Angga mengetuk-ketukkan pulpennya di atas meja beberapa kali. Pikirannya sedang tidak menetap didalam otaknya. Ia tidak bisa berkonsentrasi. Dosen Anatomi sudah sejak tadi memerhatikan Angga berlaku demikian. Teman yang duduk di kanan kirinya tidak terlalu peduli. Bagi mereka, mata kuliah ini adalah salah satu mata kuliah yang mewajibkan mata mereka terbuka lebar tanpa mengedip sedikitpun.
"Ada apa Angga?"
Angga memutuskan untuk mendekati dosen.
"Permisi bu, saya ijin ke toilet," sahut Angga.
"Silakan."
Setelah mengangguk sopan dan mengucapkan terima kasih, Angga bergegas keluar kelas. Toilet hanyalah alasannya agar bisa mengakhiri pembelajaran. Seharusnya dia tidak membolos, mengingat mata kuliah tersebut adalah pertemuan kedua bagi Angga setelah mendapat nilai E pada pertemuan sebelumnya. Tidak seperti Alexa yang telah menyelesaikan semua mata kuliah dengan hasil yang gemilang. Meskipun dipaksakan, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi sejak mata kuliah dimulai. Satu nama terus berputar-putar di pikirannya, siapa lagi kalau bukan Alexa. Hatinya sungguh gelisah memikirkan sang gadis pujaan hati.
Angga mengambil ponsel dari sakunya. Sunyi. Tidak ada pesan ataupun panggilan masuk dari sang gadis. Jika dia tidak salah menghitung, belum 24 jam dirinya berpisah dari Alexa setelah pagi tadi dia mengantarkan Alexa ke rumah sakit. Tapi rasa resah, gelisah dan gundah seolah mengurung batinnya seperti sudah ratusan tahun lamanya. Benar kata orang, jika sudah jatuh cinta, dunia terasa hampa tanpa sang pujaan hati. Rasa yang sama dialami oleh Angga saat ini. Rasanya menyesakkan!
Sekali lagi, Angga menimang-nimang apakah harus menghubungi Alexa terlebih dahulu ataukah menunggu Alexa mengabarinya. Tapi bukankah, Angga tidak meminta Alexa mengabarinya terlebih dahulu saat kalimat terakhir terucap di rumah sakit beberapa jam lalu? Dan lagi, bukankah dia sudah berjanji tidak akan mengganggu Alexa?
"Argh …!!!" Angga mengacak rambutnya kasar. Gusar adalah kata yang tepat mewakili perasaannya saat ini.
Persetan dengan apa yang akan terjadi! Angga akhirnya memutuskan untuk menghubungi Alexa. Dia mulai membuka satu nama dalam kontak ponselnya dan menekan satu kontak yang ia beri nama "ALEX-ku".
Tuut … !
"Sial!!!"
Angga mengumpat kesal. Alexa tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati. Rasa gusar berubah menjadi amarah yang tidak terkendali. Angga meninju tembok di depannya. Perih.
Bukan hanya sekali Angga mencoba menghubungi Alexa. Berulang-ulang Angga menekan kontak yang sama, tapi tidak tersambung.
"Apa aku harus datang ke rumah sakit? Mungkin saja Alexa sedang menemani ibunya," gumam Angga.
Angga melesat ke parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.
Hanya butuh lima belas menit, Angga menyusuri jalanan hingga akhirnya dia tiba di parkiran rumah sakit umum tempat ibunya Alexa dirawat. Siapa sangka, kedatangan Angga disambut oleh hujan yang cukup deras. Tapi sederas apapun air yang jatuh dari langit tidak mengurungkan niatan Angga bertemu sang kekasih.
Setelah sejenak mengibas pakaiannya yang terkena air hujan, dia melanjutkan langkahnya. Beruntung hanya bagian lengan saja yang terlalu kuyup karena tadi berlari sambil menopang tangan di atas kepalanya.
Dengan langkah lebar dan penuh keyakinan, Angga melesat menyusuri lorong rumah sakit. Matanya sengaja ia biarkan memindai setiap gadis berambut panjang yang bisa ditangkap oleh matanya. Berharap salah satunya adalah Alexa.
Angga terus menyusuri lorong, dia tidak kehabisan akal. Pusat informasi adalah keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah pencariannya.
"Permisi, saya sedang mencari pasien bernama nyonya Renata. Bisakah anda beritahu saya, di ruang berapa beliau dirawat?"
"Tunggu sebentar, saya cek terlebih dahulu."
Petugas yang berpakaian putih itu lalu mengetikkan nama Renata pada layar komputer.
"Maaf, nyonya Renata tidak bisa dijenguk oleh siapapun."
Dahi Angga berkerut. "Kenapa tidak bisa dijenguk, bu?" tanya Angga bingung.
"Keterangan di sini mengatakan bahwa nyonya Renata harus mendapatkan pengobatan intensif di ruang isolasi, karena itulah nyonya Renata tidak boleh dijenguk oleh siapapun."
Angga terhenyak dengan kata "siapapun". Bukankah tadi pagi, Alexa mengatakan kalau dirinya ingin menemani ibunya? Lalu kenapa sekarang ibunya tidak boleh dijenguk oleh siapapu? Aneh!
"Maaf bu, apakah keluarga terdekat, misalnya em ... anaknya tetap tidak boleh menjenguk nyonya Renata?" tanya Angga mencoba meyakinkan.
"Benar mas. Tanpa terkecuali."
Angga semakin kebingungan. Jika Alexa pun tidak boleh menjenguk ibunya, lalu di mana dia sekarang?
"Terima kasih atas informasinya, bu."
Angga lantas meninggalkan pusat informasi dan berusaha mencari keberadaan Alexa.
"Kamu di mana, Lex?" gumam Angga gelisah.
Sudah dua puluh menit mungkin Angga menyusuri setiap lorong rumah sakit. Dia bahkan mengecek dengan mengintip tiap jendela ruangan yang ada termasuk ruang rawat bayi. Mustahil bukan?
Angga melirik arlojinya. Sudah semakin petang. Dia memutuskan untuk mencari makan terlebih dahulu. Perutnya sudah meronta meminta untuk diisi makanan. Beruntung, langit sudah mulai terang, meski para pasukan bintang enggan memberi sinarnya.
***
Kegelapan malam mulai merangkak naik. Pukul delapan malam Angga sudah berada di peraduannya --kosan mewah miliknya. Dia masih bolak balik mengecek ponsel di kamarnya. Ribuan bahkan mungkin jutaan kali --terlalu hiperbola-- Angga menghubungi nomer Alexa, tapi masih saja tidak bisa terhubung.
"Kamu ada di mana, Alex?! Aku menghawatirkanmu!" geram Angga.
Satu usulan yang membuat otaknya berkecamuk. Perdebatan antara logika dan perasaan tengah bergejolak di pikiran dan hati Angga.
Hatinya mengatakan bahwa Alexa berada di rumahnya tapi logika mengatakan mana mungkin Alexa nekat pulang ke rumah, sedangkan Ben ada di rumahnya sendirian. Tapi bukankah cinta itu kadang-kadang tak ada logika? Seutuhnya mengikuti apa yang hati katakan meski terkadang bisa saja salah.
Akhirnya Angga membulatkan untuk mengikuti hatinya. Dia beranjak dari tempat tidur dan langsung menyambar kunci mobilnya. Dia memutuskan pergi ke runah Alexa!
Angga bukan seorang pembalap mobil profesional, tapi saat ini kecepatan yang dilakoni oleh Angga sesuai standar para pembalap amatir. Cukup dua belas menit saja sampai di depan gerbang rumah Alexa padahal jarak yang membentang 20 kilometer jauhnya. Bisa anda bayangkan, betapa kencang laju mobil Angga. Yap! Dia berada di batas kecepatan 100 kilometer per jam. Cukup cepat untuk takaran mengendarai mobil yang santai.
Angga mengambil langkah santai. Dipikirnya, dia bakal dimaki dan dibenci oleh Alexa saat tau dirinya melanggar janji. Tapi sayangnya, kenyataan tidak demikian. Telinganya dengan sangat jernih mendengar jeritan bercampur tangisan dari dalam rumah.
Dengan secepat kilat Angga memasuki rumah Alexa. Beruntung, pintu depan rumah tidak dikunci.
"Kumohon ... Lepaskan aku ..." suara dari balik kamar Alexa.
Angga bergegas mendekat ke sumber suara. Dia sangat yakin, itu adalah suara tangisan Alexa.
"Sial, terkunci!"
Sekuat tenaga Angga mendobrak pintu kamar. Sekali dobrakan belum berhasil. Dia mencoba kembali. Barulah dobrakan kedua, pintu bisa terbuka lebar.
"Alex!!!" teriak Angga.
Nafasnya memburu. Sedetik kemudian sebuah bogem mentah mendarat di ulu hati si brengsek Ben.
"Bajingan kamu, Ben!!!"
Tidak hanya sekali. Berulang kali Angga melayangkan tinjuan kemarahan pada wajah dan perut Ben dengan membabi buta, hingga Ben pun terjerembab tak berdaya.