Dua hari setelah penolakan cinta yang tragis, Angga sudah bertekad mengubur perasaannya dalam-dalam. Baginya, tetap bersama Alexa lebih penting ketimbang mementingkan perasaannya dengan resiko kehilangan Alexa --meskipun hanya sebatas teman.
Dan sudah dua hari ini, Alexa tinggal di rumah Angga. Sempat terbesit dalam benaknya, kenapa mereka hanya tinggal berdua, di mana teman-teman yang sebelumnya menumpang? Alexa tidak lantas ambil pusing dengan pertanyaan itu. Bersyukur saja, dia bisa tinggal di rumah Angga dengan aman dan tentunya jauh dari jangkauan Ben.
"Alex, aku berangkat dulu. Hari ini kamu di rumah saja 'kan?"
Angga sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Kemarin dia mendapat pesan yang isinya harus mengulang mata kuliah Anatomi yang dia tinggalkan tempo hari.
"Entahlah, mungkin aku di rumah saja," sahut Alexa.
"Baguslah kalau begitu. Jangan lupa, kunci semua pintu setelah aku pergi, dan jangan membukakan pintu untuk siapapun termasuk kurir paket. Tetap di dalam saja," ujar Angga protektif.
"Iya aku tahu," sahut Alexa sambil mengerucutkan bibirnya.
'Seprotektif itukah Angga menjagaku? Aku semakin merasa bersalah padanya,' batin Alexa.
"Selesai perkuliahan, aku akan langsung pulang. Kalau kamu lapar, aku sudah menyediakan cemilan seadanya di dalam kulkas. Kamu tidak usah keluar mencari makanan. Tunggu aku pulang."
Sekali lagi Angga berpesan layaknya seorang ibu yang mengomeli anaknya.
Setelah mendapat anggukan dari kepala Alexa, barulah Angga yakin meninggalkan Alexa sendirian di rumah.
***
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Alexa saat dirinya tengah membereskan kamar. Dia lalu duduk di tepi ranjang setelah meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.
"Ah, rupanya pesan dari dokter Rifda," gumam Alexa.
Dia membuka pesan dari dokter Rifda. Matanya berbinar. Isi pesannya mengatakan bahwa hari ini Alexa boleh menjenguk ibunya.
Alexa sontak bangkit dan berjingkrak tanpa sadar. Lalu menit selanjutnya adalah menekan nomor Angga. Tapi baru satu nada dering, ia urungkan kembali. Dia sesaat lupa kalau Angga tengah mengikuti perkuliahan.
"Apa aku pergi ke rumah sakit sendiri saja?" gumam Alexa.
Jika dia lakukan itu, artinya dia melanggar perintah Angga yang tidak memperbolehkan dirinya keluar rumah tanpa dirinya. Alexa mendesah, bingung.
Dalam kebingungan yang mendera pikirannya, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.
"Angga ... "
Buru-buru Alexa mengangkat telepon dari Angga.
"Gak ada apa-apa. Oh, oke."
"Hiss ... Segitu paniknya Angga menyadari panggilanku yang tertunda dariku," gumam Alexa.
Ya! Angga baru saja menyelesaikan perkuliahan, ponselnya berdering saat dirinya tengah membereskan tas. Buru-buru dia mengecek ponselnya. Dan benar sekali! Sebuah panggilan dari Alexa, tapi tidak berlangsung lama setelah satu dering. Jantungnya langsung berdegup kencang. Dia menghawatirkan Alexa. Pikiran buruk langsung menyergap benaknya.
Tidak menunggu lama lagi. Dia langsung menelpon balik nomer Alexa.
"Alex! Ada apa? Kamu gak apa-apa 'kan? Aku segera pulang sekarang!" cecer Angga.
Dia sama sekali tidak menganalisa suara Alexa yang menjawab dengan tenang karena terlalu panik dan hawatir. Dengan kecepatan kilat, dia keluar dari kelas dan melesat sebisanya. Berlari di lorong kampus yang panjang menjadi pemandangan para mahasiswa yang ia lalui. Angga tidak peduli!
Suara "blam!" yang nyaring dari pintu mobil yang ia banting pun tidak ia pedulikan. Buru-buru menginjak pedal gas demi sampai di rumah tepat waktu.
"Alex! Kamu di mana? Kamu masih ada di dalam?!"
Angga berseru setibanya di depan rumah megah miliknya. Mobil, ia parkir sembarangan di depan rumah.
Alexa tersentak. Kaget mendengar teriakan Angga.
"Haish ... kenapa dia harus berteriak seperti itu?" desis Alexa. Dia lantas membuka pintu.
Tanpa diduga, Angga langsung memeluk Alexa erat. Dia sangat takut. Dalam benaknya, Alexa menghilang diculik oleh Ben.
Alexa terhenyak. "Angga, kamu ... "
"Ah, iya maaf. Aku hanya ... kupikir kamu menelponku karena ada hal bahaya yang mengancam nyawamu. Maaf aku langsung memelukmu."
Angga menyadari kesalahannya. Buru-buru ia melepaskan rengkuhannya.
"Aku gak apa-apa. Tidak ada yang perlu kamu hawatirkan. Tadi, aku kelepasan menghubungimu karena aku dapat pesan dari dokter Rifda."
"Dokter Rifda? Apa isi pesannya?" tanya Angga penasaran.
Angga menduga, pesan dokter Rifda pastilah berhubungan dengan ibunya Alexa.
"Dia bilang, kalau mama sudah boleh dijenguk," jawab Alexa penuh semangat.
"Kalau begitu? Tunggu apa lagi? Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Kita temui mamamu," ujar Angga tidak kalah antusias.
Kebahagiaan Alexa adalah kebahagiaan Angga juga. Bergegas keduanya keluar dari rumah dan langsung meluncur ke rumah sakit.
***
"Begini, nona Alexa ... Dengan sangat terpaksa, saya akan menjelaskan perihal kondisi nyonya Renata pada anda."
Jantung Alexa berpacu. Dia melihat raut wajah dokter Rifda yang sangat serius membuat hatinya berdebar. Mungkinkah mamanya harus masuk ke ruang observasi lagi? Jika benar begitu, tentu saja dia akan sedih lagi karena secara otomatis mamanya tidak bisa ditemui kembali.
Kemarin, hasil dari tes permen karet yang anda berikan sudah keluar. Maka inilah hasilnya," ujar dokter Rifda sambil menyodorkan secarik kertas dengan tulisan-tulisan kedokteran.
"Dalam permen karet itu terdapat kandungan obat penenang dosis tinggi yang tidak seharusnya diberikan pada nyonya Renata. Melihat gejala yang dialami nyonya Renata selama berada di ruang observasi, saya menduga bahwa nyonya Renata mengonsumsi permen ini sudah cukup lama, sehingga saat anda melepaskan rutinitas nyonya Renata kala itu ditambah lagi obat dari dokter Agung yang diminum oleh nyonya Renata, menyebabkan sistem tubuh nyonya Renata mengalami penolakan. Jika benar hasil analisa dokter Agung, maka nyonya Renata jelas dikategorikan ... maaf, gangguan kejiwaan."
Dokter Rifda menjeda kalimat terakhirnya. Dia sendiri tidak tega memvonis pasiennya dengan mengatakan kategori gangguan jiwa.
Alexa tercengang. "Mama saya ... tidak mungkin!"
Alexa menampik penjelasan dari dokter itu, tapi setelah melihat kertas hasil pemeriksaan, dia tidak bisa memungkirinya. Jelas, sebagai mahasiswi kedokteran, dia sangat mengerti apa itu LSD.
LSD atau singkatan dari Lysergic acid diethylamide (LSD) adalah salah satu jenis narkoba yang paling kuat efeknya dalam memengaruhi suasana hati dan pikiran pemakainya.
Alexa menangis dan geram. Dia sangat mengutuk Ben yang sudah memberikan obat terlarang itu pada mamanya. Begitupun yang dirasakan Angga. Dalam hatinya geram bukan main. Rasanya ingin sekali melayangkan jutaan bogem mentah pada wajah Ben. Tapi ada satu pertanyaan yang terbesit di benaknya. 'Untuk apa , Ben memberikan narkoba pada nyonya Renata? Bukankah dia mencintai nyonya Renata sejak dulu? Aneh!'
Angga yang duduk di sebelahnya berusaha menguatkan dengan menggenggam tangan Alexa. Dia tau yang dihadapi Alexa begitu pelik. Efek samping dari obat terlarang itu sangatlah mengerikan bagi si pemakai.
Sama dengan narkoba lainnya, obat jenis ini akan menimbulkan rasa nyaman dan bahagia bagi yang mengonsumsinya. Bukan hanya itu saja, si pemakai juga akan merasa memiliki indera perasa yang terhubung satu sama lain. Si pemakai seolah-olah mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak nampak oleh orang lain. Halusinasi yang berlebihan. Bagi para pelajar, hal itu akan membuat dirinya kesulitan dalam berkonsentrasi, serta kebingungan.
Angga berpikir, apa yang dialami nyonya Renata jelas sudah mengarah kepada intensitas yang parah. Alexa pernah menceritakan bahwa ibunya pernah mengingaukan --dalam keadaan sadar-- tentang sesuatu yang membuatnya kemudian merasa panik dan ketakutan.
Jika dihubungkan tiap-tiap gejala yang pernah diceritakan oleh Alexa, bahwa ibunya juga sering mengalami sakit kepala, mual dan muntah kemudian ditambah sering berkeringat, maka jelas itu adalah efek samping dari obat terkutuk itu.
Angga memapah tubuh Alexa yang terasa lemas. Tangisnya belum terhenti sejak keluar dari ruangan dokter Rifda.
"Aku ada di sampingmu. Kamu jangan sedih lagi, ya. Kita akan menghadapi semuanya, bersama."
Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan Angga sebagai penghiburan untuk Alexa.