Bagas bangun keesokan paginya dan membantu ibunya seperti biasa. Setelah itu berangkat ke sekolah. Waktu istirahat pun tiba, ada sebuah tangan menariknya kebelakang sekolah dan itu adalah Deni.
"Aku mau ngomong sama kamu !" katanya sambil tajam menatap Bagas.
"Kamu mau ngomong apa ?" tanya Bagas agak ketakutan melihat sikapnya tak seperti biasa.
"Gas ... kamu teh ... homo ya ?" katanya sambil mendorong tubuhnya kedinding belakang sekolah yang sepi, wajah Deni sangat dekat sehingga nafasnya bisa di rasakan Bagas, dia pun tertegun.
"Apa maksud kamu teh Deni ?" elak Bagas, dia menelan ludah dan tubuhnya berkeringat dingin seperti pencuri yang ketahuan, dadanya berdebar apa mungkin Deni tahu? yang dilakukannya dengan ... Beni? mukanya berubah merah.
"Jangan bohong! aku tahu kamu lakukan sama Beni di sungai !" katanya, dada Bagas berdebar ternyata benar, kepalanya menunduk.
"E ...engga kok !" jawab Bagas gugup, di wajah Deni terlihat senyum seringai.
"Jangan bohong, dosa! tapi tidak apa-apa, aku tidak bilang sama yang lain, tapi ..." Deni membisikan sesuatu di telinga Bagas dan mukanya langsung berubah kemudian menatap Deni tertegun.
"Aku tunggu nanti pulang sekolah ya ...!" bisiknya sambil mencium pipi Bagas dan pergi, tubuh Bagas lemas. Sejak kejadian bersama Beni, ia merasa bersalah dan berdosa, apa yang terjadi seharusnya tidak boleh di lakukan, apa lagi itu sesama lelaki. Dia merasa selalu kepikiran dan teringat apa yang terjadi.
"Gas, nanti jadi main ke kebun ?" tanya Sandi temannya ketika pulang sekolah tiba, dia memang berjanji mengajak ke sana.
"Maaf San, aku tidak bisa! aku teh mau nagih dagangan sama ... membantu emak !" elak Bagas sambil memalingkan muka, ketika Sandi menatapnya heran.
"Oh, ya udah! aku duluan ya !" Sandi pun pergi dengan melihat kegugupan Bagas, tapi tidak diperdulikan.
Setelah mengambil uang dagangan dari kantin dia menuju jalanan setapak yang berada di samping sekolahnya, jalan itu menyelusuri petak sawah dan kebun yang termasuk sepi disiang hari itu, tak lama dia melihat sosok yang di kenalnya yaitu Deni.
Deni memberi tanda untuk mengikutinya, hingga dia tiba di sebuah pondok terpencil, Bagas terkejut ternyata disana ada juga Beni dan dua orang teman lain yang sedang berdiri menatapnya aneh.
"Ada apa ini ?" tanya Bagas ketakutan, perasaannya tidak enak. Deni tersenyum seringai jahat, dia mendekat dan menarik tubuh Bagas dengan paksa untuk masuk ke dalam pondok, dia berontak tapi yang lain hanya diam dan kemudian membantunya.
"Buka baju kamu !" perintahnya sambil mendorong Bagas ke tanah.
"Engga mau, kalian mau apa ?" tanya Bagas ketakutan air matanya mulai meleleh.
"Kamu suka ini kan ?" tanya Beni, membuka celananya dan memperlihatkan sesuatu benda berdiri tegak. Bagas tertegun.
"Dan ternyata kamu emang banci Gas haha ...!" Deni tertawa mengejek dan memberi tanda kepada yang lain untuk mempreteli pakaian Bagas, remaja itu meronta-ronta apalagi tubuhnya kemudian di balik menjadi tengkurap berbaring di tanah yang kotor kedua tangannya di pegang dan dia merasa ada yang menindihnya. Tubuhnya lemas, tiba-tiba dia menjerit ketika ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Sakit ...tolong! jangan ...!" rontanya, dia menjerit tapi di bukam oleh tangan Deni, ternyata Beni yang sedang menindihnya nafasnya memburu dan mulai bergerak secara kasar di atas tubuhnya, tidak perduli teriakan kesakitan dan juga tangisan Bagas.
Dan pada hari itu adalah yang tak terlupakan bagi Bagas rasa sakit, marah dan remuk hatinya serta tak menyangka mereka tega melakukan itu kepadanya yang hancur karena perbuatan teman-temannya, tubuhnya lemas, ada darah yang menetes di sela pahanya, sementara yang lain sudah pergi meninggalkan dirinya begitu saja. Hanya ada tangis yang meratap terdengar di pondok itu yang kini sunyi.
"Gas ... Bagas ... !" tiba-tiba terdengar suara panggilan dari luar. Pintu pondok kayu pun terbuka.
"Astaga, Bagas kamu teh kunaon ?" Sandi dan dua orang lainnya terkejut.
"Jangan-jangan ... di hajar Deni sama Beni? barusan aku lihat mereka pergi ?" tanya Iwan.
"Sttt ... bukan, coba lihat Bagas engga pake celana? dan ada darah !" bisik Sandi, semua terdiam. Bagas masih menangis. Robi pun mendekat.
"Gas ... kita pulang ya ?" tanyanya kasihan. Yang lain hanya menatap.
"Kamu teh kenapa Gas ?" tanya Sandi serta yang lainnya. Bagas hanya menunduk tak berani.
"Deni sama Beni yang melakukan semua ini ?" tanya Robi, Bagas hanya mengangguk. Mereka tak percaya, akhirnya Bagas di bawa kepancuran untuk membersihkan diri. Sandi mengambilkan dedaunan untuk mengobati rasa sakit, Kakeknya adalah tukang pijit terkenal di desa dan sering membuat obat ramuan khusus dan dia selalu membantnya. Sandi menggiling dedaudan obat sampai halus. Kemudian di peras sehingga airnya didapat.
"Kamu nungging Gas !" perintah Sandi. Bagas terdiam tapi akhirnya menurut mukanya merah karena malu.
"Tahan ya Gas, bakalan perih tapi tak lama kok !" katanya lagi, yang lain hanya diam menatap apa yang dilakukan Sandi. Dia mengambil air perasan ramuan yang agak kental itu dengan ujung jarinya dan tanpa rasa jijik memasukan ke dalam a**s Bagas. Remaja tampan itu meringis sakit dan perih ketika obat itu menyentuh yang luka. Tak lama Bagas merasa agak enakan tak merasa sakit tapi perih masih ada walau sedikit.
"Terima kasih, semuanya ya " ucap Bagas pelan agak pucat. Semua mengangguk dan mengajaknya pulang.
-------------------
Sesampainya dirumah, Bagas tidak menemukan kedua orang tuanya. Kunci rumah di tetangganya, katanya keluar sebentar. Teman-temannya pamit pulang dan Bagas mengangguk, tubuhnya lelah dan tertidur lelap.
"Gas, bangun sudah magrib! astafirullah kamu kenapa Gas? badan kamu teh panas begini ?" Emaknya terkejut ketika menyentuh kening putra tersayang yang panas, Bagas hanya bergumam tak jelas.
Selama seminggu Bagas tidak masuk sekolah, semua temannya bertanya ada apa dengan Bagas. Mereka mengira sakit biasa. Hanya Sandi dan lainnya, serta Deni. Kedua orang tua Bagas sendiri terkejut bukan main ketika akhirnya tahu tentang kondisi putranya itu, Bagas hanya diam tidak memberitahu siapa pelakunya. Kedua orang tuanya mengerti tak lama Bapanya memutuskan memasukan Bagas ke pasantren untuk pemulihan dan meningkatkan spiritual putranya.
Teman-temannya tahu tapi tak bisa berbuat apa-apa, mungkin itu yang terbaik bagi Bagas. Tak terasa waktu terus berlalu, Bagas sudah berusia 16 tahun itu artinya 2 tahun lebih di pasantren yang berada di desa yang berbeda letaknya 2 jam dari kampungnya.
Bagas semakin tampan, berkumis tipis seperti remaja umunya. Berpeci kemeja putih dan bersarung sangat alim dan pendiam. Selama di pasantren dia menjadi santri yang banyak di puji, beberapa kali menang hafiz al Qur'an baik antar kecamatan dan kotamadya. Dan dipersiapkan untuk menjadi ustad oleh guru di pasantrennya. Tapi bagi Bagas itu tak membuatnya bahagia, masa lalunya yang membuat dia tak tenang. Bagas menjadi pendiam tak banyak bergaul lagi sejak itu. Apalagi semua perempuan di pasantren begitu terpesona akan ketampanannya.
Tapi suatu hari hidup Bagas akan berubah, ketika tanpa di duga ada seseorang datang ke kampung halamannya ...
Bersambung ....