"Aku harus bagaimana, Ga? Aku gak mau meninggalkan mama di sini sendirian."
Matahari seolah enggan berlama-lama di langit. Dan rembulan tak ingin menampakkan sinarnya. Semuanya seolah mendukung kesedihan Alexa. Langit gelap nan mendung solah siap menurunkan hujan kapan saja.
"Tapi kamu juga gak bisa di sini terus menerus. Kamu nanti bisa masuk angin," ujar Angga hawatir.
Mereka kini berada di taman rumah sakit. Setelah tadi, Angga memaksanya untuk mengisi perut di kantin rumah sakit. Mereka duduk-duduk di taman dekat rumah sakit.
Alexa terdiam. Angin malam mulai berhembus menyapu pori-pori kulit tangannya. Sejak siang Alexa belum mengganti bajunya. Dia hanya mengenakan kaos pendek dan celana jeans. Bagaimana tidak. Siang tadi karena saking paniknya, Alexa tidak sempat membawa baju ganti dan selimut untuk dirinya. Mereka tidak pernah menduga jika ibunya harus masuk ruang isolasi.
Alexa bergidik sedikit. Tidak bisa dipungkiri, badannya merasakan dinginnya hembusan angin taman.
Angga melirik sekilas. "Kamu kedinginan. Kita pindah dari sini saja."
Alexa terdiam. Otaknya masih aktif berpikir. Dia tidak ingin pulang ke rumah tapi dia juga tidak bisa menginap di rumah sakit.
"Ah, begini saja. Kamu menginap saja di kosan aku. Kamu ... mau gak?"
Alexa menoleh. Netranya langsung bersirobok dengan netra coklat Angga. Yang ditatap merasa kikuk, salah tingkah.
"Eh, mm ... aku gak maksa kalau kamu gak mau. Itu hanya usulku saja. Atau kamu mau tidur di saudara ... ah iya, maaf."
Angga langsung mengatupkan mulutnya. Dia tidak sengaja keceplosan mengatakan kata "saudara". Sesaat dia lupa bahwa Alexa tidak mempunyai saudara dari ibunya ataupun almarhum papanya di kota ini.
"Aku ... gak mau merepotkanmu."
"Gak kok. tenang saja. Kamu gak pernah ngerepotin aku."
Alexa terdiam lagi. Dia menimang-nimang baik buruknya menerima tawaran dari Angga.
"Aku mau," lirih Alexa.
Netra Angga hampir saja mencuat. Perasaan bahagia membuncah tidak tertahan di dalam dadanya. Dia bisa mengabiskan banyak waktu bersama sang pujaan hatinya. Sebuah perasaan yang bisa membahayakan kewarasannya.
***
Angga memarkirkan mobil milik ayahnya di basement kosan. Jika ada pertanyaan yang mencuat perihal kosan Angga tentu saja wajar. Bagaimana bisa sebuah kosan ada basement-nya. Sebab kosan yang dimaksud Angga bukanlah kosan anak kuliahan dengan yang berukuran 3x3, yang hanya bisa diisi ranjang single bed dan lemari kayu kecil.
Kosan Angga merupakan perwujudan rumah besar dengan beberapa kamar. Tidak hanya itu saja. Di dama masing-masing kamar terdapat kamari mandi dengan fasilitas yang memadai.
"Silakan masuk. Kamu duduk saja dulu, aku mau mengunci paar terlebih dahulu,' ujar Angga setelah membuka pintu rumahnya.
Alexa patuh dan masuk ke dalam rumah. Dia langsung mendaratkan bokongnya di salah satu sofa empuk ruang tamu. Dia juga mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan.
Sudah sejak lama Alexa mengenal Angga, tapi baru kali ini dia masuk ke kosan milik Angga. Biasanya, dia hanya berdiri di luar kosan jika sedang mencari Angga. Ada satu pertanyaan yang belum berani Alexa lontarkan dari dulu pada Angga. Bagaimana bisa sebuah rumah ia katakan sebagai kosan.
"Kamu mau minum apa? Teh atau kopi?"
Alexa menoleh. Angga sudah berada di samping tepat dia duduk.
"Tidak usah repot. Oh, iya. Rumah eh kosanmu kok sepi. Memangnya teman-teman yang lain mana?" tanya Alexa penasaran.
"Oh, itu. Ini penghujung pekan, jadi beberapa temanku ada yang pulang kampung," sahut Angga.
Alexa mengangguk mengerti. Dia tahu jika mampir ke depan kosan Angga selalu saja terdengar suara ribut teman-teman Angga.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya. Aku mau membereskan kamar untukmu dulu," ujarnya.
Sekali lagi Alexa mengangguk. Selepas kepergian Angga, Alexa tidak hanya duduk diam di sofa. Rasa penasaran mendorngnya bergerak dan mendekati beberapa ornamen yang tertempel di dinding. Matanya tertarik pada sebuah bingkai figura yang tertempel di ujung sebuah meja panjang. Dia lalu mendekati dan merah foto tersebut.
'Foto Angga, tapi siapa perempuan ini?' batin Alexa.
Dalam foto, Angga mengenakan seragam biru tengah duduk bersama dengan seorang gadis kecil berseragam merah.
"Itu foto adikku. Dia sudah meninggal."
Sebuah suara terluncur dari arah belakang Alexa. Alexa menoleh.
"Maaf, aku lancang melihat foto ini," ujarnya lalu meletakkan kembali bingkai foto itu.
"Tidak apa-apa. Hanya tersisa foto itu. Kenangan bersama adikku. Dia sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Saat foto itu diambil, aku baru saja menyelesaikan ujian nasional SMP-ku. Mungkin itulah salah satunya alasanku masuk ke jurusan kedokteran sama denganmu."
Alexa menyimak cerita Angga.
"Ah, iya. Aku sudah membereskan kamar untukmu menginap malam ini. Tapi, aku cuma punya ini untuk kamu pakai. Gak apa-apa 'kan?"
Angga menyodorkan satu kaos gombrong pada Alexa. Suda bisa ditebak, kaos itu pastilah miliknya. Angga tida bisa memberikan pilihan yang lain karena sudah barang tentu hanya kaum Adam yang menghuni kosan miliknya.
"Gak apa-apa, makasih banyak."
Angga menyunggingkan senyum tulusnya. Dia mengantar Alexa menuju depan kamar yang sudah dia siapkan.
"Kamu istirahat saja. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang padaku."
Angga berbalik dan hendak beranjak dari depan pintu kamar Alexa, tiba-tiba saja bajunya ditarik oleh Alexa.
"Aku belum ngantuk. Aku ... takut ... "
Angga berbalik. Dia lalu mengusap pelan rambut Alexa.
"Kamu gak usah takut. Percayalah, mamamu pasti akan baik-baik saja. Mereka dokter ahli di bidangnya yang bisa mengobati mamamu."
Seolah mengerti ketakutan yang dimaksud Alexa, Angga berusaha menenangkan hati Alexa.
"Tapi ... "
"Ya sudah ... kalau kamu belum mau tidur. Kamu bis aikut aku ke ruang tengah. Kita bisa nonton film dulu."
Alexa mengangguk pelan. Mendapat respon sebuah anggukan, Angga lantas menggandeng tangan Alexa.
Alexa tidak berhenti takjub dengan pemandangan rumah Angga. Bahkan ruang tengah yang dimaksud Angga tidak sesuai dengan bayangan dirinya. Ruang tengah Angga berisi sebuah sofa panjang yang empuk dengan di depannya meja kayu berbentuk persegi panjang. Yang lebih mencengangkan lagi adalah elektronik yang terpajang di atas sebuah meja panjang di hadapannya.
Sebuah televisi layar datar dengan ukuran yang entah Alexa tidak sendiri tidak tahu tipe berapa. Yang dia kira, tubuhnya mungkin bisa saja masuk ke dalam benda kotak itu.
Meski keluarga Alexa bukanlah dari golongan keluarga menengah ke bawah. Tapi pemandangan di depannya membuat dia berdecak kagum sekaligus heran. Mungkin jika ada balon penerjemah di atas kepala Alexa, pastilah tertulis sebuah pertanyaan besar "Bagaimana bisa seorang Angga menyewa kosan yang begitu mewah. Lalu bagaimana bisa sebuah rumah yang mewah dikatakan kosan".
Angga menyalakan televisi dan memasukkan beberapa compact disk ke dalam dvd player.
"Kamu tunggu di sini dulu. Aku akan mengambil camilan di dapur."
Alexa hanya mengangguk sekilas, matanya masih terpaku pada pemandangan di depannya.
Tak lama kemudian, Angga membawa beberapa makanan ringan dan minuman kaleng.
"Aku hanya punya ini," ujar Angga sambil meletakkan camilan ke atas meja.
"Kamu ... bohong ya sama aku?"
Angga menoleh. "Kenapa?" tanya Angga bingung.