Chereads / Jodoh yang Disimpan / Chapter 22 - Aku senang, karena kamu ...

Chapter 22 - Aku senang, karena kamu ...

Hari sudah hampir meninggalkan senja. Udara malam mulai merambat melalui celah jendela, dan mereka masih tersekap di dalam ruangan yang pengap. Pakaian yang lusuh sudah tak menjadi beban pikiran mereka lagi. Tak luput dari ingatan mereka tentang perihnya pergelangan tangan yang lecet akibat ikatan tali yang terlalu kuat.

"Angga ... aku takut," desis Alexa.

Angga menoleh. Dia menatap wajah Alexa yang lusuh dan kuyu. Binar di matanya meredup. Ada ketakutan dan kegelisahan dari tatapan Alexa.

"Kamu tenang, saja. Ada aku di sampingmu," ujar Angga menenangkan.

Setengah hati Angga mengucapkan kalimat penenang itu. Ia sendiri tak mengetahui dengan pasti apakah dia bisa ada di samping Alexa dalam keadaan seperti itu. Bisa saja, Ben sewaktu-waktu menyeret Alexa dan membawa pergi dari hadapannya.

Angga memejamkan mata, ngeri. Bayangan-bayangan negatif seketika menyergap pikirannya.

Di tengah keputusasaan, Angga terus memikiran jalan keluar dari keadaan peliknya. Tenaganya mungkin terkuras habis, tapi otaknya masih bisa berpikir tenang. Dia memindai sekitar ruangan itu. Berusaha mencari sesuatu agar bisa melapskan diri dari ikatan tali tersebut.

Ruangan itu tidak memeiliki banyak barang yang bisa membuatnya melepaskan ikatan tali. Angga melihat Alexa yang lebih mengenaskan darinya. Dia diikat dengan tubuh tergeletak di atas lantai. Sedangkan Angga, diikat dengan posisi duduk di sebuah bangku sekolah yang sudah usang. Entah apa yang membuat mereka mengikat Angga dan Alexa dengan posisi berbeda. Saat dirinya tengah memindai ruangan, tiba-tiba saja telinganya mendengar derap langkah yang mendekat. Suaranya semakin terdengar kencang.

"Alex, pejamkan matamu!" bisik Angga.

"Kenapa?" sahut Alexa dengan suara tak kalah kecil dari suara Angga.

"Lakukan saja!"

Alexa langsung menuruti perintah Angga. Dia lalu memejamkan mata. Dengan tangan dan kaki yang masih terikat. Tubuhnya meringkuk layaknya udang yang ada di pasar.

Cklek! Pintu terbuka.

Benar saja! Tebakan Angga tidak meleset. Dia menerka bahwa akan ada yang datang ke ruangan itu. Meski dia sendiri, tidak tahu ada berapa ruangan yang ada di bangunan itu.

"Hei! Bangun! Bosku masih berbaik hati memberikan makanan untuk kalian. Nih, makan!"

Seorang laki-laki datang dengan membawa sesuatu di tangannya.

'Dia pasti anak buah Ben yang lain,' batin Angga.

Laki-laki itu menyodorkan sepiring nasi dengan satu potong tempe ke dekat kaki Angga. Angga menatap tajam pada lelaki di hadapannya itu. Tubuhnya tidak sekekar anak buah yang menyeretnya kemarin.

"Ough! Perut Sialan!" maki laki-laki itu sambil memegang perutnya.

Laki-laki itu buru-buru keluar ruangan. Sepertinya ada masalah dengan pencernaannya.

Angga mendengar suara laki-laki itu setelah keluar dari ruangan. Jika pendengaran Angga tidak salah tangkap, laki-laki itu menitipkan ruangan yang menyekap dirinya pada teman si preman yang berada agak jauh dari ruangan itu.

Angga berpikir cepat. Dia menganalisa situasi dengan cermat. Jika analisanya benar, itu artinya, pintu ruangan tidak terkunci karena si laki-laki terburu-buru keluar karena sakit perut. Juga, jarak teman yang lain tidak begitu dekat dengan ruangan.

'Aku punya waktu setidaknya sepuluh sampai lima belas menit untuk melepaskan ikatan,' pikir Angga.

"Alex! Kamu bisa duduk, gak?" desis Angga.

Alexa membuka matanya. Dia menatap Angga.

"Sepertinya aku bisa duduk."

Alexa berusaha mengerahkan tenaganya untuk mengubah posisinya. Dan beruntungnya, dia bisa duduk, karena sepertinya ikatan di kakinya tidak terlalu kuat.

"Alex, aku dari tadi penasaran dengan jendela yang tertutup gorden itu. Kamu bisa gak, menjangkau jendela itu? Jika kita beruntung, kita bisa keluar dari jendela itu."

Di otak Angga sudah tersusun beberapa alternatif cara mereka kabur. Salah satunya adalah dengan jendela itu. Jika tebakannya beruntung, jendela yang tertutup gorden tak lain adalah kaca tanpa pembatas besi di dalamnya.

Alexa mengikuti arahan Angga. Dengan tenaga dan debaran jantung yang sangat kencang, dia berusaha mengesot dan menggapai jendela itu.

Jendela yang dimaksud adalah jendela yang panjangnya hingga hampir menggapai lantai. Setidaknya bisa menjadi alternatif melarikan diri, meski lebarnya hanya sebesar tubuh yang dimiringkan.

Alexa berusaha membuka gorden itu. Dan ternyata benar! Jendela itu tidak memiliki penghalang besi di tengahnya. Angga lantas melancarkan tahap selanjutnya. Sejak tadi dia memerhatikan piringyang di bawa oleh laki-laki tadi. Piring itu terbuat dari kaca yang pinggirannya sudah retak.

Dengan perlahan, Angga menginjak kuat piring itu, hingga terbelah menjadi beberapa keping.

"Alex, terima ini!"

Angga mengoper potongan kaca itu pada Alexa menggunakan kakinya.

"Kamu ambil potongan kaca itu lalu gesek-gesekkan ke ikatan tali tanganmu. Bisa, 'kan?"

Alexa membalikkan badannya dan dengan susah payah meraih potongan kaca itu dengan tangannya. Dia mulai melakukan ang dipeintahkan Angga.

Angga sesekali melirik ke arah pintu dan menajamkan telinganya. Dia beharap, waktu berpihak pada usaha mereka.

"Terlepas! Angga! Ikatanku sudah terlepas," ujar Alexa dengan nada yang ia tahan agar tidak terlalu nyaring.

"Bagus! Sekarang kamu kembali ke tempat semula! Sepertinya aku mendengar langkah kaki. Ayo, cepat!"

Alexa bergegas memposisikan dirinya seolah masih terikat. Dia berbaring seperti saat pertama kali dirinya diseret ke tempat itu. Sedangkan Angga, berusaha menyembunyikan serpihan kaca yang tersisa dengan kakinya.

Brak! Pintu terbuka secara paksa.

"Bangun, kamu setan kecil!"

Suara yang sangat dikenali Angga menggaung ke seisi ruangan. Angga membuka mata. Sebelum mereka datang, Angga dan Alexa berpura-pura tidur. Mereka memejamkan mata sambil berharap usaha mereka sebelumnya tidak diketahui.

Bugh!

Tanpa prediksi, wajah Angga terkena bogem mentah dari Ben. Alexa tanpa sadar memekik kaget.

"Rasakan itu! Sebagai pembalasanku tempo hari. Beraninya kamu memukuliku! Sekarang kamu harus menerima akibat dari keberanianmu!"

Bugh! Bugh!

Ben seperti kesetanan memukuli Angga. Tak hanya sekali, ia bahkan membuat banyak memar di wajah dan pukulan telak ke arah perut Angga. Tubuh Angga tersungkur ke lantai. Kursi yang terikat dengan dirinya hancur berantakan. Angga tergeletak di lantai tanpa perlawanan.

Alexa berusaha menahan diri untuk menolong Angga. Dia masih harus bersabar menunggu mereka keluar dari ruangan.

"Cuih! Nikmati pembalasanku itu!"

Ben meludah tepat di atas wajah Angga. Dia lalu melenggang keluar dengan diikuti dua anak buahnya yang sejak tadi menyaksikan pukulan si Ben pada Angga.

"Kunci pintunya! Biarkan mereka membusuk di dalam!"

Samar-samar telinga Angga mendengar teriakan Ben pada anak buahnya.

"Angga ... kamu gak apa-apa?"

Alexa bergegas mendekati tubuh Angga yang tersungkur hingga pojok ruangan.

"Aku gak apa-apa. Hanya luka kecil kok, uhuk!"

Angga terbatuk. Cairan darah segar keluar dari mulutnya.

"Astaga, Ga! Kamu terluka parah. Aku harus bagaimana?" tanya Alexa panik.

Angga menyeringai seolah kemenangan telah ia peroleh.

"Kamu kok malah senyum-senyum senang begitu. Aku hawatir banget nih. Lihat, wajah kamu semuanya berdarah!"

Alexa mengelap darah yang mengucur dari hidung dan dahi Angga dengan kemejanya. Dia juga lalu membuka ikatan tangan Angga.

"Aku senang, Alex!"

Dahi Alexa berkerut. Dia tidak mengerti maksud Angga.

"Aku senang karena yang dia pukul hanya aku. Dia sama sekali tidak menyentuhmu sama sekali," ujar Angga masih dengan senyum misterius di bibirnya.

"Haish ... kamu malah memikirkan itu!"

Tidak hanya itu yang membuat Angga senang. Ada yang lebih dari sekedar Alexa tidak disentuh oleh Ben, tapi ...