"Pak Kafeel mau makan apa untuk makan malam?" tanya Devina saat tiba di apartemen.
Sejak bekerja menjadi sekretaris Kafeel, Devina sudah meralat panggilannya kepada Kafeel. Dia takut kebablasan memanggil Kafeel 'Mas', jika di kantot. Tidak enak jika di dengar karyawan yang lain. Kesannya dia begitu akrab dengan Kafeel.
Kafeel hanya mengedikan bahu, "Terserah kamu saja. Aku mau mandi dulu," kemudian ia masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan menjernihkan pikiran. Bertemu dengan Farhan hari ini membuatnya penat.
Devina mengangguk, dia juga masuk kamar hendak pakaian lebih dulu sebelum memasak. Sayang pakaian sebagus dan mahal itu harus ternoda. Apa kata Kafeel nanti jika setelan kerja yang dia belikannya itu kotor?
Pagi, sebelum Devina menjadi sekretaris Kafeel sepekan yang lalu. Kafeel membawa Devina ke sebuah butik sebelum menuju kantornya untuk membeli setelan kerja untuk Devina. Dia tidak memperkerjakan Devina sebagai sekretarisnya dengan memakai kaos oblong, celana jeans, dan sepatu flat. Sangat tidak mecing dengan pekerjaan Devina yang seorang sekretaris.
Tepat ketika Devina sudah mengganti pakaiannya. Ponsel Devina di atas ranjang berdering nyaring.
Delia. Begitulah nama yang tertara di layar ponsel Devina.
Tidak butuh lama, mengetahui adiknya yang menelepon Devina langsung menjawabnya.
"Halo, Dek," ujar Devina kepada orang di seberang telepon ketika sambungannya di jawab.
"Halo, Kak," jawab Delia.
"Ada apa, Del?"
"Ibu, Kak...." Delia berucap dengan napas tercekat.
"Ada apa dengan ibu?" Devina mendadak panik mendengar suara parau Delia.
"Kesehatan Ibu semakin menurun. Sepertinya kita harus membawa Ibu segera ke rumah sakit untuk berobat."
Devina menghela napas panjang. "Sabar, ya, Dek. Kakak akan usaha mencari uang untuk membawa Ibu berobat."
"Yang cepat, ya, Kak. Delia tidak ingin sesuatu terjadi sama. Ibu adalah satu-satunya orang yang kita punya." Di seberang sana Delia terisak.
"Iya, Dek. Kakak akan usahakan secepatnya. Kakak pastikan tidak akan terjadi sesuatu dengan Ibu. Kakak janji!" ucap Devina dengan suara tercekat, dia mendongkak mencegah air mata hendak tumpah.
"Ya, sudah, ya, Kak. Delia tutup dulu sambungannya. Delia harus mengerjakan tugas sekolah dulu." Delia menyudahi pembicaraan.
"Iya. Belajar yang rajin, ya, Dek."
Setelah panggilan terputus air mata Devina luruh seketika. Tidak bisa dia bendung lagi. Sungguh hidup ini begitu menyedihkan. Setelah kehilangan sosok sang ayah, kini ibunya harus jatuh sakit. Dan dia tidak punya uang untuk biaya pengobatan sang Ibu.
Apa yang harus dia lakukan saat ini untuk menolong ibunya? Sungguh dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibunya. Seperti kata Delia, saat ini hanya tinggal ibu orang tua yang mereka punya.
"Ada apa?" tanya Kafeel melihat wajah Devina yang ditekuk, mata gadis itu juga sembab. Ketika mereka sedang menyantap makan malamnya.
Devina mengangkat wajahnya, menatap Kafeel lekat. Apa dia harus meminjam uang kepada Kafeel saja? Pikir Devina.
"Ada apa?" tanya Kafeel yang merasa risih dengan tatap Devina.
"Penyakit ibu saya sepertinya semakin parah, Pak," lirih Devina, nyaris seperti bisikan.
"Memang ibu kamu sebenarnya sakit apa?"
Devina menggeleng, "Tidak tahu. Kondisi tubuhnya lemah, dia sering sesak napas."
"Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Biar tahu apa penyakitnya dan bisa di tangani dokter."
Devina menggeleng lemah, tertunduk. "Kami tidak punya uang untuk membawanya berobat."
Kafeel terenyak, menatap Devina penuh simpati. Gadis di sampingnya ini sungguh malang.
Lengang sejenak, mereka melanjutkan makan mereka dalam diam.
"Kamu butuh uang, kan, Dev?" tanya Kafeel dengan ragu.
Devina mengangkat wajah, menatap Kafeel.
"Bagaimana kalau kita menikah? Lalu saya akan memberikan kamu uang," cetus Kafeel setelah beberapa menit senyap. Terpikir akan ide konyol Henry beberapa hari yang lalu.
"Hah!" Mata Devina melebar mendengar cetus Kafeel. Terkejut bukan main. Tentu saja. Siapa yang tidak terkejut jika di tawar menikah secara mendadak. Apalagi mereka baru kenal sepekan.
Kafeel mengangguk, "Iya, menikah."
"Tetapi.... kita baru saling kenal. Ti-dak saling cinta." Devina mendadak gagap, salah tingkah.
Kafeel membenarkan posisi duduknya menghadap Devina, "Maksudku bukan menikah dalam arti yang sesungguhnya. Kita menikah kontrak. Menikah hanya di atas kertas. Kita akan menikah selama dua tahun, setelah itu kita bercerai. Aku akan memberi kamu uang satu milyar sebagai kompensasi. Bagaimana?"
"Menikah kontrak?" Wajah Devina berkerut tampak tidak mengerti dengan penjelasan Kafeel.
"Begini ceritanya, orang tuaku ingin aku segera menikah dalam waktu dekat ini. Jika aku tidak segera menikah. Maka jabatanku sebagai Presiden Direktur akan dilengserkan. Tentu saja aku tidak terima dengan itu semua. Saya sudah bekerja keras selama empat tahun ini mengembangkan perusahaan. Mereka dengan seenak jidatnya saja mau melengserkan saya," papar Kafeel.
"Lalu kenapa harus menikah kontrak? Kenapa kamu tidak menikah sungguhan saja dengan kekasihmu sering kamu telepon setiap malam itu? Kenapa harus menikah kontrak dengan saya?"
Kafeel menatap Devina menyelidik. Bagaimana Devina itu tahu kalau dia sering berteleponan dengan Anna setiap malam?
Devina mendadak salah tingkah dengan tatapan Kafeel. Dia seperti pencuri yang tertangkap basa. "I-tu. Anu, aku tidak sengaja mendengar kamu bercakap saat hendak mengambil air minum di dapur. Tidak bermaksud menguping."
Tatapan Kafeel melembut mendengar penjelasan Devina, lalu berujar lirih, "Kekasihku belum siap menikah. Dia memilih pergi ke Los Angeles untuk mengejar karier keartisannya."
"Jadi kekasih Pak Kafeel seorang artis? Artis yang mana? Aku bisa minta tanda tangannya?" Wajah Devina menjadi excited, matanya berbinar mendengar kalau kekasih Kafeel adalah seorang artis. Dia melupakan soal tawaran yang Kafeel ajukan.
Mata Kafeel memicing mendengar cetusan Devina, ia mendesis tajam, "Bukan itu intinya sekarang, Devina? Sekarang kamu mau tidak menikah kontrak dengan saya? Saya akan memberi kamu uang satu milyar sebagai kompensasi. Uang itu dapat kamu gunakan untuk membawa ibu kamu berobat ke rumah sakit."
Devina terdiam sejenak, tampak berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menerima tawaran Kafeel?
"Tidak apa-apa. Kamu tidak usah menjawab sekarang, pikirkanlah saja dulu. Aku tidak memaksa kamu. Semua keputusan ada di tangan kamu," ucap Kafeel melihat raut gamang di wajah kemayu Devina.
***
Sepanjang malam Devina tidak dapat memejamkan matanya. Dia memikirkan tawaran absurd dari Kafeel. Menikah kontrak.
Kompensasi yang Kafeel tawarkan memang menggiurkan. Satu Milyar. Kapan lagi dia dapat memiliki uang sebanyak itu. Membayangkan saja dia tidak pernah. Bagaimana rupanya? Seberapa banyak uang itu? Melihat uang puluhan juta saja dia tidak pernah melihatnya. Ini satu milyar.
Dengan uang sebanyak itu dia membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Bahkan dia dapat membelikan ibunya rumah, membiayai sekolah adiknya sampai ke perguruan tinggi. Tetapi menikah dengan orang yang tidak dicintai dan mencintainya itu tidak pernah terpikir oleh Devina. Apalagi dia menikah harus menikah di usia dini? Walaupun itu hanya pernikahan kontrak.
Bagi Devina pernikahan adalah hubungan yang sakral. Sebuah hubungan yang diucapkan di hadapan sang khalik.
Devina mendesah, membenarkan posisi gulingnya menjadi telentang. Haruskah dia menerima tawaran Kafeel? Tidakkah sama saja dia menjual diri? Ini sama saja keluar dari lubang harimau, masuk lubang buaya.
Namun sayang di sayangkan jika dia menolak tawaran dari Kafeel. Tawaran dari Kafeel adalah solusi dari akar masalahnya. Dengan menerima tawaran Kafeel dia dapat mengobati ibunya.
"Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?" gumam Devina sambil menatap langit kamar.
Begitu pun dengan Kafeel di kamarnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu juga tidak dapat memejamkan matanya. Dia tidak menyangka jika saran dari Henry menjadi pilihan terakhirnya. Menikah kontrak. Sebuah rencana yang tidak pernah dia bayangkan.
Tetapi mau bagaimana lagi, dia tidak punya pilihan. Posisinya terjepit. Dia tidak ingin kehilangan posisi Presiden Direktur yang sudah didudukinya selama empat tahun ini. Dia tidak bisa melepaskannya begitu saja setelah kerja kerasnya.
Lalu bagaimana dengan reaksi Anna, sang kekasihnya, jika mengetahui rencana ini? Apa yang dirasakan perempuan itu setelah kembali dari Los Angeles kekasihnya sudah menikah dengan perempuan lain? Pertanyaan itu membayangi kepala Kafeel.
Kafeel menghela napas. Kenapa dia harus memusingkan itu? Lagian ini hanya nikah kontrak. Hubungan mereka tidak ada yang berubah, semua tetap sama. Setelah dua tahun dia dan Devina akan bercerai.
Kafeel akan menjelaskan itu nanti setelah Anna pulang setelah selesai dari projek filmnya. Dan itu masih lama, sembilan bulan lagi.
Pagi harinya, Devina dan Kafeel menikmati sarapan dalam diam.
Devina yang biasanya cerewet sekali bertanya ini-itu tentang pekerjaan tengah kemelut dengan pikirannya. Sedangkan Kafeel sedang mencari suasana yang tepat untuk membuka percakapan.
"Bagaimana? Kamu sudah memikirkannya?" tanya Kafeel, membuka percakapan setelah sarapannya tandas, mengelap bibirnya dengan tisu.
Devina mengangkat wajah, menatap Kafeel. "Apa yang harus aku lakukan jika menerima tawaran ini?"
"Tidak ada. Kamu hanya perlu pura-pura bersikap menjadi istri saya. Kita juga masih bisa tetap menjaga privasi masing-masing. Tidak ada sentuhan fisik dan lainnya.
"Lalu bagaimana dengan kekasih Pak Kafeel? Apa dia akan terima?"
"Soal dia, kamu tidak usah pikirkan. Biar aku yang akan menjelaskan padanya."
Devina mangut-mangut, tanda mengerti.
"Bagaimana? Kamu terima tawaran saya?"
Devina mengangguk. "Baikalah saya terima tawaran Pak Kafeel."
Kafeel tersenyum lebar, mengulurkan tangan. "Ok. Kita sepakat, ya."
Devina tersenyum getir, menjabat uluran tangan Kafeel. Entah apa yang harus dia rasakan saat ini. Dia bahagia karena ibunya akan segera diobati, tetapi dia juga merasa sedih karena harus menjual diri karena uang.
"Semoga saja keputusan yang aku ambil ini adalah hal yang benar," gumam Devina dalam hati.