya yang memar dan sedikit luka kecil.

"Sudah mau balik?" tanya Devian.

Adila mengangguk. "Maaf. Saya harus pergi mas." Ia pun segera beranjak dari duduknya yang sejak tadi duduk di kursi yang sudah disediakan didepan outlet Apotik dengan gusar akibat tatapan Devian padanya. Lebih tepatnya tatapan pesona seorang Devian.

"Ah sayang sekali. Baru 20 menit. Gak cukup."

"Maaf ini jam kerja. Saya harus-"

"Iya saya tau mbak." senyum devian.

"Saya juga sama kayak mbak. Em, maksudnya bekerja. Bedanya saya nabung. Buat nikah. Eh tapi mbak kerja di daerah sini kan?"

Masuk akal juga. Pria single bekerja lalu menabung untung modal nikah. Adila memilih segera pergi dari sana seolah-olah tidak mendengar ocehaan Devian.

Disisilain, Devian yang memang mengetahui Adila adalah pemilik butik Adila's melalui informasi sosial media dan media cetak, akhirnya kembali membuka suaranya.

"Saya tau kamu bekerja di daerah sini. Kebetulan saya pemilik D'Coffe. Kamu pasti tahu letaknya dan jaraknya yang dekat dari tempat bekerjamu."

Adila sudah melangkah beberapa meter darinya. Hingga suara Devian kembali menghentikan langkahnya lagi.

"Tempat kerja kita memang dekat. Dan saya harap bukan hanya jarak tempat bekerja kita yang dekat, Tapi suatu saat hati kita bisa ikutan dekat."

🖤🖤🖤🖤

Berusaha menahan rasa cemburu, Reva memilih memainkan ponselnya yang ia genggam sejak tadi. Didepannya, Ada Fikri yang sibuk berkutat dengan laptopnya untuk mempersiapkan bahan materi kuliah sebelum ke perpustakaan.

Mata Fikri memang fokus dengan layar laptop yang kini berada didepannya dan menampilkan Microsoft Word oleh ketikan artikel dari jari-jarinya tapi, sesekali kedua mata pria itu menatap Devika dari kejauhan.

Perasaan tidak enak bahkan hati yang sesak membuat Reva pada akhirnya memilih pergi dari sana dengan alasan menuju toilet.

Reva bingung dengan dirinya sendiri. Mengapa ia bisa menyukai seorang pria yang terkesan biasa-biasa saja? Fikri hanyalah pria culun dengan kaca mata tebal yang membingkai di hidung mancungnya. Cinta memang buta. Itulah yang Reva rasakan selama ini, cinta dalam doa.

Disisilain, Fikri yang menatap kepergian Reva menuju toilet tanpa sepatah katapun hanya menghedikkan bahu tidak perduli dan menganggap bawah semuanya baik-baik saja.

🖤🖤🖤🖤

Mobil tiba di halaman kediaman kedua orang tua Arvino satu jam kemudian. Dengan cepat, Arvino keluar dari mobilnya dan membukakan pintu mobilnya buat Bunda dan Aiza yang kini gadis itu menatap rumah orang tua Arvino yang besar.

Dari jarak beberapa meter, dengan santai Ayah Arvino yang sedari tadi duduk diteras rumah sambil menikmati secangkir kopi disiang hari pun mengerutkan dahinya dengan tatapan bertanya-tanya melihat sosok Aiza.

"Assalamualaikum. Ayah. Ini Bunda pulang sama gadis cantik!" ucap Ayu secara antusias. Ayu dan Arvino pun segera memberi salam dengan mencium punggung tangan Azka terkecuali Aiza yang berdiri dengan diam dan bingung harus berbuat apa.

"Wa'alaikumussalam. Bunda dan Arvino kok bisa pulang sama-sama? Apakah kalian tadi saling bertemu?"

"Iya Ayah." Ucap Ayu sumringah. Lalu tatapannya beralih ke Aiza. "Aiza, kenalkan, ini Ayah Arvino, namanya Ayah Azka."

Dengan ragu, Aiza mendekati ayah Arvino dan hanya menangkupkan kedua tangannya didepan didada dengan sopan. Mendapati hal itu, Azka sudah bisa menilai jika Aiza sosok gadis yang sopan dan manjaga batasan kepada yang bukan mahramnya.

Mereka pun akhirnya masuk kedalam rumah. Aiza memperhatikan seisi rumah orang tua Arvino yang sangat besar dan beberapa diantaranya ada perabotan mewah.

Tanpa ditanya pun, Aiza sudah bisa menebak kalau semua barang-barang perabotan yang ada disini harganya sangat mahal..

Sesuai janjinya, Ayu pun segera membawa Aiza ke bagian dapur dan menyuruhnya duduk di kursi meja makan. Aiza menatap Ayu yang sibuk mempersiapkan makan siang untuknya. Ada rasa tidak enak kalau Aiza hanya berdiam diri saja dan memilih untuk beranjak dari duduknya.

"Maaf Bu biar saya bantu." Ayu menoleh dan menatap kearah Aiza yang hendak membawa semangkuk sayur ke meja makan .

"Aduh nak, Tidak perlu repot-repot. Kamu capek. Jadi istirahat saja ya."

Aiza menggeleng. "Saya tidak capek Bu."

Aiza tetap bersikukuh membantu menyiapkan makan siang yang banyak dan lezat. Jika dipikir, kapan lagi Aiza menikmati hidangan seperti ini mengingat hidupnya yang sederhana dan anak rantauan yang tinggal di kost?

"Maaf ya jadi merepotkan." suara Ayu kembali terdengar. "Sudah seminggu asisten rumah tangga disini berhenti kerja dan pulang kampung karena orang tuanya sakit. Jadi ya, semuanya serba urus sendiri. Ayo silahkan dimakan."

Dengan ragu, Aiza duduk dimeja makan dan menatap seluruh hidangan yang membuat perutnya lapar. Demi kesopanan, Aiza hanya mengambil seadaanya dan membuat Ayu hanya tersenyum melihatnya.

"Dulu Arvino tinggal disini. Tapi memilih pergi dan hidup mandiri setelah lulus sarjana. Awalnya kami sebagai orang tua keberatan. Tapi mau gimana lagi? Dia memang mau belajar hidup mandiri. Disisilain Arvino juga mau menjalankan bisnis property milik Kakeknya."

Duduk disini dan makan disini bahkan bertemu dengan orang tua Arvino membuat Aiza sedikit terkesan mengetahui hal-hal tentang Arvino.

Dari kejauhan, Arvino menatap keduanya dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat dan setelahnya, ia segera mendatangi sang Ayah yang terlihat santai diruang tamu sambil membaca komik.

"Ayah."

"Hm?" Azka melihat putranya yang kini duduk di hadapannya. "Ada apa? Minta kawin sekarang?" Arvino terkejut mendengar lontaran Ayahnya dengan raut wajah santai tanpa basa-basi Arvino pun menggaruk lehernya dan terlihat salah tingkah.

"Em, Vino-"

"Dia lebih cocok jadi adikmu."

Arvino terdiam sejenak. Melihat ekspresi Ayahnya yang fokus membaca komik. Tapi jika dipikir, memang masuk akal mengingat ia dan Aiza selisih 10 tahun. Aiza berusia 18 tahun sedangkan dirinya berusia 28 tahun.

"Tapi akhlaknya baik. Sepertinya dia gadis yang pendiam. Sopan. Menjaga Aurat. Calon menantu di terima!" ungkap Azka.

Hah? Apa? Secepat itu? Luar biasa sekali.

"Ayah-"

"Sana pergi! Menganggu saja. Tidak tau ya Ayah lagi sibuk baca si Shincan lagi main petak umpet sama Nobita?"

Arvino menjadi kesal sendiri. Ia belum mengutarakan hal apapun pada Ayahnya si penyuka maniak komik sejak kecil hingga usianya di pertengahan waktu itu tapi Ayahnya sudah nyeletuk duluan.

"Ayah. Tolong dengarkan aku-"

"Kalau suka ya kejarlah! Wanita itu butuh di perjuangkan. Setelah itu baru di pinang."

"Ayah! Vino-"

"Kamu belum pernah mengejar wanita kan?"

Arvino menghela napasnya. "Pernah. Ngejar Bu Linda contohnya. Waktu itu bulumata anti badainya lepas dan Vino ngejar dia cuma karena kembalikan bulumatanya itu."

"Mengejar cinta sejati. Sudah pernah?"

Arvino menggeleng.

"Ck! Jadi laki-laki dewasa jangan Cemen. Contoh Ayahmu ini dong."

"Emang Ayah pernah?"

"Gak sih."

Arvino menatap datar Ayahnya yang terlihat membalik halaman selanjutnya pada komiknya. Memang benar-benar Ayahnya itu!

"Tapi Ayah langsung lamar Bundamu dan nikah."

"Itu sih enak yah."

"Makanya rajin sholat! Banyak berdoa sama Allah untuk meminta dan memohon jodoh yang baik. Percuma kamu tampan tapi sholatnya bolong-bolong. Sholat saja malas tapi ngebet pengen calon istri yang baik!"

"Ayah-"

"Kalau kamu gagal mendapatkan hati si gadis pendiam itu, keputusan Ayah untuk menjodohkan kamu dengan Adila akan dipercepat." Arvino membulatkan kedua matanya tidak percayalah

"Ayah, Vino butuh waktu. Kenapa Ayah buru-buru sekali sih mau jodohkan Vino dengan Adila?" dan lagi, Arvino menggeram kesal dengan gaya bicara Ayahnya saat ini yang terdengar santai.

"Simpel. Pengen gendong cucu." lontar Azka senyuman smirknya

🖤🖤🖤🖤

Wkwkwkwkw kemauan sang ayah yang gercep 😂🤣

Terimakasih sudah membaca. Sehat terus buat kalian ya. oh iya jangan lupa juga berikan vte dan komentarnya.

Terimakasih.

With Love

LiaRezaVahlefi

Instagram: lia_rezaa_vahlefii