Atas kepiawaian Alexa bersandiwara merajuk mogok kuliah, akhirnya permen karet itu berhasil dia pertahankan. Ibunya dengan berat hati membiarkan Alexa menyimpan benda merah jambu yang biasa dia konsumsi.
"Sekarang, mama istirahat. Alexa akan temani mama di sini," ujar Alexa sambil merebahkan tubuh ibunya ke atas bantal empuk.
Ada alasan tertentu Alexa menemani ibunya tidur siang. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri reaksi dari tubuh ibunya setelah meminum resep dari dokter Agung.
"Al ... " panggil ibunya lembut.
Alexa yang baru saja mengambil ponsel dari dalam tas dan mulai membuka layar lonsel seketika menoleh.
"Ya, ma? Mama perlu apa? Mau minum?" tanya Alexa dengan posisi sigap mengambil gelas yang ada di sampingnya.
"Bukan, mama tidak mau minum. Mama mau tanya sesuatu sama kamu."
Alexa meletakkan kembali gelas yang tadi apir dia raih.
"Mau tanya apa, ma?"
"Bagaimana dengan kuliahmu? Uang dari papa masih cukup 'kan?" tanya ibunya.
"Lancar ma. Keuangan sudah dibayarkan lunas," jawab Alexa.
Alexa tidak berbohong saat mengucapkan keuangan lunas. Dia tidak pernah kesulitan periha keuangan kuliahnya. Bukan, bukan karena uang yang menjadi warisan papanya melimpah –bahkan terhitung masih utuh jika saja Alexa tidak menggunakannya untuk biaya konsultasi dengan dokter Agung tadi pagi.
Alexa merupakan mahasiswi yang memiliki nilai akademik yang memuaskan di kelasnya. Tidak hanya di kelasnya, Alexa memiliki nilai tertinggi di jurusannya. Maka tidak heran jika Alexa menjadi kesayangan beberapa dosen di beberapa mata kuliahnya.
Alexa sengaja mengambil jurusan yang notabenenya adalah kaum menengah e atas. Bukan hanya dalam hal keuangan mlainkan dari segi kemampuan cara berpikir. Menjadi seorang dokter merupakan salah satu impiannya sejak Alexa masih duduk di bangku sekolah dasar. Di tamba lagi, kejadian yang menimpa papanyalah yang menjadikan profesi dokter merupakan hal wajib bagidirinya.
Papa Alexa meninggal karena mengidap penyakit kanker saat Alexa masih berusia tujuh belas tahun. Sungguh ironi, di mana usia saat itu adalah usia yang sangat ditunggu oleh sebagian anak remaja sebagai sweet seventeen. Tapi tidak bagi Alexa. Papa Alexa meninggal tepat saat Alexa tengah merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Karena hal itulah salah satu alasan Alexa tidak pernah bersosialisasi lagi dengan teman-teman sebayanya. Dia fokus pada cita-citanya menjadi dokter agar tidak ada lagi yang pergi dari hidupnya. Dengan begitu, dia bisa menyelamatkan orang-orang yang dia cintai.
"Syukurlah kalau begitu. Sebentar lagi kamu akan lulus dan bergelar menjadi dokter, 'kan?" ucap ibunya.
Alexa terdiam. Dia tidak tahu jawaban dari pertanyaan ibunya. Entah dia bisa menyelesaikan kuliahnya atau tidak, dia juga tidak tahu. Meski saat ini Alexa tengah mempersiapkan pengajuan proposal skripsi, pikirannya tidak bisa dia pusatkan pada hal itu. Tentu saja apalagi kalau bukan informasi yang dibeberkan dokter Agung, juga perlakuan ayah tirinya yang terus mengganggu hidupnya.
"Mama tenang saja. Tidak usah terlalu memikirkan kuliah Al. Sekarang, mama istirahat supaya cepat sehat dan kita bisa jalan-jalan lagi seperti dulu."
Alexa mengecup tangan ibunya takzim. Dia sengaja tidak memberitahukan beban pikirannya agar ibunya tidak ikut larut dalam bebannya.
Setelah menyelimuti tubuh ibunya. Alexa mengambil ponsel dari ta yang belum sempat dia lihat.
"Astaga Angga! Panggilan tidak terjawab darimu banyak sekali, belum lagi pesan yang beruntun muncul di whatsapp."
Beberapa pesan masuk ke whatsapp-nya. Pesan yang pertama kali dia buka adalah pesan dari Angga. Pertanyaan yang Hampir sama pada setiap pesan dari Angga adalah menanyakan keberadaan Alexa. Baru saja Alexa hendak mengetik pesan dari Angga, layar ponselnya langsung terhalangi oleh panggilan masuk. Siapa lagi kalau bukan dari Angga.
"Iya maaf. Tadi aku gak sempat buka ponsel. Aku dari … " Ucapan Alexa menggantung. Dia melirik sisi kirinya.
"Nanti aku jawab via chat saja ya."
klik! Sambungan telpon terputus.
Alexa lalu mengetikkan sederet pesan yang menjelaskan kenapa dirinya membolos kuliah pagi tadi pada Angga. Dia juga menanyakan apakah ada tugas dari mata kuliah yang dia lewatkan tadi pagi. Beruntung ternyata, tadi pagi dosennya berhalangan hadir.
"Syukurlah aku tidak melewatkan satu mata kuliahpun," gumam Alexa.
Setelah selesai mengirimkan pesan yang menurutnya penting pada Angga, Alexa kemudian membereskan perkakas bekas makan ibunya. Rasa lapar yang tadi menggerogoti perutnya tidak dia hiraukan. Dia cukup bisa menahan itu hingga dia yakin ayah tirinya sudah pergi dari rumah.
"Sepuluh menit lagi. Aku harus sabar sedikit lagi," desis Alexa saat melihat jam di ponselnya.
Alexa sudah sangat hafal dengan jadwal ayah tirinya itu. Jika sudah lewat pukul dua siang, dia pasti akan pergi dari rumah. Entah Ben pergi ke mana, Alexa tidak terlalu peduli. Setidaknya di jam-jam itu, Alexa bisa dengan leluasa menguasai rumahnya sendiri. Menyedihkan bukan? Terpenjara di rumah miliknya sendiri.
Sekali lagi, ponselnya berbunyi. Bukan suara panggilan masuk tapi notif pesan yang masuk.
"Haish ... Angga, apa kamu tidak bosan mengirimiku pesan," rutuk Alexa.
Matanya membulat saat melihat pesan yang masuk bukanlah dari Angga. Sebuah nomor baru yang tentu saja tidak ada di daftar kontak ponselnya.
"Yes!"
Seketika Alexa memutup mulutnya. Dia tidak ingin ibunya terbangun gara-gara suara girang darinya. Bagaimana tidak. Pesan yang baru saja dia baca adalah pesan dari pihak kapus yang menyatakan bahwa proposal skripsi yang dia ajukan diterima dan bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya. Di pesan itu juga tertera nama dosen yang menjadi pembimbingnya selama penyusunan skipsi berlangsung.
"Aku harus memberitahu Angga. Dia juga pasti sudah menerima kabar pengajuan proposalnya. Semoga saja, dosen pembimbingnya sama denganku," gumamnya sambil menekan tuts di ponselnya.
"Al ... " suara lemah menyadarkan Aexa.
"Ya, ma? Mama kenapa?"
Wajah Alexa seketika panik. Keringat mengucur dari dahi ibunya. Nafasnya tersengal.
"Mama kenapa?!"
Perlahan dan semakin lama tubu ibunya berguncang. Erangan demi erangan mencuat dari mulut ibunya. Alexa panik luar biasa. Dia berusaha menenangkan ibunya tapi tidak bisa. Cengkeraman tangan ibunya terlalu kuat pada lengannya. Urat-urat kasar berbaris tidak beraturan di kulit leher ibunya. Cukup lama keadaan ibunya seperti itu hingga akhirnya tubuh ibunya melentur lalu tak sadarkan diri. Alexa memeluk ibunya erat. Otaknya seolah tumpul melihat ibunya seolah meregang nyawa. Dalam hatinya dia berdoa semoga Tuhan tidak mengambil ibunya dengan sekarang juga.
Alexa buru-buru menghubungi Angga. Dia tidak mempunyai orang lain yang bisa dia mintai tolong. Hanya Angga yang selalu ada untuknya. Dia harus menyelamatkan ibunya.
"Tolong ... tolong aku Ngga ... "
Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Alexa di tengah derai air mata yang membanjiri pipinya. Dia tidak kuasa menahan tangis yang membuncah saat melihat ibunya tergolek lemah tidak berdaya.