Pukul 22.30. Tampak dua perempuan sedang memasuki kelap malam dengan beriringan. Yang satu berjalan tampak santai dan anggun memasuki kelap malam itu.
Sedangkan yang satunya lagi tampak gelisah dan tidak nyaman. Kedua tangannya dia gunakan untuk menutupi bagian tubuh dalamnya yang tidak tertutupi oleh dress mini yang dia pakai. Tangan kanannya dia gunakan untuk menutupi dada bagian atasnya yang terbuka, sedangkan tangan kirinya menarik ujung dress yang hampir memperlihatkan paha bagian dalamnya. Sungguh dress mini yang dia pakai sangat membuatnya tidak nyaman. Apalagi kalah melihat tatapan lekaki menatapnya lapar.
Perempuan itu adalah Devina Ayudia, baru saja datang dari kampung dua jam yang lalu. Tubuhnya masih sangat lelah karena perjalanan yang jauh. Sepuluh jam. Tetapi temannya itu langsung menyeretnya datang kemari dengan pakaian yang menurutnya yang sangat tidak layak dipakai.
"Ini tempat apa, Sari?" tanya Devina setengah berteriak, menyamarkan musik yang dimainkan begitu keras. Mengalahkan bunyi orgen tungggal kawinan di kampung. Mengentak membuat kepalanya pusing.
Ini kali pertama kalinya Devina datang ke tempat seperti ini. Di mana para perempuan berpakaian seksi menari-menari dengan pria. Belum lagi ia harus menyaksikan adegan pria dan wanita bermesraan diterbuka tanpa malu. Bulu kuduk Devina berdiri menyaksikan itu. Ia memalingkan wajahnya, enggan menyaksikan adegan itu yang membuat matanya ternoda.
"Ini namanya Kelap Malam, Devina?" Perempuan bernama Sari menjawab tidak kalah berteriak, melambai tangan pada perempuan paruh baya yang tengah duduk di meja bar tender.
"Apa? Kelap malam? Ya, Tuhan!" Mata Devina seketika membulat, langkahnya terhenti. Kelap malam? Meski dia belum pernah mengunjungi tetapi dia tahu tempat seperti apa sebuah kelap malam. Dia pernah melihatnya ditelevisi. Kelap malam adalah tempat para orang nakal mencari hiburan dan mabuk-mabukan.
"Ada apa?" tanya Sari juga menghentikan langkahnya menoleh pada Devina.
"Kenapa kamu membawaku ke tempat seperti ini, Sari?" Devina bertanya cemas.
Sari maju selangkah mendekati Devina. "Kamu datang menemuiku untuk mencari pekerjaan, bukan?"
Devina mengangguk.
Sari tersenyum penuh arti, "Dan di sinilah pekerjaan yang kamu cari."
"Maksud kamu?" Alis tebal Devina bertaut, seketika tubuhnya tegang, refleks langkahnya mundur. "Jangan bilang pekerjaannya di tempat seperti ini? Menjual diri?"
Sari menyeringai. "Memang pekerjaan apa yang kamu cari? Ingat, Dev, kita ini hanya lulusan SMA. Pekerjaan kita yang bisa kita dapat tidak lain hanya menjadi kacung orang kaya dengan gaji yang rendah."
"Aku lebih baik mendapatkan gaji rendah dari pada menjadi wanita rendahan."
Sari terkekeh, "Naif sekali. Aku tahu kamu sangat butuh uang Devina uang untuk biaya pengobatan ibumu yang sakit-sakitan, butuh biaya untuk sekolah adik-adikmu. Dan sinilah kamu bisa mendapatkan banyak uang secara instan. Menjual tubuhmu."
Devina menggeleng, "Aku tidak mau. Sekali pun aku harus menjadi kacung seumur hidup, aku tidak akan menjual diri. Dan ibuku pasti tidak akan terima jika tahu aku menjual diri."
"Selagi dia tidak tahu, semua tidak apa-apa, Dev."
Devina menggeleng, "Tetap saja. Ini tidak benar."
"Ada apa, Sandra?" wanita paru baya yang tadi melambai pada Sari mendekat, menengahi pertikaian Devina dan Sari.
"Tidak apa-apa, Mami Angel. Hanya ada sedikit kesalahpahaman."
"Aku mau pulang, Sari," ujar Devina, "Aku tidak mau berada di tempat seperti ini."
Sari dan Mami Angel saling melirik.
Devina tidak bisa dibiarkan pergi begitu saja, dia sudah di depe oleh seseorang saat Sari mengirim foto Devina kepada Mami Angel. Dalam sekejap Devina yang cantik menjadi incaran para pria hidung belang. Apalagi mendengar Devina masih tersegel dan masih muda. Tidak tanggung Mami Angel membuka harga untuk Devina. 1 Milyar Rupiah.
"Kamu tidak bisa pergi, Dev. Kamu sudah terjual," sergah Sari.
"Apa?" Mata Devina membulat sempurna, menggeleng tidak percaya, "Tega kamu, Sari! Kenapa kamu lakukan ini padaku?"
"Dengar, Dev. Aku tahu kamu butuh uang untuk membawamu berobat. Dan ini adalah satu-satu cara agar kamu mendapatkan uang secara cepat."
Devina menggeleng kuat. "Aku tidak mau? Aku tidak mau menjual diri. Aku mau pulang."
Mami Angel dan Sari saling melirik lagi.
Mami Angel lantas melirik dua penjaga pintu berbadan kekar dan berpakaian hitam untuk menghentikan Devina yang hendak keluar.
"Permisi, Pak, saya mau lewat," ujar Devina kepada dua penjaga pintu yang menghadangi jalannya.
Dua penjaga itu tidak bergeming.
"Pak, Permisi. Saya mau lewat." Devina yang mulai geram karena dua penjaga itu tidak bergerak mengentak kaki.
Sari melangkah mendekati Devina. "Ayo, Devi. Jangan seperti ini! Ikuti saja kataku. Aku tahu kamu butuh uang. Satu Milyar harga yang orang itu tawarkan untukmu. Bayangkan dengan uang sebanyak itu kamu bisa membawa ibumu berobat. Tidak hanya itu, kamu bahkan tidak perlu bekerja."
"Aku tidak mau, Sari. Tidak akan pernah!" Devina menggeleng keras. Dia memang butuh uang, tetapi tidak dengan menjual diri.
Mami Angel lalu kembali memberi kode kepada dua penjaga pintu.
"Apa yang kamu lakukan?" Devina memekik ketika salah satu penjaga itu mengangkat tubuh Devina, membawanya ke suatu tempat. Dia memukul dada pria kekar itu. "Turunkan aku!"
Pria kekar itu tidak peduli pukulan Devina yang sama sekali tidak merasa sakit, mengikuti Mami Angel uang sudah berjalan lebih dulu.
"Sari, tolong aku!" pekik Devina, "Aku tidak mau! Tolong!"
Sari tidak bergeming, membiarkan tubuh Devina dibawa pergi oleh pria itu.
"Hei! Tolong aku! Orang ini ingin menculikku." Devina menjerit minta pertolongan pada di sana. Namun sayang jeritannya tidak menghiraukan teriakannya. Orang-orang di sana terlalu asyik dengan dunia sendiri. Lagi pula hal seperti itu sering terjadi.
"Aw." Pria berbadan kekar itu meringis ketika Devina menggigit pundaknya dengan kuat. Reflek tubuh Devina di bahunya terlepas.
Devina tidak menyiakan kesempatan. Dia menambahkan tendang di selangkangan pria itu.
Pria itu meringis kesakitan, memegang alat vitalnya yang ditendang Devina.
Melihat pria itu tidak bisa bergerak Devina lekas berlari, menerobos keramaian. Orang yang sedang menari di lantai dansa menatapnya heran.
Beruntung pria yang menjaga pintu sedang lengah, hingga Devina bisa keluar.
"Kejar perempuan itu," teriak Mami Angel kepada penjaga itu di depan pintu.
Mendengar perintah dari Bosnya itu penjaga depan pintu tidak perlu di perintah dua kali, lekas mengejar Devina disusul oleh pria yang satunya.
Devina berlari secepat mungkin. Dia harus menyelamatkan diri. Saat ini dirinya dalam bahaya. Sekali pun dia harus miskin seumur hidup, dia tidak akan menjual diri. Dia yakin, ada cara lain untuk membiaya pengobatan ibunya.
Devina terus berlari hingga ke jalan raya. Ketika dia hendak menyeberangi jalan raya sebuah mobil tiba-tiba melintas cepat.
Brak. Tubuhnya ambruk di atas aspal.
****
Sebuah mobil sport melaju dengan kecepatan kencang, meluncur mulus di jalanan yang lengang.
Meski kepalanya pusing karena epek alkohol yang baru saja diteguknya beberapa belas menit yang lalu di sebuah club malam bersama teman-temannya, sang pengemudi sama sekali tidak berniat untuk mengurangi kecepatan laju mobil yang di kendarainya. Dia sedang frustrasi saat ini, mungkin dengan kencangnya laju mobil dapat membawa seluruh rasa penatnya.
"Maaf, Kafeel. Aku tidak bisa menerima lamaranmu sekarang. Aku baru saja mendapat tawaran untuk bermain film di Hollywood. Bisa bermain di film Hollywood adalah impian setiap artis negara kita ini. Aku tidak mungkin menyianyiakan kesempatan ini. Dan besok aku akan berangkat untuk melakukan casting di sana. Maafkan aku Kafeel."
Argh.
Pria bernama Kafeel itu memukul kemudinya dengan keras kalah mengingat lamarannya ditolak oleh sang kekasih, yang lebih memilih karier dari pada dirinya. Lamaran romantis yang dia siapkan terbuang cuma-cuma.
"Sial, sial, sial." Kafeel mengumpat kesal, sambil terus memukul kemudinya.
Sebenarnya Kafeel juga belum terburu-buru ingin menikah. Walau hubungannya dengan kekasih sudah berjalan dua tahun, tetapi Kafeel belum berniat menikah. Belum ingin terikat dengan sakral itu. Tetapi ayahnya mendesak agar dia segera menikah. Jika tidak, dia akan di turunkan dari jabatan Presiden Direkut.
Sepekan yang lalu. Di kediaman Pramudya.
Erina – Mama Kafeel meminta Kafeel makan malam di rumah, karena sudah tiga tahun Kafeel tidak tinggal bersama mereka. Anak sulungnya itu memilih tinggal di sebuah apartemen. Ingin hidup mandiri.
Tanpa curiga dengan panggilan mamanya Kafeel datang. Dia hanya berpikir itu hanya makan malam saja seperti biasanya.
Lima belas menit, makan malam berjalan dengan khidmat. Tanpa percakapan.
"Kapan kamu akan segera menikah, Feel?" tanya Farhan – Papa Kafeel, membuka percakapan memecah senyap. Makanan di piring mereka sudah hampir tandas.
Kafeel menggeleng, "Kafeel belum berniat menikah, Pa."
"Usia kamu sudah menginjak hampir tiga puluh. Mau sampai kapan kamu melajang, Feel? Semua anak-anak teman Papa sudah menikah dan memiliki anak," tukas Farhan.
Kafeel tidak menyahut, lebih memilih mengunyah makanannya. Namun dalam hatinya dongkol setengah mati. Kenapa hidupnya harus disamakan dengan anak-anak teman papanya. Mereka, ya, mereka. Kafeel, ya, Kafeel. Dia belum berniat untuk menikah dalam waktu dekat. Masih ingin hidup bebas. Kekasihnya yang seorang artis yang sudah dia kencani selama dua tahun terakhir tanpa pengetahuan publik dan orang tuannya, juga tidak menuntut untuk segera dinikahkan.
"Kemarin Papa rapat dengan para pemegang saham." Farhan menyudahi acara makannya, mengelap wajah dengan tisu, "Mereka berkeluh kesah dengan status kamu yang masih melajang. Mereka menuntut kamu untuk segera menikah. Jika tidak kamu akan gulingkan dari jabatan kamu sebagai Presiden Direktur. Mereka menginginkan pemimpin yang sudah menikah agar kewibawaannya semakin terlihat."
Kafeel menyeringai, menatap Farhan. "Tidak masuk akal. Apa hubungannya status lajang Kafeel dengan memimpin perusahaan. Toh, selama empat tahun Kafeel memimpin tidak ada kendala. Perusahaan semakin berkembang."
"Terserah apa komentar kamu. Papa hanya menyampaikan keresahan para pemegang saham. Jika, kamu tidak segera menikah maka kamu akan siap-siap kehilangan jabatan kamu sebagai Presiden Direktur."
"Kafeel tidak bisa, Pa. Kafeel belum siap menikah. Kafeel masih ingin bebas."
Farhan mengedikan bahu. "Papa tidak bisa berbuat apa-apa. Itu yang diinginkan para pemegang saham. Semua ada di tangan kamu. Jika kamu masih ingin mempertahankan jabatan kamu, maka kamu harus menikah. Jika kamu belum siap menikah, maka kamu harus rela melepas jabatan kamu. Papa akan kasih waktu sebulan, jika kamu tidak segera menikah kamu akan digulingkan dari jabatan kamu." Farhan beranjak meninggalkan ruang makan, menyudahi percakapan.
Ting.
Kafeel menghempaskan sendok dengan kasar, selera makannya lenyap sudah. Menguap di udara.
"Sudah, turuti saja permintaan Papa kamu." Erina yang sedari tadi diam memperhatikan percakapan suami dan anak sulungnya itu berkomentar.
"Tetapi, Ma. Kafeel belum siap menikah, masih mau bebas."
"Lantas kamu mau jabatan kamu digulingkan?"
Kafeel tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.
"Iya, Kak. Turuti sajalah, permintaan Papa. Tinggal menikah saja apa susahnya? Kakak tampan dan kaya pasti banyak gadis yang mau," Kayla, adik satu-satunya Kafeel menimpali.
"Anak kecil diam saja. Tahu apa kamu urusan orang dewasa," ucap Kafeel.
"Kayla bukan anak kecil lagi, ya. Kayla sudah dewasa. Umur Kayla sudah berusia dua puluh dua tahun," sanggah Kayla dengan wajah kesal. Tidak terima disebut anak kecil. Sampai kapan kakaknya itu memperlakukannya seperti bocah?
Kafeel memilih diam, tidak menyahuti protes sang adik. Perasaannya sedang rumit.
Di dalam kamar, Farhan menyeringai puas. Menggunakan para Pemegang Saham sebagai alasan hanyalah bualannya semata. Usianya sudah sepuh, dia hanya ingin Kafeel segera menikah. Dia ingin segera menimang cucu. Menikmati hari tua bersama anak, istri, dan cucu-cucunya sebelum ajal menjemput. Apalagi akhir-akhir ini kesehatannya menurun.
***
Srett.
Bunyi gesakan ban mobil dan aspal, membuat ngilu pendengaran.
Kafeel yang terlalu larut dalam lamunan kalah mengingat percakapannya dengan sang Papa seminggu yang lalu, ia tidak melihat seorang gadis melintas di depan mobilnya. Membuat Kafeel harus menginjak rem mendadak. Kepalanya bahkan hampir membentur setir mobil.
Napas Kafeel naik turun karena terlalu terkejut. Pelan dia mengangkat wajah.
Sebelum tubuh mungil perempuan itu ambruk di atas aspal, Kafeel sempat bertatap dengannya beberapa detik.
Perempuan itu tidak kalah terengah, dadanya juga naik turun. Matanya menatap sayu ke arah Kafeel.
Brak.
Dengan napas yang masih belum teratur, Kafeel lekas turun dari mobil untuk memeriksa keadaan perempuan itu.
"Apa dia sudah mati?" tanya Kafeel saat melihat tubuh perempuan mungil itu tergeletak di atas aspal.
Tidak ada darah ataupun luka-luka di tubuh gadis itu. Kafeel lantas berjongkok untuk memeriksa napas wanita itu. Dia mendekatkan jari telunjuknya di depan hidung perempuan itu.
"Dia masih hidup," ujar Kafeel ketika ia merasakan hangat embusan napas perempuan itu di jari telunjuknya.
Kafeel dibuat panik sejenak dengan tubuh mungil yang tergeletak di atas aspal itu. Apa yang harus dia lakukan terhadap perempuan itu?
Apa dia aku tinggalkan saja di sini? Pikir Kafeel. Namun itu sangat tidak manusiawi.
Kafeel lalu melihat sekitar. Tidak ada siapapun. Dia lantas menggendong tubuh mungil perempuan itu ke dalam mobilnya.
Sebelum melajukan mobilnya Kafeel bingung harus membawa perempuan itu ke mana? Rumah sakit? Tampaknya perempuan itu baik-baik saja? Sepertinya dia hanya syok. Mengantarnya pulang? Ke mana dia harus mengantarnya pulang? Namun Kafeel tidak menemukan identitas pada perempuan itu. Tidak ada apa-apa. Lagian jika mengantarnya pulang orang tua perempuan itu akan mencecarnya.
Kafeel mendesah panjang. Tidak punya pilihan. Akhirnya dia memutuskan untuk membawa perempuan itu ke apartemennya sampai sadarkan diri.