Alexa meraih mencari-cari ponselnya, sebab dia sendiri tidak tau barang apa saja yang dibawa Angga semalam tadi. Seingatnya, sebelum kejadian Ben menggerayangi tubuhnya --bulu kuduk Alexa mendadak meremang mengingat kejadian semalam-- ponsel dia masukkan ke dalam saku celana jeans miliknya. Dan sekarang dia tidak tahu ke mana perginya si ponsel karena saat ini dia tidak menemukannya di dalam saku celana.
"Haish ... di mana Angga meletakkan ponselku? Apa tertinggal di rumah?" gumam Alexa sambil mencari-cari di setiap sudut ranjang. Tidak ada.
Dia lalu mencari ke arah sofa samping ranjang --tempat Angga beristirahat sebelum akhirnya mendapatkan siksaan batin dari tubuh Alexa.
"Ketemu!"
Dia meraih benda canggih yang menjadi pedoman para manusia di era digital itu.
Sebuah notifikasi masuk. Alexa membuka isi pesan yang masuk dalam kotak masuk di ponselnya.
'Nona Alexa, proposal skripsi anda sudah di setujui oleh pihak jurusan. Silakan melanjutkan tahap pembuatan skripsi. Dosen yang menjadi pembimbing anda adalah bapak Prof. Dr. Helmi Darmawan, M.Si. Biomed. Berikut nomor kontak beliau'.
Alexa membaca pesan itu dengan suka cita. Akhirnya satu tahap lagi telah berhasil dia lewati. Tapi terbesit perasaan pesimis. Entah apakah setelah ini, dia bisa menghubungi dosen pembimbingnya ataukah sudahi saja sampai di sini.
Banyak hal yang mengganggu konsentrasi akademiknya. Hal yang paling utama adalah tentang kesehatan ibunya yang masih berada di ruang observasi. Entah sampai kapan nyonya Renata di dalam ruangan itu. Alexa rindu, sangat rindu. Saking rindunya, tanpa sadar satu bulir air mata jatuh dari pelupuknya. Buru-buru Alexa menyapunya. Dia tidak ingin terus bersedih. Dia harus kuat demi ibunya.
'Kruyuk ... ' Suara perutnya berbunyi.
Rasa lapar tiba-tiba saja menyerbu perutnya. Di hadapannya sudah tersedia satu kantong plastik bubur pemberian Angga. Tapi entah rasa enggan membalut tubuhnya.
"Sebaiknya, aku makan bersama Angga di bawah saja. Mungkin, aku bisa memakan bubur ini dengan meminta menu yang lain," gumamnya.
Alexa menegakkan tubuhnya lalu berjalan keluar kamar. Dia menuruni tangga dengan menjinjing plastik bubur di tangannya. Matanya sengaja dia pasang jeli untuk mencari sosok Angga.
"Angga ada di mana?" gumamnya sambil terus mencari.
Alexa sudah tiba di dapur tapi matanya belum menangkap batang hidung Angga.
"Apa mungkin dia keluar rumah?"
Alexa bergerak keluar rumah. Dia mendapati alas kaki milik Angga tertata rapi di rak sepatu. Itu artinya, Angga masih berada di dalam rumah.
"Ah, mungkin dia ada di dalam kamar," ujarnya.
'Tapi di kamar yang mana?' ujarnya dalam hati.
Rumah Angga --yang selalu disebut oleh Angga adalah kosan-- memiliki banyak ruang termasuk kamar. Alexa belum sempat "ber-tour ria" melihat lebih detail rumah Angga. Tapi beberapa ruangan, Alexa sudah sangat familiar contohnya adalah letak kamar-kamar yang ada di rumah itu.
Akhirnya Alexa memutuskan untuk mengecek kamar samping dapur terlebih dahulu, kamar yang dulu ia tempati karena letaknya paling dekat dengan posisinya berdiri --pintu keluar bagian samping rumah. Sempat terbesit pertanyaan dalam hatinya, mengapa Angga memindahkan dirinya ke kamar di lantai atas.
"Angga!" panggil Alexa sambil membuka pintu sebuah kamar. Kosong.
Alexa beranjak kembali mencari Angga. Kini dia beralih ke kamar yang terletak di samping ruang televisi. Pintunya terbuka. Alexa berjalan cepat. Dia yakin bahwa Angga ada di kamar itu. Sekilas matanya juga menangkap sesuatu yang bergerak dari dalam kamar. Alexa yakin bahwa itu adalah Angga, sebab tidak ada orang lain yang tinggal di rumah besar ini selain mereka berdua.
"Angga, aku ... " suaranya tercekat. Adegan selanjutnya adalah suara jeritan dari mulut Alexa.
"Ma-maaf. A-aku akan menunggumu di meja makan."
Alexa berbalik badan dan langsung berlari menjauhi kamar itu.
Bagai terserang listrik tiba-tiba. Tubuh Angga terpaku. Kejadiannya terlalu cepat. Dia bahkan belum mengucapkan sepatah katapun. Hanya efek semu di wajahnya yang menyembul.
Dia baru menyadari kesalahannya. Ya! Dia tidak menutup pintu kamar! Seharusnya dia menutup pintu kamar, sehingga Alexa tidak serta merta melihat dirinya yang hanya berbalut handuk kecil di pinggangnya. Dia tidak menyangka kalau Alexa akan masuk ke kamar saat dirinya baru saja selesai mandi. Beruntung, dia tidak langsung berganti baju, jika tidak, Angga sudah tidak bisa menampakkan diri di depan Alexa.
"Dasar bodoh!" rutuknya.
Alexa menunggu di meja makan dengan hati yang berdebar. Debaran aneh yang belum pernah dia rasakan sepanjang hidupnya.
"Astaga ... kenapa aku begitu bodoh langsung masuk ke kamar itu. Harusnya aku memanggilnya dari kejauhan dan gak perlu masuk ke kamar, hisssh ...!" rutuk Alexa menyesali diri.
Beberapa menit kemudian, mungkin sekitar lima belas menit --waktu yang cukup lama bagi seorang laki-laki yang tengah berganti baju-- Angga barulah menjejakkan kakinya keluar kamar.
Bukan! Bukan berdandan tepatnya yang membuat waktu berjalan terasa lama. Angga sengaja berlama-lama di dalam kamar hanya untuk menunggu hatinya siap bertatap muka dengan Alexa, setelah seruntutan kejadian yang membuat perasaan cintanya semakin menggelora. Dia butuh waktu untuk mentralkan perasaannya.
Angga berjalan cukup santai dari arah belakang Alexa. Alexa duduk membelakangi arah datangnya Angga. Setelah mendekat, dia terheran karena melihat ada bungkusan hitam di atas meja.
"Buburmu belum kamu makan? Kenapa? Tidak suka bubur? Biar aku belikan makanan yang lain," cecar Angga. Suaranya dibuat senetral mungkin.
Angga berusaha bersikap normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dengan Alexa. Dia ingin membuat Alexa nyaman dengan kehadirannya.
Alexa mendongak. Netranya langsung bersirobok dengan netra coklat terang milik Angga. Dia duduk tepat di hadapan Alexa.
" ... "
Entah apa yang membuat kerongkongannya terasa tercekat. Sulit sekali menjawab pertanyaan mudah dari Angga.
Angga menghela nafas. Dia lantas berdiri dan berjalan ke belakang. Mengambil mangkok dari rak piring di dapur adalah tujuan utamanya ke dapur. Setelah mangkok dan piring sudah berada di tangannya, Angga lanjut mengambil alih kantong plastik yang tergeletak menyedihkan di atas meja. Bubur yang dia beli sudah tidak hangat lagi.
Dengan cekatan, Angga membuka dan menuangkan bubur itu ke dalam mangkok. Setelah siap, Angga duduk di sebelah Alexa dan mulai menyendokkan suapan pertamanya untuk Alexa.
"Kamu harus makan, sayang ... agar cepat sembuh," ujar Angga sambil menyuapkan sesendok bubur ke arah mulut Alexa.
Ups! Angga keceplosan memanggil Alexa dengan sebutan sayang. Keduanya saling pandang. Alexa tertegun. Pandangannya lurus menatap bola mata Angga. Seolah mencari kebenaran dengan apa yang telah didengar oleh telinganya. Kata "sayang" itu terasa sangat menggelitik hatinya.
Suasana canggung menjadi alasan keheningan mereka.
"M-maksudku ... ah lupakanlah. Ka-kamu bisa makan sendiri 'kan?" tanya Angga salah tingkah.
Dia menyodorkan mangkuk bubur itu ke hadapan Alexa lalu bangkit dan beranjak dari sisi Alexa. Entah dia akan ke mana. Yang pasti, dia harus menghilang dari hadapan Alexa terlebih dahulu sebelum dirinya semakin malu di depan Alexa.