Chereads / Jodoh yang Disimpan / Chapter 2 - Dugaan

Chapter 2 - Dugaan

"Haish Alexa ... kenapa kamu seperti kambing congek?" Alexa merutuki diri sendiri sesaat setelah tersadar dari lamunan.

Seharusnya dia tengah terburu-buru pulang, tapi malah terpana dengan ketampanan lelaki tadi. Alexa bukan sosok yang peduli dengan romantika cinta anak kuliahan. Dia bahkan cenderung tidak peduli dengan teman-temannya di kampus. Satu-satunya teman di kampus --itupun laki-laki-- adalah Angga. Baginya, kuliah hanyalah tempat dia mengejar cita-citanya agar bisa segera terlepas dari kungkungan Ben ... ayah tirinya.

"Aku harus cepat pulang, ini sudah waktunya mama minum obat," gumamnya lalu melebarkan langkahnya cepat.

Dengan tergesa ia memasukkan ponsel dalam tas ransel setelah sebelumnya ia melirik notif yang tampil di layar ponselnya. Sebuah pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Angga. Alexa sedikit berlari kecil saat ternyata rintik hujan sudah menantinya keluar dari rumah sakit. Dia berlari menghindari tetesan air hujan menuju halte terdekat.

***

Alexa sampai di rumah tepat pukul satu siang. Setidaknya itu yang dia lihat sekilas di jam dinding ruang tamunya. Dia berjalan sangat hati-hati, bahkan langkahnya pun dia buat seringan mungkin bagai menapaki awan. Tentu saja alasan satu-satunya adalah agar dia tidak bertemu dengan orang yang sangat dia hindari.

"Dari mana saja kamu?!"

Alexa sedikit berjingkat mendengar suara ketus dari belakang telinganya. Dengan kecepatan kilat, dia menarik tubuhnya dan menjauhi sumber suara. Bulu kuduknya mendadak meremang melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya --Ben.

"Tuli, ya?! Darimana saja kamu?! Kamu tidak lihat, sekarang sudah jam berapa? Mana makan siangku?!"

"A-aku ... " Lidah Alexa hampir saja meluncurkan kalimat jawaban, beruntung otak cerdasnya langsung menjegal keinginan lidahnya.

"A-aku ada kuliah siang ini," kilah Alexa gugup. Dia sengaja berbohong. Jika dia berkata jujur bahwa dirinya dari rumah sakit, sudah dapat dipastikan tangan kekar lelaki itu akan melayang ke pipi Alexa.

Ben sangat tidak suka jika Alexa terlambat pulang karena alasan lain. Satu-satunya alasan yang bisa dia terima --meski berat hati-- adalah alasan kuliah.

"Kuliah katamu?!" Laki-laki itu menaikkan satu alisnya. "Sudahi saja kuliah bodohmu itu! Lebih baik kamu bekerja untukku di klub malam!" sambungnya.

Seketika mata Alexa berkilat. Dia sangat membenci kalimat itu. Gemuruh di hatinya seolah hampir saja menggempur pertahanan dinding dadanya tiap kali laki-laki brengsek itu mengungkitnya.

"Daripada kamu selalu menghabiskan uang hasil peninggalan ayahmu dengan belajar yang tidak penting, lebih baik kamu bekerja denganku. Kamu mempuyai sesuatu yang sangat diinginkan para hidung belang. Mereka pasti dengan senang hati menggelontorkan uang yang banyak untukmu. Tentu saja untukku juga sebagai orang yang menjagamu," tuturnya dengan senyum khas laki-laki hidung belang.

Alexa melangkah mundur ketika tangan Ben hendak meraih pipinya. Alexa sengaja tak menepis ataupun meludahi wajah laki-laki itu seperti biasanya tapi ia memilih bungkam. Bukan takut yang dirasakan Alexa saat ini. Dia sedang menjaga emosinya agar tidak meledak. Dia tau ada yang lebih penting daripada melawan Ben sekarang.

"Ma-maaf, aku harus menemui mama. Sudah jadwalnya minum obat," kata Alexa sambil mencoba berjalan meninggalkan laki-laki itu. Beruntung, ternyata tubuh Alexa tidak dicekal sama sekali oleh tangan kekarnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang penuh perjuangan jika sudah berhadapan dengan laki-laki itu.

Alexa bergegas masuk ke dalam kamar ibunya. Membuka tuas pintu dan langsung masuk lalu menutup pintu dengan cepat.

"Haish ... hampir saja aku ketahuan," gumamnya sambil mengelus dada.

"Ketahuan apa, Al?"

Suara lembut nan lemah menyapa telinganya.

"Ah, mama. Bukan apa-apa kok. Maaf, Al terlambat pulang. Mama pasti lama menunggu Al, ya?" sahut Alexa sambil mendekati mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang.

Wanita itu tersenyum lembut sambil menggeleng lemah menyahuti pertanyaan anak semata wayangnya.

Alexa meraih tangan ringkih wanita berparas ayu di hadapannya. Kecantikan wanita itu tak luntur meski usia dan penyakit menggerogoti tubuhnya terlihat dari guratan proporsi wajah khas wanita Asia.

"Mama sudah makan, ya?" tanya Alexa menegaskan hasil penglihatannya.

Ada semangkuk sup yang masih tersisa kuahnya dan piring kosong. Entah kenapa piring itu tidak meninggalkan satu butir nasi sisa sedikitpun.

"Mama sudah makan sup pemberian ayahmu ... "

"Dia bukan ayahku!" sela Alexa kesal.

"Iya sayang ... sup itu pemberian Ben," ucap ibunya lembut.

Alexa selalu meradang jika ibunya menyebut Ben adalah ayahnya. Meski begitu, dia tidak memberitahukan alasan kebencian sesungguhnya pada ibunya. Alexa hanya beralasan bahwa dia belum dapat menerima Ben sebagai pengganti ayah kandungnya.

"Kalau begitu, mama sekarang minum obat. Tadi Al sudah menebus obat di apotik, tadi siang" ujar Alexa sambil mengeluarkan bungkusn plastik berisi obat-obatan yang dia dapat dari dokter Agung.

Dia berharap obat yang diresepkan dokter Agung dapat memulihkan kesehatan ibunya.

"Ini apa ma?" tanya Alexa saat matanya menangkap benda kecil yang tergeletak di samping mangkuk sup.

"Oh ... itu permen kesukaan mama," sahut ibunya.

'Sejak kapan mama mempunyai permen karet favorit?' batin Alexa.

Alexa meraih dan mengamati sebentar. Memang bentuknya mirip seperti permen, lebih tepatnya permen karet. Dia mengendus aroma permen itu. Aroma strawbery menguar dari permen itu. Tidak ada yang janggal.

"Kemarikan permen itu, Al. Mama ingin memakannya sekarang," titah ibunya.

"E-eh, mama ... aku boleh minta permen ini enggak? Aku juga mau merasakan permen karet ini," kilah Alexa.

Meski dari penampakan permen itu hanyalah permen biasa, tapi hati Alexa tidak bisa tenang memberikan ibunya mengonsumsi benda itu.

"Loh, kamu juga mau? Kalau begitu, nanti mama minta lagi pada Ben. Tapi, untuk yang ini, mama mau memakannya sekarang," ujarnya sambil berusaha meraih permen karet itu dari tangan Alexa.

Alexa menjauhkan tangannya dari jangkauan tangan ibunya.

"Ma, untuk siang ini, mama jangan makan permen ini dulu ya. Al akan simpan permen ini untuk mama makan sore hari. Boleh 'kan ma? Sekali saja, Al mohon ... " pinta Alexa memelas.

"Tapi, Ben bilang, permen itu bisa membuat mama lebih bahagia. Kalau mama tidak memakannya siang ini, mama nanti bagaimana, sayang?" tanyanya tidak kalah memelas dari wajah Alexa.

Alexa memutar otak agar mamanya tidak memakan permen karet itu. Jika dugaannya benar, permen karet itu adalah penyebab ibunya yang selalu berhalusinasi dan menunjukkan gejala ketidakwarasan seperti yang dikatakan dokter Agung. Dia harus membawa permen karet itu pada dokter Agung.

"Baiklah, kalau mama memintanya, Al akan berikan. Tapi, Al punya permintaan."

Wajah ibunya seketika bingung setelah tadi binar matanya menunjukkan rasa senang karena Alexa akan memberikan kembali permen kesukaannya.

"Al, mau bolos kuliah mulai besok. Al mau menemani mama di rumah. Al tidak mau masuk kuliah lagi.

"Loh kok begitu? Kamu tidak boleh berhenti kuliah. 'Kan almarhum papa sudah berwasiat agar kamu menyelesaikan kuliahmu hingga menjadi dokter yang sukses. Bukankah kamu sendiri yang bertekad untuk menjadi dokter agar bisa mengobati mama?"

Sejenak pikiran Alexa mengingat sosok ayah yang sangat dia cintai. Seorang ayah yang selalu mendukung cita-cita semasa kecilnya ... menjadi dokter. Hingga saat ini, Alexa mengenyam bangku kuliah di semester akhir, itupun karena dukungan dari ayahnya baik dari segi pengetahuan dan perhatian maupun materi. Meski sudah meninggal, dukungan ayahnya masih mengalir deras ada Alexa yakni harta yang diwariskan untuk dirinya berupa asuransi pendidikan.