"Astaga! Apa yang terjadi?! Mama kamu kenapa?"
Seruntutan pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut Angga setibanya di depan rumah Alexa. Alexa yang sejak tadi mondar mandir di ruang tamu menunggu kedatangan Angga langsung saja berhambur mendekap tubuh Angga. Sebuah pelukan kelegaan langsung menyergap hati Alexa tatkala melihat wajah Angga yang menyembul dari balik pintu rumah.
Angga mengusap lembut punggung Alexa. Dia mencoba menyalurkan energi ketenangan pada Alexa.
"Kamu harus tenang. Kita harus segera membawa mamamu ke rumah sakit sekarang juga," ujar Angga setelah pelukan Alexa mengendur dan Alexa sudah bisa diajak berkomunikasi.
"Tapi … "
Alexa meragu. Bagaimana dia membawa ibunya ke rumah sakit. Pikirannya kalut sampai-sampai dai tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Kamu tenang saja, tadi aku ke sini menggunakan mobil ayahku. Ayo sekarang kita bawa mamamu ke rumah sakit. Kita tidak tahu apa yang menyebabkan mamamu tiba-tiba kejang," ujar Angga seolah mengerti arti tatapan ragu di mata Alexa.
Setelah tadi ibunya mengalami kejang yang mengerikan –setidaknya itu yang di pikiran Alexa—ibunya sudah kembali tenang dan tertidur. Tapi Alexa mash belum yakin dengan keadaan ibunya. Maka dengan segenap keberanian, Alexa menuruti ucapan Angga. Merekapun membawa ibu Alexa ke rumah sakit terdekat.
***
"Kamu harus tenang. Sekarang mamamu sedang ditangani dokter. Jangan takut, ya. Aku akan ada di sini terus menemani kamu," ujar Angga tulus.
Alexa mengangguk lemah. Pikiranya bercampur aduk. Angan-angan negatif mengusik pikirannya. Bayangan saat ayahnya meninggalkannya tiba-tiba saja seolah tergambar di matanya. Belum lagi, pikiran tentang Ben. Bagaimana nanti, jika Ben pulang ke rumah dan mendapati rumah dalam keadaan kosong.
Sedetik kemudian dia terdistraksi oleh pergerakan di bawah sana. Sentuhan lembut tangan Angga membuat Alexa teralihkan dari bayangan-bayangan ngeri tentang kematian.
Angga menggenggam tangan Alexa yang tergeletak lemas di atas pahanya.
"Jangan terlalu menghawatirkan mamamu. Beliau wanita yang kuat, pasti bisa melewati ini semua. Kamu juga harus yakin pada dirimu sendiri bahwa mamamu pasti sehat kembali."
Ucapan Angga bagai bongkahan es yang meleleh di relung hati Alexa. Sejuk dan nyaman.
"Terima kasih Ngga ... Kamu selalu ada buatku. Kamu memang sahabat terbaikku."
Angga tersenyum getir mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Alexa. Bagaimana tidak, ada nyeri di dada. Hatinya bagai teriris sembilu mendengar kata "sahabat" yang terlontar dari mulut gadis pujaan hatinya.
Entah sudah berapa purnama Angga menunggu keberaniannya mencuat hingga mampu mengucapkan kata cinta pada Alexa. Namun sayangnya, momen itu tidak pernah singgah dalam hidup Angga. Enam tahun sudah mulutnya terkunci rapat. Dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya saat bersama Alexa sejak masih duduk di bangku SMA.
"Kamu tidak perlu berterima kasih. Bukankah itulah fungsinya sahabat?" sahut Angga sambil tersenyum hambar.
Sebuah senyuman palsu yang sudah mahir dia lakukan sejak enam tahun silam. Sunyi senyap lalu menyelimuti keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Nona Alexa!"
Sebuah panggilan memecah kesunyian di antara mereka.
"Ya, saya!" Alexa buru-buru bangkit dari duduknya, disusul kemudian Angga yang berdiri.
Alexa bergegas mendekati seorang wanita berpakaian serba putih. Pakaian wanita itu layaknya seorang suster rumah sakit. Alexa meyakinkan dirinya bahwa yang memanggil dirinya pasti suster yang menangani mamanya.
"Mari silakan masuk, dokter ingin berbicara dengan anda," ujar perawat itu sambil mempersilakan Alexa masuk ke dalam sebuah ruangan.
Alexa tidak lantas masuk ke dalam ruangan, sesaat kepalanya menoleh ke arah Angga yang tengah berdiri tak jauh dari tempat dia berdiri.
"Aku akan menunggumu di sini." Seolah mengerti arti tatapan Alexa, Angga membiarkan Alexa masuk bersama suster itu.
"Silakan duduk nona Alexa."
Alexa menuruti perintah perawat. Di hadapannya --hanya meja yang menjadi pembatas dirinya dan seorang wanita cantik. Alexa meyakini wanita itu adalah dokter yang menangani ibunya. Dokter Rifda.
"Nyonya Renata mengalami kejang pasca pemberian obat oleh anda."
Tanpa basa basi perkenalan, dokter itu langsung berbicara inti dari gejala ibu Alexa.
"Saat ini, ibu anda sedang dalam pengaruh obat bius karena sesaat setelah masuk ruangan UGD, ibu anda kembali mengalami kejang."
Wajah Alexa menegang. Nampak di wajahnya gurat khawatir tentang keadaan ibunya.
"Kami akan melakukan observasi lebih lanjut mengenai keadaan ibu anda. Apakah ada surat atau catatan riwayat terhadap kondisi ibu anda sebelum masuk ke rumah sakit ini?"
Alexa mendengarkan dengan seksama penuturan dokter cantik itu. Ia lalu teringat dengan catatan yang diberikan oleh dokter Agung. Ia mengeluarkan secarik kertas daro dalm ranselnya. Sekilas Alexa membaca isi tulisannya.
"Ini dokter."
Dokter Rifda membacanya. Dua alisnya berkerut sekilas lalu kembali rapi ke bentuk semula.
"Aku mengerti sekarang. Nyonya Renata mengalami gejala dari seorang pecandu obat-obatan terlarang."
Alexa tercengang. Pikiran buruk langsung saja tertuju pada resep dkter Agung. Jangan-jangan dokter Agung memberikan resep obat yang membuat ibunya kejang.
"Maksud dokter, ibu saya keracunan?"
"Bukan. Efek samping ini baru terlihat karena kontradiksi dari obat yang diresepkan oleh dokter Agung."
Alexa semakin tidak mengerti dengan ucapan dokter itu.
"Saya mengerti kecemasan anda, noa Alexa. Ini hanya dugaan sementara saya saja. Karena itulah, saya meminta Nona Alexa meminta rujukan dari dokter Agung agar saya bisa melanjutkan observasi saya."
Alexa hanya manggut-manggut mendengarkan penuturan dokter Rifda. Pikiran kalut membendung konsentrasinya agar berpusat pada kata "bersedia" saat dokter Rifda meminta persetujuannya agar ibunya dirawat inap.
"Te-terima kasih dokter. Saya mohon, selamatkan ibu saya," ujar Alexa terbata-bata.
"Kami di sini berusaha semaksimal mungkin. Nona Alexa bisa sedikit lebih tenang sekarang. Nyonya Renata dalam keadaan stabil, tapi kami mohon maaf, karena nyonya Renata sudah kami pindahkan ke dalam ruangan isolasi. Jadi, nona Alexa belum bisa menemuinya."
Satu bulir air mata menetes ke pipi mulusnya. Hati Alexa bagai tersayat. Langkahnya semakin gontai meninggalkan ruangan beraroma khas itu.
"Bagaimana? Dokter bilang apa? Ibumu tidak apa-apa 'kan?"
Angga tergopoh-gopoh segera menghampiri Alexa, saat matanya sudah menangkap Alexa yang keluar dari ruangan. Bukannya mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Sebuah pelukan kesedihan bercampur keputusasaan menerjang tubuhnya. Alexa menangis sejadinya di dada Angga.
Tak ada yang bisa Angga lakukan selain membalas pelukannya dan mengusap lembut punggung Alexa. Ia membiarkan Alexa menumpahkan semua beban hatinya, bisa dipastikan dengan rembesan air mata pada kemeja coklat yang ia kenakan.
Setelah pelukan Alexa mengendur, Angga membimbingnya duduk di bangku besi yang ia duduki tadi. Ia mengusap sedikit sisa air mata yang masih membasai pipi Alexa.
"Mama ada di ruang isolasi ... "
Tangis Alexa kembali tumpah. Angga dengan sigap memeluk tubuh Alexa kembali. Hatinya seperti teriris sembilu melihat pujaan hatinya menangis meluapkan kesedihan.
"Aku akan selalu ada di sini untukmu ... " desis Angga.