Chereads / Menikah Dengan Direktur. / Chapter 5 - Mencari Pekerjaan

Chapter 5 - Mencari Pekerjaan

Pukul 06.00 pagi Devina terbangun. Dia membuka matanya perlahan. Sudut bibirnya menyungging senyum ketika dia berada di kamar mewah, rasanya dia sedang bermimpi berada di tempat ini.

Sebelum beranjak Devina menggeliat. Semalam tidurnya pulas sekali. Siapa yang tidak nyenyak tidur di tempat sebagus dan senyaman ini. Belum lagi tidak ada Delia di sampingnya, yang selalu menerjangnya setiap malam.

Devina menghirup napas dalam-dalam. Hari ini dia akan memulai hari yang baru. Dia akan mencari pekerjaan. Dia tidak mungkin selamanya tinggal bersama Kafeel dan bergantung pada pria itu. Yang pasti pria itu belum tentu mau menampungnya terus-menerus.

Di rasa udara masuk ke paru-parunya cukup Devina beranjak menuju kamar mandi. Membersihkan diri. Selesai mandi dia menuju dapur untuk membuat sarapan. Nasi goreng dan telur ceplok alanya.

"Semoga Mas Kafeel suka," gumam Devina.

Tepat setelah Devina selesai menata meja makan siluet Kafeel yang sudah rapi dengan pakaian formalnya keluar kamar.

Devina lagi-lagi terpanah dengan penampilan Kafeel. Kafeel terlihat gagah dengan setelah jas berwarna hitam dan kemeja berwarna abu-abu serta dasi kotak-kotak hitam putih yang melilit di lehernya. Seperti aktor drama Korea yang pernah dia tonton.

"Kamu masak apa pagi ini?" tanya Kafeel membuyarkan keterpakuan Devina, duduk di bar stool di hadapan Devina.

"Nasi goreng, Mas Kafeel. Semoga Mas Kafeel suka, ya." Devina menyodok nasi goreng yang di buat ke dalam piring. Tidak lupa dia menaruh telur ceplok di atasnya. Lalu ia serahkan kepada Kafeel. Kafeel menerima tanpa sungkan.

"Kamu tidak makan?" tanya Kafeel melihat Devina yang masih berdiri menatapnya makan.

"Saya nanti akan makan setelah, Mas Kafeel."

"Kenapa begitu?"

"Saya merasa tidak enak makan bersama Mas Kafeel. Mas Kafeel, kan, majikan saya."

"Tidak perlu sungkan. Duduk sana. Makan. Saya tidak suka makan sendirian."

"Bolehkah?" Devina bertanya ragu.

Kafeel mengangguk, menyuap masakan

Devina. Seulas senyum terbit di wajahnya ketika merasai masakan Devina. Tidak buruk. Lumayan enak.

Devina langsung menarik kursi di hadapan Kafeel. Menyantap sarapannya.

Beberapa menit mereka sarapan dalam diam.

"Mas Kafeel pekerjaannya apa? Penampilan Mas Kafeel rapi sekali," ucap Devina membuka percakapan pagi itu.

"Direktur Presiden," jawab Kafeel tanpa menatap Devina.

"Presiden Direktur? Woah! Hebat sekali. Mas Kafeel masih muda tetapi sudah menjadi seorang Presiden." Devina berujar penuh kagum.

"Memang kamu tahu apa itu Presiden Direktur?" tanya Kafeel sambil meneguk air putih.

"Tahulah, Mas. Anak kecil juga tahu. Presiden itu adalah Kepala Negara. Orang yang memimpin negara kita," jawab Devina dengan percaya diri. "Woah, Aku tidak menyangka bisa tinggal serumah sama seorang Presiden. Tetapi, kok, aku tidak tahu kita ganti Presiden?" tanya Devina dengan wajah polosnya.

Dahi Kafeel mengernyit mendengar jawaban Devina.

Melihat wajah berkerut Kafeel, Devina tertawa renyah. "Bercanda, Mas. Saya tahu Presiden Direktur itu apa. Dia orang yang memimpin sebuah perusahaan besar, kan? Walaupun tumbuh di perkampungan gini-gini saya tidak kampungan juga. Saya pernah lihat orang menjadi Presiden Direktur di teve dan drama Korea yang pernah saya tonton. Biasanya mereka itu sombong dan suka marah-marah."

"Saya bukan orang seperti itu," pungkas Kafeel sambil menyantap nasi goreng ke dalam mulut.

"Tentu saja Mas Kafeel bukan orang seperti itu. Mas Kafeel tentu saja orang baik. Buktinya Mas Kafeel mau menolong saya," imbuh Devina dengan senyum lebar menatap Kafeel.

Kafeel mengulum senyum. Lagi, lagi hatinya menghangat mendengar Devina memujinya orang baik.

Hening lagi sejenak, mereka kembali melanjutkan sarapan dengan tenang. Hanya terdengar bunyi dentingan sendok yang membentur piring memecah keheningan.

"Apa rencana kamu hari ini?" tanya Kafeel setelah sarapannya tandas, membersihkan wajah dengan tisu.

"Setelah membersihkan rumah Mas Kafeel, saya mungkin akan mencari pekerjaan," sahut Devina.

Kafeel mengangguk-angguk. "Kamu memang mau mencari pekerjaan di mana? Tahu arah?"

Devina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menggeleng.

Kafeel tersenyum sinis. "Mau mencari pekerjaan tetapi tidak tahu arah."

Devina tertunduk.

"Ini! Pakai ponsel saya. Kamu bisa gunakan maps penunjuk jalan." Kafeel menyodorkan ponselnya.

Devina menatap Kafeel. "Lalu bagaimana dengan Mas Kafeel?"

"Saya punya ponsel satu lagi. Kebetulan ponsel itu tidak saya gunakan. Jadi ponsel itu saya berikan sama kamu."

Devina menatap Kafeel dengan mata berkaca-kaca, terharu. "Mas Kafeel baik sekali. Terima kasih banyak."

"Tidak usah dramatis. Saya tidak bilang itu gratis. Kamu juga harus bayar ponsel itu jika sudah mendapatkan pekerjaan."

Wajah Devina ditekuk seketika mendengarnya. "Jika saya sudah mendapatkan pekerjaan sepertinya gaji saya selama dua bulan gaji saya hanya untuk membayar Mas Kafeel."

Kafeel tidak menganggapi, beranjak. "Baiklah kalau begitu saya pergi dulu. Good luck. Semoga kamu mendapatkan pekerjaan."

"Oh, ya, Mas Kafeel," sergah Devina ketika Kafeel sudah hendak melangkah.

Devina menggaruk kepala yang tidak gatal. "A-nu—"

"Apa yang kamu butuhkan lagi?" Kafeel menyela cepat sebelum Devina menyelesaikan kalimatnya. Melihat kebiasaan Devina yang suka menggaruk kepala Kafeel bisa menebak jika gadis itu perlu sesuatu tetapi sungkan mengatakannya. Belum empat puluh delapan jam dia mengenal kebiasaan Devina.

"Boleh saya pinjam uang. Hanya sepuluh ribu untuk membeli koran."

"Tidak usah membeli koran lagi. Gunakan saja internet. Kamu dapat mencari semua informasi dengan mudah. Termaksud lowongan pekerjaan. Kamu bisakan menggunakan internet?" ujar Kafeel, tidak urung membuka dompet.

Devina mengangguk, tidak terpikir olehnya.

"Ini! Ambil." Kafeel menyerahkan uang sembar seratus ribu kepada Devina.

Devina menggeleng, "Tidak usah, Mas. Saya tidak jadi pinjam uangnya."

"Ambil saja. Mungkin kamu butuh untuk naik kendaraan umum."

Devina ragu-ragu menerimanya. "Saya juga masukkan ini ke daftar hutang?"

"Tentu saja." Kafeel mengangguk, "Baiklah, kalau begitu saya pergi. Jangan lupa sebelum pergi rumah saya harus bersih."

"Siap bos." Devina memberi hormat.

Kafeel berdecak melihat tingkah Devina.

***

"Selamat pagi, Pak Kafeel." Airin, sekretaris Kafeel menyapa saat pria itu tiba di kantor.

"Selamat pagi," balas Kafeel dengan nada datar seperti biasa sambil menuju ruangannya.

Namun Airin yang sudah bekerja dengannya selama tiga tahun itu sudah terbiasa dengan sikap dingin Kafeel. Ia lantas mengikuti Kafeel menuju ruangannya.

"Ini ada laporan dari divisi humas mengenai rapat bulanan mereka minggu depan," tutur Airin dengan suara lembutnya. Ia meletakan dokumen di meja kerja Kafeel setelah pria itu duduk kursi kebesarannya.

Kafeel mengangguk sambil membuka dokumen yang diserahkan Airin tadi, membaca kata demi kata.

"Dan ini Surat Pengunduran diri saya, Pak." Airin meletakan amplop putih di meja kerja Kafeel.

Seketika Kafeel mendongkak, menatap Airin. "Surat Pengunduran diri?"

Airin mengangguk. "Waktu kerja saya hanya sampai bulan ini."

"Jadi kamu benar-benar serius ingin mengundurkan diri?"

"Iya, Pak. Soalnya Mas Henry meminta saya untuk tidak bekerja lagi setelah menikah. Dan sepertinya Bapak harus merekrut sekretaris baru."

Kafeel menghela napas, hanya mampu mengangguk-angguk. Dia tidak bisa mencega Airin untuk tidak berhenti. Sahabatnya dan sekaligus calon suami Airin itu akan mengamuk jika dia menolak Pengunduran diri Airin. "Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan kamu. Kamu urus saja perekrutan sekretaris baru. Sekarang kamu boleh ke meja kamu."

Dahi Airin berlipat karena Kafeel langsung menyuruhnya keluar. Biasanya pagi-pagi begini bos besarnya itu selalu memerintahkannya untuk memesan sarapan.

"Ada apa lagi?" Kafeel menghentikan kegiatannya sejenak, mengangkat wajah mendapati Airin masih terdiam di tempat.

"Bapak mau sarapan apa pagi ini?" Airin berinisiatif bertanya.

Kafeel menggeleng, "Tidak perlu. Saya sudah sarapan. Dan mungkin untuk beberapa hari ke depan kamu tidak perlu repot untuk memesankan sarapan."

"Kenapa begitu, Pak?"

"Saya pikir, kamu tidak harus tahu semua hal tentang saya. Sekarang kamu boleh kembali ke meja kerja kamu."

"Oh, maaf, Pak, kalau saya lancang," ucap Airin penuh penyesalan. "Baiklah kalau begitu saya permisi, Pak," Airin undur diri.

Kafeel melemaskan tubuhnya, menyandarkan punggung kepada sandaran kursi kebesarannya setelah Airin keluar dari ruang kerjanya.

Kafeel menghela napas panjang. Agak berat dia melepas Airin sebagai sekretarisnya. Airin sudah selama empat tahun. Pasti sulit menemukan sekretaris kompeten dan telaten seperti Airin.

Dreet.

Bunyi dering ponsel menyentak lamunan Kafeel.

Kafeel langsung mengulas senyum lebar melihat nama sang potret dan nama sang kekasih yang tertara di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama Kafeel menggeser icon hijau di layar ponselnya. Seketika layar ponselnya di penuhi wajah Anna di seberang sana yang sedang berbaring di atas kasur. Bersiap untuk tidur.

"Hai, Sayang!" Suara riang Anna langsung menyapa Kafeel di seberang.

"Hai, Sayang. Selamat pag... Maksudku selamat malam. Aku lupa kalau waktu di LA saat ini sudah malam," balas Kafeel,

"Selamat pagi juga untuk kamu yang ada di Indonesia. Kamu sedang apa? Apa kamu sudah di kantor?"

Kafeel mengangguk. "Iya, aku sudah di kantor. Baru saja sampai. Sampai. Apa kabar kamu di sana?"

Anna mengulum senyum. "Aku ada kabar baik, Sayang."

"Kabar baik?"

"Aku... Aku lulus casting, Sayang," pekik Anna, wajahnya berseri-seri, tidak henti menebar senyum. "Dan besok kami sudah mulai syuting."

"Oh, ya. Selamat, ya. Aku turut senang mendengarnya." Kafeel ikut senang mendengarnya. Dia cukup bangga dengan sang kekasih. "Berapa lama syuting."

"Jika tidak ada kendala kemungkinan proses syutingnya akan berjalan selama Sembilan bulan."

"Sembilan bulan?" Wajah Kafeel berubah masam.

Anna mengangguk, "Iya, Sayang. Lima bulan."

"Lama sekali. Lalu bagaimana dengan aku di sini. Bagaimana kalau aku rindu kamu?"Kafeel berkata lirih, menekukkan wajah.

Anna terkekeh melihat ekspresi Kafeel. "Maafkan aku. Aku tahu kamu pasti kecewa. Tetapi bisa bermain di film Hollywood adalah impian aku sejak dulu. Ini adalah kesempatan emas untuk mengembangkan bakatku pada dunia. Jadi, aku mohon mengertilah. Percayalah, aku juga sangat merindukanmu."

Kafeel mengangguk, "Ya, Sayang. Aku mengerti. Aku akan selalu mendukung karier kamu."

"Terima kasih, Sayang, kamu sudah mendukung dan mengerti aku." Anna mendesah lega mendengar penuturan Kafeel yang mau mengerti dirinya, "Baiklah, Sayang, aku sudahi dulu. Aku harus istirahat, besok aku harus mulai syuting."

Kafeel mengangguk. "Iya, baiklah. Selamat istirahat. Jangan terlalu bekerja keras. Aku tidak ingin kamu lelah. Ingat jika kamu tidak bisa menjadi artis lagi, aku masih bisa menghidupi kamu."

Anna tertawa renyah, "Baiklah, Pak Direktur. Akan aku ingat. Kalau begitu aku sudahi dulu."

Kafeel mengangguk, "I love you, and I Miss you so much."

"I miss you too."

Kafeel mendesah setelah menutup panggilan dari Anna. Wajahnya berubah ditekuk. Mendengar Anna akan berada di Los Angeles selama sembilan bulan membuat dia sedih. Artinya mereka tidak akan bertemu selama itu. Membuat dia harus menahan rindu kepada Anna. Namun dia tidak bisa meminta Anna untuk pulang. Sebagai kekasih yang baik Kafeel harus mendukung karier Anna.

***

Selesai membereskan rumah Kafeel Devina bersiap mencari kerja. Dia mematut sebentar penampilannya di kaca sebelum pergi. Menarik napas panjang.

"Semangat Devina. Semoga kamu mendapat perkerjaan hari ini," gumamnya pada pantulan diri di kaca.

Setelah itu Devina keluar kamar.

Matahari sudah terik saat Devina keluar gedung padahal masih pukul sepuluh pagi. Namun tidak menyurutkan semangat Devina untuk mencari pekerjaan.

Sebelum melangkah meninggalkan gedung Devina membuka ponsel. Melihat tujuannya di google maps yang sempat dia cari di internet tadi sesuai saran Kafeel.

Tujuan pertama Devina tidak terlalu jauh. Masih sekitar kawasan apartemen Kafeel, yang masih dia jangkau dengan berjalan kaki.

Namun mencari pekerjaan tidak mudah. Sepanjang hari Devina mencari, tetapi semua tempat yang ia datangi tidak satu pun menerimanya. Menolak karena Devina tidak memiliki Resume.

"Tetapi saya bisa bekerja dengan baik, Mas. Saya anak yang rajin dan jujur," bujuk Devina kepada seorang Manajer sebuah restoran yang kesekian kalinya Devina datangi.

Manajer seorang pria paruh baya itu menggeleng, "Kami tidak bisa, Mbak. Jika Mbak benar-benar ingin bekerja, Mbak harus membawa Resume. Kami tidak ingin mengambil resiko. Di jaman sekarang ini banyak sekali penipuan."

"Tolonglah, Mas. Saya benar-benar butuh pekerjaan." Devina masih memohon.

Pria paruh baya itu menggeleng. "Maaf, Mbak. Kami tidak bisa. Sekarang silakan tinggal restoran ini."

"Benar-benar tidak bisa, ya, Pak."

Pria itu menggeleng lagi.

"Baiklah begitu saya permisi, Pak." Devina beranjak, keluar dari restoran itu dengan ruat kekecewaan.

Setelah keluar restoran itu Devina menghembus napas kasar. "Sepertinya aku tidak mendapatkan pekerjaan tanpa data diri. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menemui Sari untuk mengambil data diriku?" Devina menggeleng kuat. Itu bukan ide yang tepat. Bagaimana jika dia kembali ke sana Sari masih ingin menjualnya kepada muncikari.

Devina lalu mendongkak matahari yang mulai jingga yang mulai menuruni kaki langit. Sepertinya dia harus segera pulang untuk masak makan malam sebelum Kafeel pulang.

"Baiklah. Hari ini cukup sampai di sini dulu. Kamu jangan pantang menyerah. Besok kamu pasti akan mendapatkan pekerjaan tanpa data diri. Pasti." Devina bermonolog, memberi semangat kepada dirinya sendiri.

Meski kecewa belum mendapat pekerjaan karena terhambat tidak memilik resume Devina tetap mengukir senyum di wajahnya. Berpikir posistif.

Dalam perjalanan pulang ketika hendak menyeberangi jalan raya Devina bertemu dengan Kakek-kakek bertongkat yang juga hendak menyeberangi jalan raya. Karena kasihan pada kakek itu Devina membantu kakek itu menyeberang dengan memapah tubuh ringkih itu. Padahal dia sangat buru-buru karena matahari yang mulai tenggelam. Takut jika Kafeel sudah pulang lebih dulu. Tadi dia tidak sempat bertanya pukul berapa Kafeel pulang.

Aksi heroik kecil Devina mencuri perhatian seorang pria paruh baya di dalam mobil yang hendak melintas.

"Gadis yang baik. Andai aku punya menantu sepertinya," gumam pria itu.