Devina terduduk lemas di halte yang tidak jauh dari kawasan apartemen elit Kafeel. Dia tidak tahu harus melangkah ke mana. Selain tidak punya tujuan, Devina juga tidak tahu jalan. Belum lagi dia tidak punya uang sepeser pun. Tidak punya apa-apa. Dia juga tidak punya kerabat dan kenalan di kota selain Sari. Dan dia tidak akan mungkin menghubungi tetangganya itu setelah semua yang terjadi. Lantas, siapa orang yang harus dia minta tolongi? Minta tolong kepada sembarang orang pun tidak mungkin, dia masih sangat baru di kota. Baru semalam menginjakkan kaki. Bagaimana jika dia tipu, diculik, diperkosa, dan jual? Di berita hal seperti itu kerap sekali terjadi di kota. Dan Devina tidak ingin hidupnya berakhir mengenaskan.
Devina menghembus napas kasar. Lantas, apa yang harus dia lakukan kota besar ini? Tanpa permisi air mata Devina mengenang di pelupuk mata. Menangis kemalangan hidupnya. Niatnya datang ke kota mencari pekerjaan agar kehidupan ekonomi keluarganya lebih baik, dia justru menjadi gelandangan. Belum lagi penampilannya sudah persis seperti gembel.
"Ibu...," desis Devina, menangkup wajahnya dengan telapak tangan, menahan isak, "Devina ingin pulang."
Kafeel yang sedang melajukan mobil melintasi halte tidak sengaja melihat Devina ysng tertunduk dengan bahu yang bergetar. Hingga dia melewati halte Kafeel terus menatap Devina dari spion. Gadis itu tidak beranjak sedikit pun hingga bus kota berhenti dan melaju kembali.
Kenapa gadis itu masih di sekitar sini? Apa benar gadis itu tidak punya tempat tujuan? Tanya Kafeel dalam hati. Ah, kenapa pula aku harus peduli. Kafeel tetap melajukan mobilnya.
***
"Apa kamu benar-benar tidak bisa menerima lamaran aku, An? Apa kamu benar-benar harus pergi?" tanya Kafeel pada sang kekasih yang bernama Anna itu.
Kini Kafeel dan sang kekasih sedang berada di ruangan executive louge bandara. Menunggu penerbangan sang kekasih yang akan lepas landas sepuluh menit lagi.
Perempuan bernama Anna itu menggeleng, "Maafkan aku, Feel. Aku benar-benar tidak bisa. Aku belum ingin menikah. Aku masih mau meraih impian aku."
"Coba kamu pikirkan lagi, Anna. Gajiku sebagai Presiden Direktur lebih dari cukup untuk menafkahi kamu. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau tanpa perlu bekerja keras. Harta orang tuaku tidak akan habis." Kafeel masih bersikukuh membujuk.
Anna menghembus napas kasar, "Aku tahu kamu bisa menafkahi aku. Tetapi Go Internasional adalah impian aku sejak dulu. Impian semua artis. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mohon mengertilah aku, Feel."
Kafeel mendesah kecewa. "Baiklah jika itu maumu. Aku mengerti."
"Maafkan aku, Feel," ujar Anna lirih, memeluk Kafeel. Dia tahu kekasihnya itu kecewa. Jujur saja, sebenarnya dia sangat ingin menerima lamaran Kafeel. Menjadi istri seorang Kafeel Pramudya yang penuh pesona, plus tajir melintir adalah impian semua kaum hawa. Tetapi menjadi aktris Internasional adalah impiannya. Dia ingin dikenal seluruh dunia. Kesempatan seperti ini tidak datang dengan mudah, dan dia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja.
Kafeel mengangguk, memaksakan seulas senyum. Bagaimana pun dia harus menghargai keputusan sang kekasih. "It's, ok. Aku mengerti. Sekarang pergilah."
"Sekarang harus chack in. Sebentar lagi pesawat aku take off." Anna melepas pelukan, melirik jam di pergelangan tangannya.
Kafeel mengangguk, "Baiklah. Good luck for you. Semoga castingnya berjalan dengan lancar. Jangan lupa hubungi aku jika sudah sampai."
"Terima kasih doanya. Aku pasti akan menghubungimu jika sudah sampai nanti. Dan kamu jangan nakal di sini."
"Jangan takut! Aku tidak akan tergoda dengan wanita lain. Bagaimana aku harus berpaling dari wanita secantik kamu," ucap Kafeel sambil menyampirkan rambut yang menutupi sebagian wajah kanan Anna, agar dia dapat memandang keseluruhan wajah cantik sang kekasih.
Wajah Anna merona, tersipu. Seorang Kafeel begitu terpesona tentu saja membuatnya bahagia. Dia merasa wanita paling cantik di dunia ini.
"Sekarang pergilah. Sebentar lagi pesawatmu akan take off. Aku akan sabar menunggu kepulanganmu."
Sebelum pergi, sekali lagi Anna memeluk Kafeel dengan erat. Berat meninggalkan sang kekasih. Jika nanti dia lulus casting mereka akan lama berjumpa. Sembilan bulan. Itu artinya mereka harus menahan rindu karena berhubungan jarak jauh.
"Aku pergi dulu," ucap Anna setelah melepaskan Kafeel.
Kafeel mengangguk. "Good luck."
Dengan berat Anna meninggalkan Kafeel menuju terminal bandara, tak henti dia menoleh ke belakang sambil melambai.
Kafeel balas melambai sampai kelabat Anna menghilang.
***
Setelah dari bandara Kafeel melesat kelapangan tenis untuk menyalurkan hobinya setiap akhir pekan. Sekaligus menghilangkan penat.
Selain ia sedih karena ditinggal Anna, yang pasti akan membuatnya rindu tidak menatap sang kekasih. Kafeel juga merasa tekanan yang dahsyat karena belum mengabulkan permintaan sang papa. Waktunya sudah sangat singkat. Terhitung dua minggu lagi. Sedangkan ia tidak punya calon untuk diajak menikah. Anna telah menolaknya, memilih mengejar karier dari pada dirinya. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia tidak akan melepas jabatan Presiden Direktur dengan suka rela setelah kerja kerasnya selama ini. Dan yang pasti papanya tidak main-main dengan ancamannya. Dia cukup kenal bagaimana seorang Farhan Pramudya yang teguh pendirian.
Kafeel menghembus napas kasar, memukul bola dengan keras. Bagaimana caranya mencegah rencana Papa? Kafeel tidak menemukan jalannya.
Keringat Kafeel sudah bercucuran di wajah, napasnya juga sudah terengah. Tetapi Kafeel tidak niat berhenti bermain. Ia terus bermain sampai kelelahan hingga tubuhnya terkapar di lapangan tenis. Ia menatap langit biru dengan napas menderu. Hingga ponsel di saku celananya bergetar singkat menandakan ada pesan masuk.
[Henry: Clubing malam ini, yuk]
Begitulah pesan yang tertara di notif layar ponselnya dari Henry. Salah satu karibnya.
Kafeel lekat bangkit tanpa membalas chat dari Henry. Pulang. Dia harus berganti baju untuk berkumpul dengan teman-temannya di kelap malam langganan mereka. Sepertinya alkohol dapat menenangkannya.
***
"Kamu!" Kafeel berseru tertahan ketika sampai di unit apartemennya, ia melihat seseorang yang tidak asing berjongkok di depan pintu unitnya.
Orang itu lantas menoleh mendengar seruan Kafeel. Berdiri.
"Kamu kenapa masih di sini?" tanya Kafeel setengah tak percaya sambil mendekati gadis itu.
"Aku benar-benar tidak tahu harus ke mana," jawab orang itu tidak lain adalah Devina.
Setelah sejam lebih duduk di halte, Devina kembali ke unit apartemen Kafeel. Dia benar-benar tidak punya tujuan hingga memutuskan untuk kembali ke apartemen Kafeel. Mengetok pintu. Namun pintu tidak kunjung terbuka. Akhirnya dia menunggu kepulangan Kafeel.
"Tolong, aku! Aku benar-benar tidak punya tempat tujuan, tidak tahu jalan, dan tidak punya apa-apa," lirih Devina berucap. Cairan bening menumpuk di bola mata lentiknya, hingga jatuh tak tertahan. Pilu dengan kehidupannya.
Rasa kesal Kafeel menguap di udara melihat mata indah Devina yang berkaca-kaca. Ada rasa simpati menyelusup hatinya melihat kesedihan gadis itu. Ia tahu di hadapannya itu sedang tidak berbohong. Dia dapat membaca kejujuran dari gurat wajah kesedihan perempuan itu.
Kafeel mendesah, menekan passcode apartemennya. "Baiklah, silakan masuk. Kita bicara di dalam."