Chereads / Jodoh yang Disimpan / Chapter 11 - Selamatkan Aku, Tuhan ...

Chapter 11 - Selamatkan Aku, Tuhan ...

Hingga waktu petang, hujan akhirnya menyerah dari menurunkan debit air yang dimilikinya. Hujan telah reda. Beberapa orang yang tengah berteduh, mulai melanjutkan kegiatan mereka masing-masing. Begitupun dengan Alexa. Dia memutuskan beranjak dari bangku depan kamar pasien dan bersiap untuk pulang ke rumah setelah berlama-lama di rumah sakit tanpa tujuan. Jika ada pertanyaan perihal kuliah, sebenarnya Alexa adalah salah satu mahasiswi dengan kemampuan IQ di atas rata-rata. Karena itulah, semua mata kuliah sudah dia selesaikan dengan baik. Alexa tinggal menyelesaikan tahap skripsi yang sama sekali belum dia mulai. Entah Alexa bisa melanjutkan ke tahap skripsi ataukah tidak, Alexa pesimis.

Alexa mengambil ponsel dari dalam ranselnya. Mati! Saat di rumah Angga, dia lupa untuk mengisi baterai ponselnya dan setelah itu, Alexa belum sama sekali mengecek ponselnya karena disibukkan menunggui kucing melahirkan.

Setelah memutuskan pulang menggunakan jasa ojek offline yang mangkal di seberang rumah sakit, sekitar dua puluh menit kemudian, Alexa akhirnya sampai di depan gerbang rumahnya. Meski enggan, tapi Alexa harus pulang. Ada banyak hal yang perlu dia siapkan untuk dirinya dan keperluan ibunya di rumah sakit.

Cklek! Suara selop kunci tanda pintu sudah berhasil terbuka.

Alexa membuka pintu rumahnya perlahan. Begitu hati-hati, Alexa melangkahkan kakinya memasuki ruang tamu. Sunyi. Tidak ada kehidupan. Tadipun dia membuka pintu depan menggunakan kunci cadangan yang ada di bawah keset. Lampu yang menyala hanya di dalam ruang tengah. Alexa menyalakan semua lampu rumahnya.

'Sepertinya si brengsek itu tidak ada di rumah,' batin Alexa.

Dengan leluasa, Alexa memasuki kamarnya. Berbaring adalah perkara utama yang dia lakukan setelah menutup pintu dan menguncinya.

Alexa menerawang menatap langit-langit kamarnya. Suara detak jam dindingnya terasa seperti melodi di kesunyian malam ini. Lambat tapi pasti, rasa kantuk menggelayuti pelupuk matanya. Entah karena malam terasa sangat menyejukkan karena sehabis turun hujan ataukah dirinya terlampau lelah, padahal malam belum terlalu larut hingga akhirnya Alexa pun membiarkan dirinya terbenam dalam mimpi.

***

"Kulitmu sangat mulus, sayang …"

Samar-samar telinga Alexa mendengar suara desisan tepat dari telinga kanannya. Ia pun merasakan ada yang bergerak perlahan menggerayangi pipinya. Sebuah aroma khas yang sudah dia kenali beberapa tahun ke belakang --alkohol-- memaksa matanya terbuka!

"Mau apa kamu?!" seru Alexa, seraya mendorong tubuh laki-laki di depannya itu.

Setengah mati Alexa terkejut mendapati wajahnya begitu dekat dengan wajah laki-laki yang sangat dia benci. Gerakan selanjutnya yang Alexa lakukan adalah bangkit dari posisi tidurnya dan menarik mundur tubuhnya, menjauh dari jangkauan manusia tidak bermoral seperti Ben itu!

"Kenapa kamu kasar sekali pada ayahmu ini, sayang ... " ujar Ben sambil mengelus perutnya yang tadi di dorong oleh Alexa. Sayangnya dorongan yang dilakukan Alexa tidak mampu membuat tubuh kekar itu terjungkal ataupun bergeser dari posisi semula.

Ben menyeringai dan perlahan berjalan mendekati Alexa.

"Kamu bukan ayahku! Pergi kamu!" teriak Alexa.

Jantung Alexa berpacu sangat cepat seiring langkah kaki Ben yang mendekat. Bukan sekali ini saja, Ben mencoba mendapatkan tubuh sintal milik Alexa. Tapi malam begini dan di dalam kamar yang sempit ini adalah kali pertama yang Alexa alami. Situasinya sangat tidak menguntungkan bagi Alexa. Dia tersudut.

"Ayolah sayang ... bukankah menyuruhku pergi itu sangat tidak sopan? Aku adalah walimu setelah Renata menjadi gila."

Ben mengejek Alexa dengan mengungkit kegilaan mamanya.

"Mamaku tidak gila! Kamu yang gila!" maki Alexa. Matanya menyalang layaknya singa betina yang diganggu tidur pulasnya.

"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan bahwa kamu adalah waliku! Tidak sudi aku mempunyai wali menjijikkan sepertimu, cuih!"

Alexa meludah ke arah wajah Ben.

Bukannya merasa direndahkan, Ben malah bersemangat. Dia mengelap ludah yang mengenai wajahnya dengan jari telunjuknya dan menjilatinya. Menjijikkan!

"Kamu tahu sayang ... melihat sikapmu yang begitu buas, membuatku semakin ingin mencicipi tubuh molekmu," ujar Ben. Seringai di wajahnya semakin lebar.

Alexa benar-benar ketakutan. Keringat membanjiri pelipisnya. Otaknya berpikir cepat, apa yang harus dia lakukan. Berteriak? Bukan tidak bisa, tapi letak rumah miliknya terlalu terpencil dan termasuk kawasan sepi penghuni. Bahkan dua rumah kanan kiri dari rumahnya adalah rumah kosong karena ditinggalkan pemiliknya pindah dan hanya ditandai dengan tulisan "DIJUAL CEPAT".

"Kamu seharusnya berterima kasih padaku. Aku cukup bersabar dengan membiarkanmu kuliah dan menahan nafsuku selama setahun ini. Tapi malam ini, aku sudah tidak bisa bersabar lagi. Aku ingin mengupas lapisan demi lapisan pakaianmu hingga aku bisa menelanmu bulat-bulat saat ini juga!"

Alexa merasa jijik mendengar Ben mengatakan itu. Kewaspadaannya meningkat berkali-kali lipat saat Ben terus mendekati dirinya. Tangan Ben terjulur untuk meraih tangan Alexa. Berkali-kali Alexa menampik dan mencoba berlari dari posisinya. Namun sayang sekali, seolah nasib Alexa bergantung pada Ben. Terbukti saat Alexa berhasil lari mendekati pintu, nyatanya pintu kamar tidak bisa dia buka. Pintunya terkunci!

Alexa menoleh dan matanya membelalak ketika Ben memainkan kunci kamar di tangannya. Berayun-ayun di jemari kekarnya.

"Kamu mau ini? Mendekatlah sayang ... "

Alexa merasa sangat putus asa. Seolah nyawanya sudah hampir akan dicabut oleh malaikat pencabut nyawa, nafasnya tersengal. Bagaimana tidak! Ben akhirnya berhasil menangkapnya dan memenjarakan kedua tangannya. Tubuhnya bergerak penuh nafsu menggerayangi tubuh Alexa dengan mulai mengendus leher jenjang Alexa. Alexa menjerit histeris. Semua tenaga yang tersisa berusaha ia kerahkan untuk memukul mundur laki-laki brengsek di depannya itu. Namun sayangnya sia-sia saja. Teriakan dan tangisannya tidak mengubah keadaan. Tidak ada yang datang. Jangankan datang menyelamatkannya, hingga suara yang keluar dari kerongkongan berubah menjadi paraupun belum tentu dapat membuat tetangganya berbondong-bondong datang menyelamatkannya.

"Kumohon ... Lepaskan aku ... " pintanya parau.

Wajahnya sudah kuyup oleh keringat yang bercampur dengan air mata kepedihan dan keputusasaan.

"Aromamu sungguh memabukkanku, jalang ... " bisik Ben di telinga Alexa.

Entah sejak kapan kaos yang Alexa kenakan sudah terlempar menyedihkan di atas lantai. Kini keberhasilan Ben terbukti dengan hanya menyisakan bra hitam yang masih membungkus gundukan kembar milik Alexa.

Mata Ben menyala, seringainya semakin lebar, entah jika penggambaran ini berlebihan tapi dia benar-benar bernafsu hingga sepertinya air liur Ben menetes tanpa sadar.

Dalam hati, Alexa berharap keajaiban datang menyelamatkannya. 'Bisakah sekali ini saja, aku berharap padamu, Tuhan? Tolong, selamatkan aku, Tuhan!' jerit Alexa dalam hati.

Pandangannya tiba-tiba berpendar, pening melanda kepalanya. Badannya remuk, lelah dan letih. Lalu gelap. Tubuhnya merosot, kesadarannya hilang. Alexa pingsan. Di ambang akhir dari kesadarannya, samar-samar telinganya mendengar suara "BRAK!!" sangat nyaring. Dia sudah tidak peduli. Bahkan hanya sekedar ingin membuka mata, Alexa sudah tak sanggup. Dia akhirnya menyerah dan tak sadarkan diri.