Kafeel menggeleng kepala, nafsu makannya hilang melihat cara Devina makan. Gadis makan tidak ada kesan anggun-anggunnya seperti gadis kebanyakan yang pernah dia kenal. Devina menyantap makanan dengan lahapnya menggunakan tangan. Mulutnya penuh oleh makanan. Sekitar bibir gadis itu cemong oleh minyak makanan.
Orang yang di tatap tampak tidak peduli dengan tatapan mencemooh Kafeel melihat caranya makan. Dia benar-benar lapar karena tidak makan seharian. Terserah Kafeel ingin menganggapnya orang tidak tahu malu ketika masuk langsung minta makan. Bodoh amat dengan rasa malu. Dia harus menekan jauh-jauh rasa gengsi daripada harus mati kelaparan. Dia bahkan tidak sangsi bersendawa di depan Kafeel membuat pria itu menatapnya semakin jijik.
"Nama kamu tadi siapa? Devina, ya?" tanya Kafeel ketika Devina menyudahi makannya.
Devina mengangguk. "Iya, Mas."
"Jadi kamu benar-benar tidak punya tujuan di sini? Tidak punya siapa-siapa?
Devina mengangguk pelan, "Iya, Mas. Saya sudah cerita tadi pagi. Bagaimana kronologisnya saya datang kemari."
Kafeel bersedekap dada, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, ia menatap Devina lekat. "Kamu tidak berbohong, kan?"
Devina menggeleng. "Saya tidak berbohong, Mas? Teman saya ingin menjual saya kepada muncikari. Dan saya benar-benar tidak punya tempat tujuan di kota. Saya tidak mungkin menemui teman saya lagi setelah apa yang terjadi."
Hati nurani Kafeel terketuk mendengar cerita Devina. Dia merasa iba terhadap apa yang menimpa Devina. Temannya itu tega sekali. Lantas apa yang harus dia lakukan pada gadis ini? Haruskah dia mengizinkannya tinggal bersamanya? Tidak mungkin. Mana bisa membiarkan seorang perempuan tinggal bersamanya. Bagaimana jika Anna tahu? Kekasihnya akan memikir yang tidak-tidak. Menuduh ia selingkuh.
Hening beberapa detik. Kafeel merenung apa yang harus dia lakukan untuk menolong Devina. Devina sendiri hanya tertunduk dengan wajah sendu. Dia berharap sekali Kafeel mau menolongnya.
"Baiklah, bagaimana kalau kamu saya kasih uang untuk pulang kampung? Tidak usah di kembalikan," cetus Kafeel setelah beberapa detik termenung.
"Pulang kampung?" Devina mengangkat wajah, menatap Kafeel sejenak lantas menggeleng, "Saya tidak bisa pulang kampung sekarang, Saya."
"Kenapa kamu tidak bisa pulang kampung? Bukankah kamu tidak punya tempat tinggal di sini?"
Devina menggeleng, "Saya tidak bisa pulang kampung sekarang. Saya harus mencari pekerjaan di sini. Di kampung, saya tidak punya pekerjaan? Saya harus mencari uang untuk mengobati ibu saya yang sakit-sakitan. Sedangkan adik saya masih sekolah."
"Memang Bapak kamu mana? Kenapa harus kamu yang bekerja?"
Wajah Devina tertunduk dalam, menjawab lirih, "Bapak saya sudah meninggal, Mas, dua tahun lalu."
Kafeel terkesiap, merasa bersalah. "Aku turut berduka. Maaf, tadi tidak maksud –"
"Tidak apa-apa, Mas. Saya mengerti." Devina memaksakan seulas senyum, menutupi kepedihan hati.
Lengang sejak.
Kafeel menatap Devina dengan tatapan tak terbaca. Hidup yang diemban gadis di hadapannya ini pastilah berat. Di usia yang masih sangat mudah Devina sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Harus bekerja banting tulang mencari nafkah. Dia di usia Devina mana tahu cara mencari uang. Tahunya hanya bersenang-senang, berpoyah-poyah.
Seketika rasa simpati menyelusupi hati nurani Kafeel yang terdalam.
Kafeel menghela napas panjang, "Baiklah, saya akan mengizinkan kamu tinggal di sini untuk sementara waktu. Sampai kamu menemukan pekerjaan,"
"Maksud, Mas?" Devina menatap Kafeel setengah tak percaya.
"Iya, kamu saya izinkan di sini sampai kamu menemukan pekerjaan," putus Kafeel akhirnya. Baiklah dia akan mengizinkan Devina tinggal bersamanya. Soal Anna, dia tidak perlu khwatir kekasihnya itu tahu. Anna sedang berada di tempat yang jauh, di belahan benua lain. Lagi pula Devina hanya tingga sementara waktu sampai perempuan itu menemukan pekerjaan.
"Benarkah?" Devina menatap Kafeel mata-mata berkaca-kaca karena haru.
Kafeel mengangguk. "Saya izinkan kamu tinggal untuk sementara waktu. Tetapi tidak secara gratis. Kamu harus membersihkan rumah setiap hari sampai bersih. Tidak ada debu. Menyiapkan sarapan saya setiap pagi dan makan malam."
Devina tersenyum lebar, mengangguk. "Siap. Saya akan lakukan itu. Tetapi sebelum itu saya ingin mengucapkan terima kasih banyak. Terima kasih, Mas Kafeel, sudah mau menolong saya. Saya akan membalas kebaikan, Mas Kafeel."
Kafeel mengibaskan tangan di udara. "Ya, sudah. Bukan apa-apa. Sudah kewajiban kita sebagai manusia saling menolong, bukan?"
Devina mengangguk, "Ternyata, Mas Kafeel ini orang baik, ya. Ternyata saya salah karena sempat berpikir kalau Mas Kafeel orang tidak punya hati. Habis Mas Kafeel tadi pagi dingin sekali orangnya."
"Heuh!"Kafeel mengulum senyum, entah untuk apa dia merasa senang karena dia dibilang orang baik. Selama ini dia selalu dinilai pria arogan tidak memiliki perasaan.
"Baiklah, kalau begitu saya mau ke kamar. Mau istirahat." Kafeel beranjak, "Jangan lupa bersihkan dulu meja makan ini sebelum kamu tidur. Cuci piringnya. Saya tidak suka tumpukkan piring kotor."
"Eh? Tunggu," sergah Devina.
"Ada apa?"
"Anu, apa aku boleh pinjam ponsel? Saya mau menghubungi adik saya di kampung. Memberi dia kabar jika saya baik-baik saja."
"Kamu banyak maunya." Kafeel mendengus kesal, namun tidak urung mengulurkan ponselnya kepada Devina.
"Terima kasih," ucap Devina, dia mulai menekan nomor.
"Memang kamu hafal nomor adik kamu."
Devina mengangguk, "Tentu. Kami hanya punya satu ponsel, jadi kami selalu bergantian."
Alis Kafeel bertaut mendengarnya. Apa mereka benar-benar miskin, bahkan ponsel saja berbagi? Ucap Kafeel dalam hati.
Tidak lama sambungan Devina tersambung. Devina mulai bercakap.
Kafeel yang masih berdiri menatap Devina yang sedang bercakap dengan seseorang di seberang. Dia tidak tahu apa yang Devina dan orang itu bicarakan. Karena Devina bercakap dengan bahasa daerahnya.
"Ini, Mas, ponselnya. Terima kasih sudah meminjamkan saya." Devina menyerahkan ponselnya setelah menyudahi panggilan dengan adiknya. Tidak lama. Hanya menyampaikan jika datang dengan selamat, dan akan mencari pekerjaan esok hari.
"Sudah selesai?" tanya Kafeel.
Devina mengangguk.
"Kalau begitu saya mau ke kamar. Mau tidur."
"Tunggu dulu."
"Apa lagi?"
"Saya tidur mana, ya?"
"Itu kamar kamu. Kamu tidur di kamar itu." Kafeel menunjuk salah satu ruangan. Sebuah kamar cadangan yang Kafeel siapkan jika sewaktu-waktu ada yang menginap.
Devina mengangguk. "Terima kasih."
"Ya, sudah. Aku masuk kamar dulu. Jangan lupa bersihkan semua ini." Kafeel menunjuk meja makan yang berserakan.
"Mas Kafeel...." Devina lagi-lagi menyergah Kafeel yang hendak melangkah.
Kafeel mendesah panjang, membalik badan. "Apa lagi, Devina? Kamu mau pinjam apa lagi? Mau tanya apa lagi?"
"Boleh saya pinjam baju kamu lagi? Baju ini sudah bau keringat."
Kafeel diam sejenak, menatap Devina lekat. Lalu ia melirik jam di pergelangan tangan. Tanpa mengucap sepatah kata dia masuk kamar.
"Huft." Mendesah melihat Kafeel berlalu begitu saja. Dia pasti kesal karena aku sudah banyak merepotkannya, pikir Devina.
Tidak lama Kafeel keluar lagi dengan pakaian yang sudah rapi. Melempar pakaian yang dia bawa kepada Devina.
Devina menatap Kafeel penuh tanya. "Apa ini, Mas?"
"Pakai itu, ganti baju kamu. Kita pergi."
"Pergi? Kita mau pergi ke mana, Mas?"
"Saya mau mengajak kamu beli baju. Kamu tidak punya baju, kan? Saya tidak suka memakai barang bekas orang lain. Kalau kamu pinjam baju saya terus, nanti saya jadi tidak punya baju lagi."
"Tetapi saya tidak punya uang, Mas."
"Saya yang akan belikan. Nanti setelah kamu mendapatkan pekerjaan, kamu bayar semuanya."
"Oh, begitu." Devina mengangguk.
"Sekarang tunggu apa lagi? Sana ganti baju kamu, sekalian mandi. Cepat! Jangan lama-lama. Saya tidak suka menunggu," tegas Kafeel melihat Devina yang masih terduduk.
Devina lekas beranjak.
"Kamu ngapain masuk kamar saya?" tanya Kafeel ketika Devina hampir menyentuh ganggang pintu kamarnya.
"Saya mau ganti baju. Saya tidak mungkin berganti pakaian di depan kamu."
"Ganti baju di kamar kamu. Kamar itu juga ada kamar mandinya." Kafeel menunjuk ruangan yang pernah dia tunjuk tadi.
"Hehehe. Lupa." Devina nyengir lebar, langsung berubah haluan. Menuju kamar yang ditunjuk Kafeel.
***
"Woah!" Devina bergumam melihat kamar yang tidak kalah luas dan bagus dengan kamar Kafeel itu. Sebuah kamar yang di isi dengan ranjang berukuran king size, sofa panjang, dan lemari besar.
Devina merebahkan tubuhnya sejenak di ranjang berukuran king size itu.
"Nyamannya," ujar Devina.
Kamar itu terasa itu begitu adem karena penyejuk ruangan. Lain sekali dengan kamarnya yang di kampung yang berukuran kecil dan pengap. Belum lagi dia harus berbagi dengan adiknya, Adelia. Yang tidurnya seperti sepak bola. Suka menerjang.
Merasa sudah merasa puas merebahkan diri Devina masuk kamar mandi. Tidak ingin Kafeel marah karena terlalu lama menunggunya.
"Woah! Ini kamar mandi? Luas sekali?" Devina lagi-lagi berujar kagum ketika masuk kamar mandi yang lebih luas dari kamarnya itu, "Dia pasti orang kaya. Kamar mandi saja sebagus ini."
Mata Devina menyapu sudut kamar mandi. Kamar mandi itu tidak ada bak mandi seperti kamar mandinya di kampung. Hanya ada bathup dan shower.
Tangan pelan memutar keran shower. Seketika ia terkesiap dengan cipratan air yang turun dari shower. Terkekeh.
"Ai, cak. Kamu norak sekali Devina."
Devina menanggal semua pakaiannya. Membasuh tubuhnya di bawah guyuran air shower untuk pertama kalinya. Dia terkekeh kecil. Ini tidak tepat disebut kemalangan, tetapi keberuntungan karena dia bisa menikmati fasilitas hidup orang kaya.
***
Di ruang teve Kafeel mendesis, melirik jam di pergelangan tangan. Sudah dua menit dia menunggu tetapi Devina belum keluar juga. Membuat dia kesal setengah mati.
"Dia mandi atau tidur, sih? Lama sekali."
Tidak lama kemudian Devina keluar kamar dengan memakai dress Anna yang Kafeel berikan tadi.
Kafeel terpanah melihat dress Anna yang begitu pas dipakai Devina. Harus Kafeel akui jika Devina tidak kalah cantik dengan Anna. Bahkan kecantikan Devina kecantikan Devina lebih menonjol walau tanpa polesan make up. Rasa kesalnya menguap di udara.
"Kalau kamu punya pakaian perempuan kenapa tadi kamu meminjamkanku pakaian kamu?" protes Devina.
"Dasar tidak tahu terima kasih. Kamu ini sudah ditolong, banyak protes," cibir Kafeel.
"Maaf." Devina menyengir lebar.
"Sudah ayo berangkat."
Devina mengangguk, mengekor di belakang Kafeel.
Saat Mereka keluar dari apartemen hari sudah gelap. Menteri sudah tenggelam diupuk barat, sinarnya sudah digantikan oleh cahaya lampu di setiap sudut kota. Gemerlap. Membuat kota terlihat begitu menawan.
Sepanjang perjalanan mata Devina terus menelusuri jalanan kota di malam hari yang tampak indah itu. Bibir tipisnya tidak henti bergumam kagum melihat gedung-gedung pencakar langit sepanjang jalan. Kafeel mengulum senyum melihat tingkah Devina.
"Ck, norak sekali," ucap batin Kafeel.
Kafeel tidak menyangka jika ia akan bertemu perempuan kampungan seperti Devina. Selama ini hidupnya selalu di kelilingi perempuan yang glamour dan seksi.
Lima belas kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Mobil yang dikendarai Kafeel memasuki Pusat Perbelanjaan ternama di kota.
"Woah!" Lagi Devina tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya ketika memasuki Pusat Perbelanjaan. Mengekori di belakang Kafeel. Matanya menyapu setiap sudut Pusat Perbelanjaan. Ini pertama kalinya dia memasuki mall seumur hidupnya.
"Kampungan sekali. Biasa saja sikap kamu," desis Kafeel. Dia merasa risih dengan tingkah Devina yang menurutnya itu memalukan.
Devina menyengir lebar, menggaruk kepala yang tidak gatal. "Maaf. Soalnya ini pertama kalinya saya ke mall. Biasanya saya hanya lihat di teve."
"Tetapi sikap kamu biasa saja. Jangn buat saya malu." Kafeel melihat orang sekitar menatapnya.
"Oh, Maaf."
Kafeel tidak menyahut. Melanjutkan langkahnya. Langkahnya kembali terhenti ketika mereka lalu memasuki Departemen Store.
"Sekarang cepat pilih," seru Kafeel.
Devina langsung berlari memilah-milah pakaian yang tergantung. Namun seketika matanya melotot melihat tarif harga baju yang tertara. Hanya untuk baju kaos saja harganya seratus ribu.
"Kenapa?" tanya Kafeel ketika melihat wajah Devina berubah ditekuk.
"Baju di sini mahal sekali. Apa kita tidak bisa belanja di tempat lain saja. Di pasar mungkin? Di pasar lebih murah pakaiannya."
"Ini sudah malam, Devina. Mana ada pasar buka malam-malam begini. Sudah kamu pilih saja, tidak usah pikirkan harga. Nanti kamu bayar sama saya setelah mendapatkan pekerjaan."
"Tetapi baju di sini mahal sekali. Nanti gaji saya habis harus bayar kamu. Belum lagi saya harus kirim ke kampung."
Kafeel menghela napas jengah, "Ya, sudah kalau tidak mau. Kamu tidak usah berganti pakaian. Jika perlu kamu telanjang saja."
Wajah Devina bersungut. Dia lalu mengambil beberapa kaos, celana jeans dan pakaian dalam.
"Segini saja. Cukup?" bisik Kafeel melihat Devina hanya memilih beberapa helai pakaian saat melakukan transaksi di kasir.
Devina mengangguk. "Saya beli segini saja dulu. Nanti saya sudah ada pekerjaan, saya akan beli di pasar saja."
"Ya, sudah terserah kamu saja." Kafeel mengedikan bahu, tidak ingin ambil pusing.
Selesai melakukan transaksi mereka langsung pulang.
"Mas Kafeel!" Devina mencegah Kafeel yang sudah menekan ganggang pintu kamarnya.
Kafeel membalik badan. "Apa lagi?"
"Terima kasih banyak sudah mau menolong saya. Terima kasih banyak untuk semuanya. Saya tidak tahu bagaimana nasib aku kalau tidak ada kamu. Saya pasti sudah menjadi gelandangan di luar sana. Atau mungkin Saya sudah diperkosa orang. Terima kasih banyak. Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Devina dengan tulus, "Suatu hari saya akan bayar semua kebaikan Mas Kafeel."
Kafeel mengangguk. "Its, ok. Bukan apa-apa. Seperti kata saya tadi, bukankah sudah menjadi kewajiban saling tolong menolong. Sekarang sana istirahat."
"Sekali lagi terima kasih sudah menolong saya," ujar Devina sebelum masuk ke kamarnya, membungkuk rendah.
Kafeel mengangguk, tersenyum. Senyum yang pertama kalinya Devina lihat, setelah seharian wajah itu bersikap dingin kepadanya.