Suatu hari Bagas pulang ke rumah, dia turun dari angkot, di punggungnya tersampir tas ransel yang sudah agak pudar warnanya karena tas ransel itu sudah di milikinya sejak di SMP. Sebenarnya keluarganya cukup mampu dan tidak kekurangan tapi Bagas selalu menolak di belikan yang baru. Toh pulang atau kembali tak banyak yang di bawa. Karena pasantrennya tidaklah jauh masih di daerah yang sama dan letaknya pun sama di kaki gunung jadi sudah biasa.
Bagas masih tetap belajar di sekolah umum, dan itu di bolehkan. Selama di pasantren dia tinggal di pondok panjang khusus lelaki yang berisi 20 orang, tidur berdempetan hanya di batasi sebuah tirai saja. Selama di pasantren walau banyak teman tapi hatinya tetap tidaklah tenang.
Bagas, tidak marah hanya kecewa kepada teman-temannya yang tega berbuat itu kepadanya, selama ini kejadian masa lalu tersebut selalu menghantui baik di pikirannya atau dalam mimpinya. Bagas selalu menghindar bila mandi bareng bersama teman-temannya. Bagas tak menampik perasaan itu masih ada dalam dirinya, dia menyadari tak akan hilang sampai kapanpun walau ada sakit dalam hatinya. Dia tahu itu hanya nafsu atau seksual saja, itulah kesimpulan yang di dapat dalam dua tahun ini.
"Gas !" tiba-tiba ada yang memanggilnya di berhenti berjalan dan melihat siapa d,a ternyata Sandi teman dan sekaligus sahabat terbaiknya yang selama ini selalu ada dan mendampinginya dalam melewati masa sulit yang dihadapinya, sebenarnya bukan hanya dia tapi yang lainnya juga.
"San !" jawabnya tersenyum, sambil menatap pemuda termasuk tampan dan bertubuh tegap, karena selalu membantu ayahnya di ladang, selain memjadi tukang pijit menggantikan kakeknya yang meninggal setahun lalu.
"Baru balik kamu teh ?" tanyanya sambil merangkul pundak Bagas, yang tak berubah tetap langsing hanya sekarang sudah atletis tubuhnya, karena di pasantren ada banyak kegiatan yang membutuhkan fisik juga, dari mulai bebersih, olah raga, hingga berkebun, walau begitu kulitnya tetap kulit langsat tidak berubah.
"Iya, biasalah !" ucap Bagas, Sandi tersenyum, dia selalu bertanya tentang kehidupannya di pasantren, satu hal Sandi dan lainnya akhirnya tahu rasa berbeda dalam dirinya, tapi mereka bisa menerimanya dengan baik. Sandi serta dua temannya adalah lelaki normal, kadang mereka selalu bercanda apa ada santri cewek yang cantik di pesantren. Bagas hanya tersenyum saja dengan hal itu, tapi dia menjawab jujur bahwa jarang bertemu, karena di sana cukup ketat peraturannya, hanya di waktu tertentu saja Santri perempuan dan laki-laki bertemu.
"Kamu dari mana San ?" tanya Bagas, sambil melirik ke arah tenannya.
"Dari sawah dan kebun, biasa lah! kebetulan ada panggilan untuk pijat Gas !" jawabnya.
"Oh, pantes! badan kamu teh bau asem !" canda Bagas. Sandi tiba-tiba memeluk erat tubuh Bagas.
"Dasar kamu Gas !" dia tertawa.
"Anjir San !" Bagas, mendorong pelan tubuh Sandi.
"Oh iya Gas, tadi aku lewat depan rumah kamu! sepertinya ada tamu Gas !" ujar Sandi, Bagas tertegun.
"Siapa San ?" tanya Bagas.
"Ya, tidak tahu! tapi kelihatannya orang kota Gas !" jawab Sandi. Bagas berhenti dan terdiam. Sandi menatap heran.
"Ada apa Gas ?" tanyanya.
"Ah, engga San! sepertinya itu ... kakek aku San ..." jawab Bagas pelan. Sandi terkejut.
"Wah, ternyata kamu punya kakek di kota Gas! asyik atuh !" Sandi tersenyum. Tapi ekpresi muka Bagas tidak senang atau bahagia.
"Kamu kenapa? kok engga senang kakek kamu datang ?" tanya heran. Bagas menghela nafas dan kemudian menceritakan semua rahasia keluarganya kepada Sandi. Sandi tertegun tak percaya.
Keluarga Raden Barata Kusuma, sangat terkenal di tatar Pasundan alias Bandung Jawa Barat. Mereka memiliki perkebunan teh yang sangat luas sejak jaman penjajahan Belanda dahulu, bukan hanya Teh tapi juga perkebunan Cengkih dan Karet yang jaman dahulu sangat berharga. Sekaligus sebagai bangsawan dan juga keturunan wedana sejak dahulu. Emak atau ibu Bagas adalah putri bungsu dari Raden Barata dari 5 orang putra dan putrinya. Amelia Putri namanya, berwajah cantik dan juga pintar lahir di tahun 70 an, membuat terpesona semua para pria. Sayang ayahnya punya peraturan ketat terhadap semua pria yang mendekatinya.
Di usia 19 tahun Amelia sudah di jodohkan dengan seseorang teman ayahnya, putra seorang pengusaha kaya dari Jakarta dan lulusan luar negeri. Amelia waktu itu masih mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dan sudah mempunyai tambatan hati yaitu Rahmat Sudrajat seorang mahasiswa penerima beasiswa di kampusnya, bertubuh tegap dan gagah. Memang tidak seganteng yang lain cenderung pendiam dan cool alias cuek, tapi justru itu yang di sukai Amelia dari pada lelaki playboy yang suka tebar pesona kesetiap perempuan. Dengan Rahmat dia merasa nyaman dan terlindungi karena selalu bersikap sopan tidak pernah berbuat macam-macam. Ketika pacaran pun hanya bergandengan tangan itu sudah cukup tidak lebih. Berkencan pun ke tempat wisata atau taman, maklum waktu jaman dahulu belum ada bioskop, mal atau Cafe. Bioskop ada tapi berbeda dengan sekarang.
Tempat hiburan mewah biasanya makan malam di hotel, atau ke klub malam. Rahmat tahu perbedaan status sosial antara dirinya dan juga Amelia. Awalnya terasa tidak pantas mereka pacaran karena dia hanya pemuda kampung sedangkan Amelia anak orang kaya, itu pun dengar dari teman-teman sekosnya. Menjadi mahasiswa bagi kedua orang tua Rahmat adalah pencapaian terbesar hidupnya. Tapi cinta merubah segalanya tak perduli apa pun itu.
Akhirnya hubungan itu di ketahui oleh Tuan Barata ayah Amelia, bisa di tebak tentu saja di tolak, dan dia menyadari itu. Tapi tidak bagi Amelia, dia tidak perduli dengan perjodohan itu. Di saat bersamaan Rahmat sedang bimbang antara melanjutkan kuliah atau kembali ke desa, setelah mendengar ayahnya sakit keras. Dengan berat hati dia mengambil dua keputusan berat, pertama memutuskan Amelia dan berhenti kuliah di tingkat 3 yang setahun lagi selesai menjadi sarjana.
Amelia terkejut ketika putus, dan meminta kejelasan dari lelaki itu. Ketika mendengar alasannya, dia pun mempunyai pilihan berat, tapi atas dasar cinta yang kuat, dia pun sama membuat keputusan besar. Yaitu kawin lari dengan pujaan hatinya dan rela meninggalkan semuanya.
Tuan Barata terkejut dan tak menyangka putri bungsunya senekad itu, ketika tahu Amelia kabur dia pun mencarinya. Dan tahu sudah menikah dan sedang hamil, Tuan Barata memberikan ultimatum kepada Amelia ikut dengannya dengan syarat menceraikan suaminya tak perduli sedang hamil, atau semua fasilitas yang dimiliki Amelia akan hilang. Dan tentu saja yang terakhir yang di terimanya.
-------------------
"Oh begitu !" Sandi mengangguk setelah mendengar cerita Bagas, angin berhembus lembut keduanya duduk di pondok di tengah sawah yang menghijau bagai permadani, di kejauhan terlihat bukit dan gunung menjulang tinggi.
"Lalu apa kakekmu sering berkunjung ?" tanya Sandi.
"Engga, terakhir aku ketemu waktu kelas 4 SD! waktu itu dia mengajak aku sekolah di kota !" jawab Bagas terdiam.
"Tapi emak menolaknya !"
"Jadi dia sudah menerima bapak dan emakmu ?"
"Entah, mungkin saja !" Bagas menghela nafas.
"Udah ah, aku mau pulang dulu !" Bagas berdiri hendak menuju rumahnya.
"Ya udah, aku jalan ke sana! Gas kamu libur lama kan ?" tanya Sandi, Bagas mengangguk.
"Nanti kita ngobrol lagi ya !" Sandi tersenyum senang dan keduanya berpisah.
Bagas menyulusuri jalan yang tak jauh lagi akan sampai, tiba-tiba dia melihar sesosok yang di kenalnya. Bagas berhenti dan di depan yang agak berjarak ada seorang lelaki berumur 75 tahun walau memakai tongkat dan keriput di wajahnya tapi masih tetap gagah, di belakang ada dua orang bertubuh tegap. Lelaki tua itu sama terkejutnya ketika melihat pemuda tampan di hadapannya. Untuk sesaat dia tertegun melihat perubahan cucunya yang dulu masih kecil kini sudah tinggi dan juga gagah, Bagas terdiam dan menunduk ...
Bersambung ....