Chereads / Menikah Dengan Direktur. / Chapter 6 - Menjadi Sekretaris

Chapter 6 - Menjadi Sekretaris

Saat Devina tiba di apartemen matahari sudah tenggelam di kaki langit. Ia menghela napas lega mendapati apartemen masih gelap, menandakan jika Kafeel belum pulang.

Devina lalu bergegas mandi sebelum memasak. Tubuhnya bau keringat.

Tepat pukul tujuh malam Kafeel pulang, persis ketika Devina menyelesaikan hidangan makan malam. Mendengar suara pintu di buka Devina berlari ke arah pintu. Menyambut kepulangan Kafeel.

"Sedang apa kamu di situ?" tanya Kafeel melihat Devina yang berdiri di depan pintu dengan senyum merekah di wajahnya.

"Menyambut kepulangan, Mas Kafeel," jawab Devina dengan polosnya.

Dahi Kafeel mengernyit mendengar jawaban Devina yang bak sikap seorang istri yang sedang menunggu kepulangan suaminya. Namun Kafeel memilih tidak berkomentar. Berlenggang masuk sambil melonggarkan dasi yang melilit di lehernya.

"Mas Kafeel mau makan atau mandi dulu?" tanya Devina.

"Saya mau mandi dulu," jawab Kafeel sambil masuk kamar.

Devina mengangguk. Sembari menunggu Kafeel mandi, Devina duduk di ruang tamu sambil browsing lowongan pekerjaan di internet.

Lima belas menit kemudian Kafeel keluar dengan pakaian santai. Devina lekas berlari ke mini bar untuk menyiapkan makan malam.

Beberapa menit mereka makan malam dalam hening.

"Bagaimana hari ini? Sudah dapat pekerjaan?" tanya Kafeel, membuka percakapan sambil menyuap makanan ke dalam mulut.

Devina menggeleng lemah, tertunduk lesu, "Belum. Tidak ada satupun yang mau menerimaku karena tidak memiliki data diri. Mungkin besok saya akan meminta adik saya mengirimkan ijazah saya.

Kafeel menatap Devina prihatin, dia melupakan perihal Devina tidak memiliki data diri. Pastilah perempuan itu kesulitan mencari pekerjaan. Di jaman sekarang memiliki ijazah dan tanda penduduk saja tidak mudah mendapat pekerjaan. Apalagi Devina tidak memiliki tanda pengenal diri.

Lenggang lagi sejenak. Baik Devina dan Kafeel sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Kamu memang lulusan apa?" tanya Kafeel setelah beberapa detik senyap, meneguk air mineral.

"Saya lulusan SMK, Mas."

"Jurusan apa?"

"Sekretaris."

Kafeel terdiam sejenak, dia lalu teringat tentang surat pengunduran diri Airin tadi pagi. "Sedikit banyak kamu pasti tahu, dong, tugas seorang sekretaris?"

Devina mengangguk. "Iya."

Kafeel tampak berpikir sejenak. Haruskah dia memperkerjakan Devina sebagai sekretarisnya? Tetapi pengetahuan Devina masih minim dan belum punya pengalaman? Ah, soal Devina bisa belajar, pikir Kafeel. Dari pada dia harus repot mencari orang baru, Saat ini dia sangat malas melakukan sesi interview.

"Kalau jadi sekretaris saya mau?" ujar Kafeel setelah beberapa menit berpikir.

Devina yang sedang menyendok makanan, mengangkat wajahnya. "Apa, Mas?"

"Sekretaris saya mengundurkan diri hari ini karena dia ingin menikah. Kebetulan saya sedang mencari orang untuk menjadi sekretaris. Kalau menjadi sekretaris saya mau?"

"Tetapi saya belum begitu mendalami tugas seorang sekretaris, Mas. Hanya tahu dasar-dasarnya saja."

"Itu bukan masalah. Nanti kamu bisa belajar lagi dengan sekretaris saya yang sekarang sebelum dia resmi berhenti. Jadi kamu mau jadi sekretaris saya."

Devina mengangguk tampak berpikir sejenak. Setelah beberapa detik senyap Devina mengangguk, tawaran itu terlalu menggiurkan untuk dia tolak.

***

Sesuai perkataannya semalam, Kafeel menepati ucapannya untuk menjadikan Devina sekretarisnya.

Seminggu kemudian, Devina belajar menjadi sekretaris Kafeel dengan cepat, ia tidak mengalami banyak kendala. Apalagi dia sudah memahami sedikit banyak tugas seorang sekretaris dan pernah magang di kantor camat di desanya.

Setelah seminggu tinggal bersama Kafeel, Devina berencana ingin meminjam uang kepada Kafeel untuk pindah setelah resumenya sudah di lengkapi tadi pagi.

Meski Kafeel tidak pernah membahas soal kapan kepindahannya, tetap saja Devina merasa tidak nyaman tinggal bersama seorang pria dewasa. Maka sebab itu dia putusan untuk segera pindah.

Tiga hari yang lalu, adik Devina sudah mengirimkan berkas jati dirinya. Jadi, dia sudah memiliki jaminan kepada Kafeel, kalau dia tidak mungkin kabur. Untuk apa dia kabur, setelah mendapatkan pekerjaan yang bagus.

"Selamat siang, Pak Farhan." Airin yang menjelaskan beberapa hal kepada Devina lekas berdiri ketika Farhan – papa Kafeel datang.

Devina juga ikut berdiri, membungkuk rendah, juga ikut menyapa. "Selamat siang, Pak."

"Siapa dia?" tanya Farhan sambil menelusuri figur Devina.

"Dia Devina, calon sekretaris baru Pak Kafeel. Karena akhir bulan ini saya akan tidak lagi bekerja, Pak," jelas Airin.

Farhan mengangguk-angguk, masih mengamati Devina. Dia merasa tidak begitu asing. Beberapa detik kemudian, dia tersadar kalau Devina adalah perempuan yang dia lihat di lampu merah. Perempuan yang menolong seorang kakek menyeberangi zebra cros.

Farhan tersenyum culas. Kejadian itu sepakan yang lalu, tetapi Farhan masih mengingat gadis itu. Dunia sempit sekali.

"Ok, Devina semoga kamu beta menjadi sekretaris Kafeel." Setelah mengucapkan itu Farhan masuk ke ruangan Kafeel.

Devina dan Airin membungkuk rendah, kemudian kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang terjeda.

***

Kafeel sedang berkutat dengan tumpukan berkas di meja kerjanya ketika Farhan masuk ke ruangannya. Seketika tubuh Kafeel menegang dengan kehadiran sang Papa. Dia tahu kehadiran Farhan bukan untuk urusan pekerjaan. Farhan datang pasti untuk menagih janjinya.

"Sibuk, Feel?" tanya Farhan, tanpa di persilakan pria paruh baya itu mendudukkan pantatnya di sofa yang ada di ruang kerja Kafeel.

Kafeel menghentikan aktivitasnya sejenak, menghampiri Farhan. "Ada apa Papa kemari?" tanyanya to the point.

"Papa hanya ingin memberitahu jika minggu depan Papa ada rapat dengan para dewan Direksi. Mereka ingin membahas tentang penggulingan kamu," ujar Farhan juga tanpa basa-basi.

"Tidak bisa begitu, dong, Pa. Kafeel sudah bekerja keras untuk mengembangkan perusahaan ini. Mereka tidak bisa menggulingkan aku begitu saja," protes Kafeel. Dia tidak terima dipecat begitu saja setelah kerja kerasnya.

Farhan mengedikan bahu. "Jika kamu tidak ingin jabatan kamu digulingkan, maka kamu harus menikah."

Kafeel menghela napas panjang, "Tetapi Kafeel belum mau menikah, Pa. Kafeel tidak bisa."

"Ya, sudah. Semua pilihan ada di kamu. Jika itu pilihan kamu, maka kamu harus siap untuk kehilangan jabatan kamu."

"Ini tidak adil, Pa," lirih Kafeel.

"Kamu tinggal menikah saja. Apa susahnya, Feel?"

"Tetapi Kafeel belum siap, Pa. Kafeel belum mau menikah."

Farhan mengedikan bahu. "Semua ada di tangan kamu, Feel. Menikah atau meninggalkan semuanya."

Kafeel mendesah panjang, tidak menyahut.

"Baiklah itu maksud kedatangan Papa kemari. Kalau begitu Papa permisi. Pikirlah baik-baik, feel." Farhan menepuk pundak Kafeel sebelum beranjak.

Kafeel kembali bisu, tidak menanggapi ucapan Farhan. Pria itu sibuk memikirkan bagaimana cara mempertahankan jabatannya.

"Oh, ya. Sekretaris baru kamu cantik juga Feel. Jika kamu ingin menjadikannya dia sebagai istri," ujar Farhan saat dia hendak menggapai ganggang pintu.

Mata Kafeel memicing mendengar ucapan Farhan. Namun memilih tidak menanggapinya.

Setelah Farhan hilang di balik pintu Kafeel menghela napas panjang, meraup wajah dengan kasar. Dia tahu Farhan tidak pernah main-main dengan ucapannya. Tetapi menikah segera? Mana mungkin! Anna sedang berada di luar negeri untuk melakukan casting menolak menikah dengannya demi karier. Lantas dia harus menikah dengan siapa? Dia juga tidak akan pernah rela jika melepaskan jabatannya. Dia sudah banyak bekerja keras demi untuk mengembangkan perusahaan.

"Nikah kontrak saja, Feel. Kamu cari wanita yang mau di bayar untuk diajak nikah kontrak." Saran dari Henry beberapa hari yang lalu di kelap malam terlintas di kepala Kafeel saat dia menceritakan keluh kesahnya kepada sahabatnya itu.

Apa, iya, aku harus nikah kontrak saja? Memang ada wanita yang mau diajak menikah kontrak? Pikir Kafeel.