Bagai sebuah setrikaan. Sudah hampir lima belas menit, Angga mondar mandir di depan kamar Alexa. Setelah dia menyesali perbuatannya yang kurang ajar pada Alexa di meja makan tadi, Angga memutuskan menyusul Alexa ke kamarnya. Dia berniat untuk meminta maaf. Tapi naasnya, keberanian yang tadi ia tunjukkan saat mencium Alexa tidak nampak satu butirpun dalam hati Angga. Satu ketukan pintu pun tidak sanggup ia lakukan.
Di tengah kegundahan hati pemuda tampan itu, siapa sangka ada hati yang kecewa bercampur dengan perasaan berbunga-bunga dari balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan hati Alexa.
Jangankan orang lain, Alexa sendiri tidak menduga ada perasaan hangat saat dirinya mengingat kejadian yang secepat kilat tadi.
Tidak dapat dipungkiri, ada perasaan senang dalam hatinya. Mendadak hatinya terhangatkan karena ada seorang pemuda tampan yang menyatakan cinta padanya.
"Lex ... Bisa aku bicara sebentar?"
Suara sang perebut ciuman pertamanya menggema dari balik pintu kamar.
Hati Alexa mendadak berdebar cepat. Otaknya tumpul seketika. Dia tidak tahu harus merespon apa? Rasa malu lebih mendominasi ketimbang rasa kecewanya tadi.
"Lex ... aku mohon. Buka pintunya." Kali ini suaranya semakin dalam. Ada penekanan pada kalimatnya.
Dengan perasaan yang tidak bisa didefinisikan, akhirnya Alexa perlahan menarik tuas pintu lalu membukanya sedikit demi sedikit. Sebuah wajah penuh penyesalan tersembul setelah pintu mulai terbuka lebar.
Alexa membuang wajahnya. Tas ransel kesayangannya sudah bertengger di bahunya.
"Lex ... kamu mau ke mana?"
" ... "
Alexa sudah mengemasi barang-barangnya sebelum akhirnya memutuskan membuka pintu kamar. Pikirnya, dia sudah tidak bisa lagi tinggal di rumah itu lebih lama.
"Lex ... maafkan aku ... " Angga menghalangi jalan Alexa.
Langkah Alexa terhenti seketika.
"Menyingkir ... aku mau lewat," ucap Alexa dingin.
Alexa benar-benar tidak sanggup menatap mata Angga. Rasanya ada yang berubah di hatinya. Dia tidak bisa lagi memandang Angga objektif sebagai seorang sahabat. Kini penilaiannya sudah berubah menjadi subjektif. Hati dan otaknya memandang Angga sebagai seorang laki-laki yang mencintainya.
"Aku antar, ya?" bujuk Angga.
Dia tidak kehilangan akal agar bisa membujuk Alexa. Bagaimanapun caranya, dia tidak mau kehilangan Alexa karena tindakan bodohnya.
"Aku mau ke rumah sakit."
Lagi-lagi jawaban yang dingin. Bagai dihujani bongkahan es dari kutub selatan, hati Angga beku. Belum pernah dirinya merasa sesakit ini berbicara dengan Alexa.
"Alex ... aku harus apa agar kamu memaafkanku?" ucap Angga frustrasi.
Alexa memberanikan diri menatap netra yang dulu menyejukkan itu. Dia tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dalam bola mata Angga masih ada masa depan dirinya dengan Angga sebagai sahabat. Dia berharap hari-hari ceria bersama Angga bisa terulang kembali dan berlangsung lama.
"Kamu gak usah mengantarku. Bukankah hari ini kamu ada mata kuliah yang harus kamu penuhi?"
Angga buru-buru membuka mulut.
"Aku bisa membolos kok. Ku mohon, biarkan aku mengantarmu ke rumah sakit, Lex."
Suara Angga semakin berat. Keputusasaan menyergapnya.
Alexa mendesah dalam.
"Kamu itu bodoh! Bodoh sekali, Angga!" seru Alexa.
Akhirnya pecah juga perasaan marah yang ditahan oleh Alexa sedari tadi. Entah sebenarnya apa yang membuat Alexa sangat marah. Apakah karena ungkapan cinta dari Angga ataukah kecupan kilat dari bibir Angga?
"Iya Lex! Aku memang bodoh! Aku sudah melakukan hal tolol padamu!" maki Angga di udara. Ia mengusap wajahnya gusar.
Entah reaksi apa yang harus ditampilkan Alexa saat itu. Tapi yang pasti ada bulir air mata jatuh dari pelupuknya. Alexa tidak bisa mendefinisikan perasaannya sendiri.
"Aku pergi."
Alexa melangkahkan kakinya melewati Angga. Tapi bukan Angga namanya jika dia menyerah begitu saja. Angga mengejar Alexa dan mencekal tangan Alexa.
"Aku mengerti, kalau kamu marah sama aku. Kamu boleh membenciku. Tapi aku mohon, untuk kali ini saja, biarkan aku mengantarmu. Aku janji setelah ini, aku tidak akan mengganggumu lagi."
Alexa masih bergeming.
"Aku mohon ... "
Alexa mengangguk perlahan. Saking pelannya bahkan hampir tidak terlihat oleh mata Angga gerakan anggukan Alexa.
"Oke ... tunggu di sini. Aku mau ambil kunci mobil dulu," ujar Angga gusar.
Baru beberapa langkah, Angga berbalik badan.
"Kamu jangan pergi ke mana-mana!" serunya setelah menapaki beberapa langkah ke belakang Alexa.
Hanya anggukan lemah yang dia terima dari kalimat perintahnya.
Setelah melihat respon Alexa dan ia meyakini bahwa Alexa akan menuruti permintaannya, Angga langsung melesat ke dalam kamarnya, mengambil kunci mobil.
Tidak sampai hitungan puluhan menit, Angga sudah muncul kembali dan menghampiri Alexa yang masih bergeming di depan rumahnya.
Angga membukakan pintu mobil untuk Alexa. Sebuah perlakuan yang tidak pernah berubah sejak dulu. Hal sepele yang manis jika dilihat dari sisi romantisme sebuah hubungan. Dan itu baru disadari oleh Alexa sesaat setelah dirinya duduk nyaman di dalam mobil.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit bagai siksaan untuk Angga. Bagaimana tidak! Dia merasa mengendarai mobil sendirian. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari orang yang di sampingnya. Mata Alexa tertuju lurus ke luar jalanan. Mulutnya mengatup sejak keluar dari rumah Angga. Siksaan terberat bagi kaum laki-laki adalah mendapatkan sikap abai dari pasangan.
Pasangan? Cih! Mereka bahkan bukan pasangan. Malangnya nasib Angga.
"Alex ... kamu gak lapar? Aku ada biskuit. Kamu mau?" tanya Angga memecah kesunyian.
Dia tahu, Alexa belum menyelesaikan sarapannya tadi sampai tindakan hilang kendalinya mengambil alih waku sarapan yang seharusnya romantis --setidaknya begitu di matanya.
Alexa tetap bergeming.
Perasaan canggung menyelimuti suasana dalam mobil. Angga tidak tahu lagi harus bagaimana agar Alexa kembali normal menerima kehadirannya. Seolah kini ada tembok besar yang menghalangi dirinya dengan Alexa. Entah siapa yang membangun tembok itu, yang jelas Angga membenci tembok itu!
Angga tidak tahu bahwa saat ini hati dan otak Alexa berkecamuk. Rasa canggung, malu dan lainnya berlari-lari di pikiran Alexa. Angga menyalahartikan sikap diam Alexa.
Penolakan Alexa bukan berlandaskan kebencian. Memang benar, Alexa merasa kecewa pada Angga, tapi dia tidak pernah bisa membenci Angga. Bagaimanapun dia satu-satunya sahabat yang dia miliki. Seseorang yang selalu hadir saat dirinya dalam keadaan terpuruk sekalipun. Dia hanya bingung bagaimana bersikap setelah apa yang sudah dialaminya pagi tadi.
"Kamu gak usah ikut masuk. Lebih baik kamu bergegas mengejar kelas hari ini," ujar Alexa.
Angga menghentikan langkahnya mengantar Alexa ke lobi rumah sakit. Dia menatap sang pujaan hati dengan tatapan penuh harap. Dia berharap bisa lebih mendekat lagi pada Alexa seperti sedia kala. Tapi dia sudah berjanji tidak akan mengganggu Alexa lagi sebagaimana kesepakatan mereka sebelumnya hingga Alexa setuju diantar olehnya.
"Tapi Lex ... "
"Kamu harus menepati janjimu," tandas Alexa sebelum ada drama yang muncul setelah itu.
Alexa tidak mau jadi bahan tontonan orang-orang di rumah sakit hanya perkara sepele antar-mengantar dari Angga.
"Baiklah, aku ngerti. Kamu ... yah sudahlah. Aku pergi, Alexa."
Jika dia mampu, Angga ingin melanjutkan kalimatnya yang terputus dengan kalimat "kabari aku kalau kamu butuh aku" tapi sayangnya seolah kerongkogan dan lidah tidak mendukung kalimat itu terlontar.
Angga melenggang meninggalkan Alexa dengan hati terluka.