Langit sepertinya tidak mau berkompromi dengan manusia di bawahnya. Tanpa ampun mengguyurkan air secara intens terus menerus sedari siang. Alexa duduk di bangku rumah sakit sambil menatap air hujan yang turun dari salah satu atap rumah sakit. Bagaikan ribuan jarum yang berjatuhan dari langit, menghujam benda-benda yang ada di atas bumi. Berkecipak suara air genangan yang ditimpa
Disela bisingnya suara hujan yang turun menerpa segala benda yang ada di bumi, satu suara tertangkap oleh gendang telinga Alexa. Alexa menajamkan telinga dan mencoba suara apa yang mendistraksi kegiatan melamunnya,
Melamun? Sebutlah begitu, sebab sejak keluar dari ruangan dokter Rifda, Alexa duduk termenung di bangku taman. Dia tidak tau harus ke mana setelah itu. Barulah dia beralih saat titik-titik hujan mengusirnya dari bangku taman. Namun tak mengubah kegiatannya semula. Alexa hanya beralih tempat duduk untuk melanjutkan kegiatan termenungnya ke bangku depan sebuah kamar pasien.
Bukan hanya telinga, Alexa juga menajamkan penglihatan, mencoba memindai sekitarnya. Dia melihat ada banyak orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Para perempuan berpakaian serba putih dengan topi putih itu – yang ia yakini sebagai perawat itu—tengah sibuk mengurusi pasien yang mereka tangani masing masing.
Ada juga beberapa orang berpakaian biasa yang tengah merangkul dan berpegangan tanganseolah mereka tengah saling menguatkan. Sepertinya, orang yang mereka cintai tengah berhadapan dengan penentuan sebuah keberhasilan ataukah kegagalan sebuah peristiwa operasi.
Lalu, satu bayangan tertangkap oleh mata Alexa. Satu sosok berkaki empat yang tengah mengeong-ngeong di tengah lorong. Hilir mudik, lalu lalang manusia yang melewatinya tidak ada yang peduli dengan suaranya. Beberapa orang hanya menoleh ke bawah lalu menyingkirkan sang kucing dnegan kaki mereka. Meski tidak secara kasar, tapi terbukti bahw amereka tidak mau berurusan dengan sang kucing.
Di pendengaran Alexa, kucing itu mengeong sangat pilu. Kucing itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain dnegan gelisah. Entah apa yang membuat Alexa mengartikan begitu dan apa yang membuat tubuhnya tergerak untuk mendekati kucing itu. Yang pasti saat ini kakinya memulai langkah pertama dan seterusnya menghampiri si kucing.
Setelah berada sangat dekat dengan kucing itu, barulah diketahui bahwa kucing itu adalah seekor kucing betina dan dia tengah hamil! Kucing itu terlihat masih melakukan aktivitas yang tadi Alexa lihat dari kejauhan –mondar mandir dengan gelisah.
"Hai kucing … kamu sedang apa sendirian di sini?" desis Alexa sambil mengelus-elus kucing berbulu abu itu. Alexa menggiring kucing itu ke tepian agar tidak tertendang oleh orang yang melewatinya.
Setelah dielus secara konstan oleh Alexa, kucing itu tidak lagi mengeong pilu. Suaranya pun kini lebih lembut dari sebelumnya.
"Kamu tinggal di mana, Pus?"
Alexa seperti mendapat teman ngobrol. Meski di antara keduanya tidak saling mengerti bahasa masing-masing, setidaknya kesepian Alexa sedikit terobati.
Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi dengan kucing yang baru saja dia namai "Pussy" itu. Kucing itu mengalami kontraksi hebat.
"Astaga! Kamu mau melahirkan, Pus?!"
Alexa celingukan mencari sesuatu. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Sesaat kemudian, dia tertegun. Bukankah dirinya adalah mahasiswi kedokteran? Lalu apa yang sebenarnya dia lakukan sehingga seolah tengah mencari bala bantuan dari manusia yang sibuk hilir mudik itu?
"Haish … Alexa, di mana otakmu!" rutuknya.
Otaknya kemudian menganalisa keadaan si kucing. Semua ilmu yang dia pelajari di kampus seolah berpusat pada otaknya. Jika dapat digambarkan, mungkin di atas kepala Alexa tergambar banyak buku-buku tebal yang tengah terbuka.
Alexa pernah mempelajari sekilas bagaimana proses melahirkan seekor kucing, tapi dia belum pernah sekalipun melihat secara langsung bagaimana makhluk berkaki empat itu melahirkan. Teringat saat itu adalah tugas kelompokbersama Angga dan kelompok Alexa mendapatkan nilai yang memuaskan.
"Aku rasa, ini saatnya aku mengamalkan ilmuku," gumam Alexa.
Alexa mencari sesuatu agar si kucing merasa nyaman. Beruntung dia melihat ada kardus bekas air minum kemasan tergeletak tanpa pemilik. Sepertinya milik orang-orang yang datang menjenguk pasien. Tujuannya tidak lain adalah agar si kucing melahirkan anak-anaknya dalam satu tempat yang aman dan nyaman.
Bergegas Alexa mengambil kardus itu dan mengambil sesuatu dari ranselnya. Dia mengeluarkan kemeja miliknya yang kemarin dia kenakan. Dengan cekatan, Alexa membeberkan kemeja miliknya untuk dijadikan alas sang kucing saat melahirkan.
Dengan sangat hati-hati, Alexa mengangkat kucing itu dan memasukkannya ke dalam kardus yang sudah rapi dialasi oleh kemeja kumal miliknya.
Alexa menunggui si kucing melahirkan dengan sabar. Dalam buku yang pernah Alexa baca, jika kucing mengejan setelah sekitar 20 hingga 30 menit tapi sang bayi tidak keluar maka si kucing harus mendapatkan tindakan serius. Alexa terus memerhatikan jam di tangannya. Hatinya sungguh was-was. Ajaibnya, tiga menit sebelum durasi waktu yang membahayakan bagi si kucing, akhirnya keluarlah satu ekor bayi kucing.
Sebuah pemandangan yang menakjubkan juga mengharukan bagi Alexa. Pengalaman pertamanya menyelamatkan kucing melahirkan. Bukankah pemandangan itu sangatlah terlampau indah, dimana ada satu makhluk terlahir ke bumi dan mencoba merasakan segala sesuatu yang ada di bumi?
Tidak hanya satu bayi itu saja yang keluar, selang sekitar sepuluh menit, menyusul sang adik keluar dari lubang kelahiran milik Pusy. Alexa sampai menitikkan air mata. Pikirnya sungguh beruntung, si bayi kucing memiliki saudara untuk bisa berbagi kisah di dunia.
Alexa menyaksikan proses kelahiran sang bayi kucing dengan sangat khidmat. Hingga bagian si Pusy menjilati dan memberikan kenyamanan pada sang bayi membuat tangis Alexa pecah. Meliat ikatan antara ibu dan anak di kucing, Alexa teringat pada ibunya yang kini tengah berada di dalam ruang observasi. Alexa merindukan ibunya! Sangat rindu!
"Kamu beruntung, Pusy. Anak-anakmu dalam pelukan hangatmu, tidak sepertiku … "
Alexa tergugu. Tangisnya tidak bisa ia tahan lagi. Kesedihan menyelimuti relung hatinya.
Bagaimana bisa hidup begitu kejam padanya dengan memisahkan dirinya dengan ibunya.
Setelah sekitar 5 jam, lengkap sudah proses kelahiran sang kucing. Alexa menghitung semua bayi yang lahir. Totalnya ada empat. Dia juga menghitung berapa plasenta yang keluar—empat. Kelahiran yang sempurna. Kenapa begitu? Sebab jika ada plasenta yang masih berada di dalam perut sang ibu kucing akan dapat meningkatkan resiko infeksi bagi sang ibu kucing.
Alexa menghela nafas lega. Ada perasaan bangga dalam dirinya bisa menyaksikan itu semua dan dirinyalah yang menemani si kucing. Sempat terpikir oleh benaknya, bagaimana kalau dirinya nanti mengambil spesialisasi bidang obstetrik dan ginekologi alias menjadi dokter kandungan? Dia ingin bisa menyelamatkan banyak ibu di muka bumi ini. Alexa ingin membagikan kebahagaiaan dnegan membantu para ibu menyelamatkan anak mereka.
"Ah, nanti sajalah aku pikirkan itu. Saat ini, mama adalah fokus utamaku," tukasnya menampik hayalan dan impian sesaatnya itu.