"Sial! Mulut bodoh! Kenapa kamu selalu saja tidak bisa menahan diri?!" maki Angga.
Setelah melakukan hal bodoh –memanggil Alexa dengan sebutan sayang—dia beranjak ke kamarnya. Seperti anak perempuan saja! Tapi apa mau dikata, kalau hati sudah tidak bisa menahan lagi perasaan cinta yang sudah tertimbun selama lebih dari lima tahun.
Lima tahun? Luar biasa, bukan? Angga mampu menahannya selama itu, lalu kenapa tahun ini –dimana saat mereka tengah menghadapi akhir masa kuliah— dia malah tidak bisa menahannya? Apakah memang sudah waktunya perasaaan itu diluapkan sekarang sebelum semuanya terlambat? Ataukah memang itu hanya ketakutan semata yang mendera relung hati Angga. Dia takut Alexa tidak bisa dijangkau kembali saat kuliah telah usai.
"Argh!!!" Angga mengacak rambutnya kasar.
Ini kedua kalinya dia menunjukkan perasaaanya setelah sebelumnya mencuri ciuman pertama Alexa. Ciuman pertama? Benarkah dirinya adalah yang pertama menyesap bibir ranum Alexa – meskipun yang dilakukannya tidak bisa dikatakan sebagai layaknya sebuah ciuman.
Dan yang lebih fatalnya adalah dia telah melanggar janji untuk tidak mengganggu Alexa lagi. Hati Angga tidak pernah seresah ini. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah peduli dengan kekecewaan diri terhadap keluarganya yang berantakan. Tapi Alexa? Hanya urusan Alexa-lah yang bisa membuat Angga gelisah tidak keruan.s
'Bagaimana kalau Alexa membenciku dan menjauhiku?'
Pikiran itu berulang-ulang memutar di benaknya. Sudah banyak hal yang dia lakukan agar Alexa tetap berada di sisinya. Lalu sekarang? Dia malah merusak persahabatannya dcara yang mengenaskan. Sial!
Sementara Angga menyesali kesalahan dirinya. Alexa duduk termenung sambil mengaduk mangkuk buburnya.
"Sayang, katanya? Rasanya aneh … " gumam Alexa.
Sepertinya Alexa sangat asing mendengar kata itu di telinganya dari seorang Angga. Seperti mimpi aneh di pagi hari. Tapi bukankah wajah jika Angga kelepasan memanggilnya sayang? Bukankah Angga sudah memperjelas perasaannya pada Alexa kemarin?
"Aku rasa, aku harus memperjelas keadaanku dengannya," gumam Alexa.
Dia lantas bangkit dari duduk nyamannya lalu beranjak hendak menemui Angga di kamarnya.
'Tok … tok …
Alexa mengetuk pintu perlahan. Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar oleh sang pemilik pintu, seperti hatinya yang mendadak ragu menemui Angga.
Sekian detik Alexa menunggu, tidak ada reaksi dari dalam kamar. Barulah detik ke sepuluh Alexa menganggat tangannya kembali. Sekali lagi, Alexa mengetuk pintu. Kali ini, ia pastkan bahwa ketukannya dapat didengar oleh si pemilik kamar.
"Angga … boleh aku bicara sesuatu denganmu?" ujar Alexa setelah ketukan dia lancarkan.
Hening.
Lima menit kemudian, pintu kamar terbuka. Satu wajah muram menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka.
"Masuklah … "
"Em … bisakah kita bicara di ruang televise saja?" pinta Alexa.
Dia merasa tidak nyaman berada di daam kamar seorang laki-laki hanya berduaan saja. Meskipun Angga tidak pernah melakukan hal yang merugikan dirinya, tapi memori saat Ben melecehkannya mendadak membuatnya trauma.
"Baiklah … kamu duluan saja. Ada yang arus aku lakukan terlebih dahulu," sahut Angga setuju.
Alexa menuruti permintaan Angga. Dia beranjak ke ruang televisi terlebih dahulu.
Lain halnya dengan Alexa yang begitu tenang melangkah ke ruang televisi, sikap Angga sungguh bertolak belakang dengan Alexa. Setelah kepergian Alexa, Angga berjalan mondar-mandir layaknya setrikaan.
'Apa yang ingin Alexa bicarakan? Apakah dia akan meninggalkanku?' pikiran negatif berkecamuk dalam benak Angga.
"Baiklah Angga … kamu harus bersikap berani. Berani menerima konsekuensi dari perbuatanmu," gumamnya menyemangati diri sendiri.
Angga mengambil nafas dalam dan menghembuskannya. Mencoba menetralkan degupan jantungnya yang mulai menggedor rongga dadanya.
Setelah dirasa cukup tenang, barulah Angga membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar kamar. Melangkah mendekati tempat dimana Alexa menunggu dirinya adalah bagaikan langkah menuju jurang perpisahan.
Angga duduk di sofa yang sama tepat di sebelah Alexa. Jarak mereka hanya beberapa jengkal tangan dewasa.
"Kamu sudah makan buburmu, Lex?" taya Angga mencoba mencairkan suasana, meski padahal hatinya tidak bisa setenang air mukanya saat ini.
"Em … sedikit. Mulutku pahit, jadi aku tidak bisa menghabiskannya," sahut Alexa. Nadanya datar.
"Apa kamu mau makan yang lain? Biar aku belikan di warjok," ujar Angga.
Angga sudah bersiap bangkit dan beranjak untuk menjalankan tawarannya.
"Tunggu, Ga! Tidak usah. Aku tidak ingin makan apapun. Aku … mau bicara sama kamu," cegah Alexa sambil mencekal tangan Angga agar tidak beranjak dari sisinya.
'Inilah saatnya Ga! Kamu harus menghadapi nasibmu!' batin Angga.
Angga lantas duduk kembali.
"Kamu mau bicara tentang apa?"
" … "
"Aku … rasa kita harus membicarakan … dan mmeperjelas masalah kita," ujar Alexa ragu.
"Memangnya kita punya masalah apa? Kamu kenapa, Lex?" tanya Angga.
Jika ada nominasi akting terburuk, maka Angga-lah orangnya. Sangat jelas sekali dia berbohong dan menutupi rasa gugupnya.
"Aku bukan anak kecil lagi, Ga. Kamu juga bukan anak kecil. Kita sama-sama sudah dewasa.Hal yang kamu lakuan padaku, itu … "
"Aku ngerti, Lex. Aku minta maaf," sela Angga tiba-tiba.
"Aku minta maaf karena kau sudah melewati batasku. Aku tidak maksud untuk memanfaatkanmu ataupun meecehkanmu. Aku … sayang sama kamu."
Netra mereka saling bertabrakan. Bukan hal aneh bagi mereka saling tatap seperti itu, tapi saat ini, mereka tengah merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Karena itulah, Alexa buru-buru menggerakkan bola matanya ke samping sosok Angga. Dia tidak ingin terjebak dalam drama saling tatap seperti di sinetron.
"Aku tahu … dan aku juga tidak menuduhmu memanfaatkanku ataupun meremehkanku. Aku tahu kamu laki-laki yang baik. Aku juga tau kamu tulus padaku, tapi … "
Alexa mendesah, dia menggantung ucapannya.
"Aku tidak bisa menerima perasaanmu yang tulus itu."
"Kenapa, Lex? Apakah kamu sudah ada orang lain di hatimu?" tanya Angga gusar.
Jika Alexa menjawab iya, maka tamatlah riwayat cintanya pada Alexa.
"Apa aku tidak cukup pantas untuk mencintaimu, Lex?" tanya Angga mulai putus asa.
"Entahlah Ga … Aku tidak tahu perasaanku. Aku takut kamu terus menerus kecewa padaku. Aku belum siap. Aku bingung … " jawab Alexa.
"Apa yang membuatmu bingung? Aku harus bagaimana agar kamu menerima perasaanku?"
"Kamu tahu, Lex. Aku menyukaimu sejak pertama kali aku memasuki ruang kelas dan duduk di bangku belakangmu. Bisa kamu bayangkan, sudah sejak lama aku memendam perasaanku padamu, Lex."
Alexa terdiam. Otaknya mengingat saat pertama kali Angga masuk ke kelasnya sebagai murid baru. Saat itu, Angga duduk di bangku belakangnya karena hanya bangku itu yang tersisa, tidak berpenghuni.
Pikiran Alexa semakin kacau. Sudah selama itukah Angga mencintai dirinya? Tapi bukankah cinta anak SMA tidak bisa jadi landasan sebuah cinta sejati. Bisa saja itu hanya cinta monyet yang terus dipupuk dalam hati karena selalu bersama. Alexa merasa sangat bersalah pada Angga.
"Maaf Angga ... aku tidak bisa."
Dilihatnya wajah Angga yang semakin tenggelam dalam kepiluan.
"Kita masih bisa berteman 'kan, Angga?" tegas Alexa sambil menatap netra coklat terang milik Angga. Netra itu terlihat redup saat ini.
"Ya! Kita masih berteman," sahut Angga getir.