Tok ... tok ...
"Alex ... Kamu sudah bangun?"
Angga mengetuk pelan pintu kamar Alexa. Sudah hampir seminggu sejak kejadian penculikan dan dirinya pingsan, Angga bersikap sangat protektif terhadap Alexa. Dia bahkan selalu memasak menu sarapan untuk Alexa. Dia tidak membiarkan Alexa keluar dari rumah.
"Sebentar, aku baru selesai mandi. Aku belum pakai baju!" seru Alexa dari dalam kamar.
"A-aku tunggu kamu di ruang makan, ya."
Angga membalikkan badan. Wajahnya merona.
"Haish ... Alex, kamu asal saja bicaramu! Gak sadar ya, kalau lawan bicaramu itu seorang laki-laki?" gumam Angga sambil lalu meninggalkan kamar Alexa.
Setelah kejadian pingsan tempo hari dan mendapat pertolongan dari warga setempat, Angga tidak pernah meninggalkan Alexa sendirian di rumah. Dia selalu mengecek situasi lingkungan rumah. Dia sangat yakin bahwa pelarian mereka tidak terendus oleh anak buah Ben.
Angga menyajikan makanan di atas meja. Hanya menu nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya dan segelas susu. Dia tahu, bahan makanan di lemari pendinginnya sudah menipis. Dia seharusnya keluar dan berbelanja, tapi Angga sangat hawatir, seolah trauma jika mereka pergi berbelanja, mereka akan bertemu dengan anak buah Ben lagi.
"Kamu masak lagi? Padahal aku udah bangun sepagi mungkin, tapi selalu keduluan kamu."
Suara Alexa dari arah punggung Angga. Angga menoleh.
"Santai saja, lagipula hanya sekedar nasi goreng. Mudah dan gak ngerepotin sama sekali," sahut Angga.
Alexa mengulas senyuman di bibirnya. Dia lalu meraih piringnya dan mulai memakannya.
Hening. Selama menyantap sarapan, mereka terdiam. Sepertinya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Angga ... "
"Alex ... "
Secara bersamaan mereka memanggil nama mereka.
"Kamu dulu deh," ujar Alexa.
"Gak, kamu saja yang duluan. Aku gak terlalu penting," tampik Angga.
"Aku ... ingin ke rumah sakit. Aku ingin ketemu mama. Aku sama sekali tidak mendapat kabar dari dokter Rifda, aku hawatir, Ga. Aku boleh 'kan ke rumah sakit hari ini?" harap Alexa.
Raut wajah Alexa berubah menjadi murung. Angga merasa tidak tega. Tapi, dia juga tidak mau ambil resiko jika sesuatu terjadi lagi pada Alexa. Menurutnya, situasi mereka belum cukup aman. Belum lagi, jika harus ke rumah sakit. Siapa yang akan menduga jika ternyata Ben mencari Alexa ke rumah sakit. Itu terlalu beresiko!
"Aku mengerti kekhawatiranmu, tapi ... "
Drrtt ... drrrrtt ...
Tiba-tiba saja ponsel Angga bergetar. Manik matanya melihat nama si pemanggil di layar ponselnya. Papa!
"Sebentar, aku terima telepon dulu," ujar Angga sambil meraih ponselnya dan berjalan menjauhi Alexa.
Setelah berada di kamarnya, dia barulah menekan tombol jawab di layar ponselnya.
"Halo, pa ... "
Sementara itu, di ruang makan, Alexa tidak bersemangat menyantap sarapan. Dia malah merasa resah. Entah perasaan aneh apa yang hinggap di hatinya. Rasanya tidak nyaman.
"Siapa yang menelpon Angga? Kenapa dia menjauh begitu? Memangnya, se-rahasia itu sampai harus menerima telepon di kamar?" sungut Alexa kesal.
Apakah itu perasaan cemburu ataukah perasaan yang lain? Entahlah, yang pasti, Alexa merasa sangat kesal karena Angga menerima telepon di tempat lain.
Seingatnya, Angga tidak pernah menjauh jika menerima telepon dari teman-temannya. Baru kali ini, dia menjauhi Alexa saat menerima telepon tersebut. Tentu saja membuat perasaan Alexa tidak nyaman. Alexa menepis kemungkinan bahwa telepon itu berasal dari seorang gadis yang tidak ia ketahui.
"Haish Alexa ... kenapa kamu memikirkan itu? Itu bukan urusanmu, Alexa ... " desis Alexa.
Tak lama kemudian. Suara derap langkah Angga terdengar semakin mendekat.
"Sudah selesai makannya? Kenapa gak dihabiskan? Nasi goreng buatanku gak enak, ya?" tanya Angga saat melihat piring Alexa yang masih menyisakan nasi goreng buatannya.
Angga menarik kursi lalu mendaratkan diri di kursi sebelah Alexa.
Alexa bergeming. Dia hanya mengerucutkan bibir sambil melipat tangan di dada.
"Kamu kenapa, Lex? Kamu sakit?" tanya Angga sambil menempelkan telapak tangannya ke dahi Alexa, hawatir.
"Aku gak apa-apa," sahut Alexa datar.
"Oh iya, kamu tadi bilang mau ketemu mamamu? Besok aku antar ya. Kita cari waktu yang tepat."
"Beneran?" seru Alexa berbinar.
Angga mengangguk gamang. Antara tidak tega pada Alexa yang merindukan ibunya juga hawatir jika bertemu dengan anak buah Ben di rumah sakit.
Angga terdiam sejenak. Alexa memerhatikan mimik wajah Angga yang nampak kebingungan.
"Kamu mikirin apa, Ga?" tanya Alexa.
"Alex, mm ... lusa aku harus pulang. Tadi ayahku telepon."
Alexa sontak menoleh ke arah Angga. Sekarang terjawab sudah kegelisahannya.
'Oh, tadi itu telepon dari ayah Angga. Ada apa?' batin Alexa.
"Ayahmu kenapa? Apakah ayahmu sakit?" tanya Alexa hawatir.
"Bukan. Entahlah ... ayah hanya menyuruhku pulang. Ayah gak bilang apa-apa di telepon," sahut Angga.
"Ya sudah, kamu pulang saja. Aku tidak apa-apa kok di sini. Aku urung menengok mama. Aku bisa menjenguk mama setelah kamu pulang saja."
Angga terdiam. Bukan itu yang menjadi kekhawatrannya. Dia yakin, kali ini papanya tidak akan membiarkan dirinya lekas kembali ke kosan. Sepertinya ada hal yang sangat genting. Dan bukan hal itu saja, tentunya Angga sangat berat hati meninggalkan Alexa tinggal di rumahnya sendirian. Bagaimana jika anak buah Ben menemukan Alexa di tempat ini?
"Angga ... aku gak apa-apa kok. Kamu tenang aja, aku bisa tinggal di sini sendirian. Kamu pulang saja. Siapa tau, ayahmu memang sedang ada masalah darurat," ujar Alexa.
Alexa memegang tangan Angga. Netranya menatap ke dalam bola mata Angga. Dia berusaha meyakinkan Angga bahwa dirinya akan baik-baik saja
"Baiklah ... kalau kamu merasa seperti itu. Hari ini, aku akan keluar membeli persediaan makanan. Kamu di rumah saja. Tutup dan kunci semua pintu dan jendela. Jangan keluar meskipun itu pengamen atau orang yang meminta sumbangan. Kamu paham 'kan?!"
Ada nada penekanan di kalimat akhirnya. Dia bersungguh-sungguh tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada Alexa.
"Iya Anggaa ... aku ngerti kok. Kamu mau berangkat sekarang juga?" tanya Alexa.
Angga bangkit dari duduknya. Dia sudah bersiap untuk pergi. Menurutnya, semakin cepat pergi, maka semakin cepat pula ia kembali.
"Iya, aku pergi sekarang. Aku gak akan belanja di tempat jauh. Aku pergi sekarang, Lex."
Alexa mengantar kepergian Angga hingga ruang tamu. Angga tak mengijinkan dirinya melangkah melewati pintu depan walau sesenti pun.
Alexa melaksanakan semua perintah Angga. Dia menutup pintu dan mengecek semua slot kunci jendela. Bagian akhirnya adalah menutup semua gorden. Tak lupa juga menyalakan lampu luar rumah agar orang lain mengira bahwa kosan Angga tidak berpenghuni.
Angga mengemudikan mobilnya keluar dari rumah. Tak lupa ia keluar dari mobil kembali dan mengunci pintu pagar sebelum kemudian dia melanjutkan perjalanannya. Ia bahkan memakai topi untuk menyamarkan wajahnya agar tidak terlalu terlihat oleh orang lain. Meski tidak terlalu jauh dari rumah, dia tetap waspada dengan sekitarnya. Alih-alih ada anak buah Ben yang ia temui di jalan.