Chereads / Menikah Dengan Direktur. / Chapter 2 - Negosiasi

Chapter 2 - Negosiasi

Di ufuk timur, matahari dengan malu-malu menaiki kaki langit dengan warna jingga. Siap menyambut hari yang cerah. Menutup malam yang gelap.

"Eungh." Seorang perempuan dia bawah selimut tebal melenguh. Terusik dari tidurnya yang lelap oleh sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela kaca.

Perlahan perempuan itu membuka matanya, membiasakan sinar matahari dan cahaya lampu yang masuk ke retinanya. Ketika matanya terbuka sempurna pandangan perempuan itu menyapu setiap sudut ruangan.

Perempuan itu tidak lain adalah Devina. Dia sontak beringsut duduk ketika menyadari bahwa berada di tempat asing. Di sebuah kamar mewah bergaya maskulin khas pria. Serta berada di atas ranjang yang berukuran king size. Dalam mimpi pun Devina bahkan tidak pernah membayangkan berada di tempat seperti ini.

Di mana ini? Kenapa aku ada di sini? Devina bertanya dalam hati. Ia lalu mengingat kejadian semalam sebelum dia tidak sadarkan diri.

Ya, Tuhan! Devina mendesis kalah ingatan semalam menari di otaknya. Tragis sekali kehidupannya. Niatnya datang ke kota untuk mencari pekerjaan, dia justru hampir berakhir di tangan muncikari. Dia tidak menyangka jika Sari tega menjual dirinya kepada muncikari.

Devina adalah sulung dari dua bersaudara, usianya baru sembilan belas tahun. Lima bulan lalu baru lulus SMA. Ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu. Beberapa bulan ini ibunya sering jatuh sakit, tidak bisa lagi mencari nafkah. Sebab itulah Devina datang ke kota menemui Sari, tetangganya di kampung untuk mencari pekerjaan.

Kabar Sari yang sukses di kota menjadi desas-desus di kampung halaman. Gadis yang empat tahun lebih tua dari Devina itu sudah dapat membedah rumah orang tuanya yang kubuk menjadi bak istana dalam waktu empat tahun. Tanpa tahu apa pekerjaan Sari yang sebenarnya di kota. Sari bercerita kepada pada orang-orang di kampung jika ia bekerja di kantoran. Di perusahaan besar. Orang kampung percaya saja. Karena itulah Devina datang menemui tetangganya itu di kota. Berharap dapat menyusul jejak Sari.

Tetapi siapa yang menduga jika pekerjaan Sari yang sebenarnya di kota adalah wanita penghibur. Devina hampir saja terjerumus dalam kegelapan oleh jebakan Sari. Untung saja dia dapat melarikan diri. Selamat dari kejaran dua pria berbadan kekar berpakaian hitam itu.

Selamat? Eh, tunggu dulu. Benarkah dia selamat sekarang? Bagaimana jika dia tidak sadarkan diri semalam para pria berotot itu menangkapnya? Mereka yang membawa ia kemari? Jangan, jangan dia sudah di sentuh orang yang membelinya? Mengingat kini dia berada di kamar mewah. Persis seperti di adegan film yang pernah dia tonton. Dia dibawa ke hotel. Mendadak Devina merasa cemas, dengan refleks dia menyingkap selimut untuk memeriksa tubuhnya.

Devina mendesah lega menemukan dia masih berpakaian lengkap. Apa itu artinya dia masih perawan?

Ceklek.

Bunyi knop pintu di putar. Devina menoleh ke sumber suara. Siapa? Hatinya bertanya cemas.

Pintu di buka dengan pelan, menampilkan sosok pria rupawan.

Beberapa detik tatapan mereka bertemu. Sejenak Devina terpanah dengan ketampanan pria itu. Pria berperawakan tegas itu memiliki mata elang mengintimidasi, alis tebal, hidung mancung, serta rahang yang kokoh menunjukkan kesan tegas. Pria itu bak selebritas yang pernah dia lihat di televisi.

Jangan katakan jika pria tampan ini adalah pria yang membelinya. Jika benar begitu dia rela menyerahkan diri pada pria itu. Eh, Devina! Kamu mikir apa, sih? Devina merutuki pikiran kotornya.

"Argh." Detik berikutnya Devina berteriak kalah melihat pria itu hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Hingga bagian tubuh yang atas pria itu terpampang jelas di mata Devina. memamerkan otot-otot tubuhnya yang atletis.

Pria itu terkesiap mendengar teriakan Devina. Apa yang salah? Dia lalu melangkah mendekati Devina.

Seketika itu juga Devina menjadi panik, menarik selimut sampai ke atas dada untuk menutupi tubuhnya. "Kamu mau apa? Jangan mendekat! Jangan macam-macam kamu sama saya."

Dahi pria itu mengernyit, berhenti tepat di depan lemari. "Siapa yang ingin macam-macam sama kamu? Tertarik saja lagi tidak," ujar itu dengan angkuh.

Devina mendesah lega. Wajahnya yang tadi tegang melonggar sudah.

"Karena sekarang kamu sudah sadar. Cepat bangun! Tunggu saya di luar. Saya mau berpakaian dulu. Kita akan meluruskan kejadian semalam," ujar pria itu dengan dingin.

"Oh, iya, baiklah." Devina tergesa turun dari ranjang, berlari menuju pintu di yang tepat berhadapan pintu. Yang dia duga pintu keluar.

"Jangan lupa tutup kembali pintunya," pesan pria itu.

Devina mengangguk sebelum dia mencapai ganggang pintu.

***

Devina terperangah ketika keluar kamar melihat seluruh isi rumah pria itu. Tidak terlalu luas. Sedikit lebih luas dari rumahnya di kampung. Tetapi setiap sudut ruangan di dilengkapi dengan furniture yang mewah.

Woah! Devina bergumam pwnuh kagum. Matanya menyapu setiap sudut ruang. Disebelah kanannya berdiri ada dapur yang di lengkapi bar stool, dan sebelah kirinya ruang teve. Jangan lupakan jendela kaca yang berukuran besar menampakkan pemandangan kota di sebelah ruang teve.

Devina melangkah pelan, dengan ragu ia mendudukkan pantatnya di sofa yang berada diruang teve. Seolah takut sofa itu rusak jika dia duduki. Matanya tidak lepas menelaah setiap ruang. Tiada bosan. Sungguh-sungguh menakjubkan dia berada di tempat seperti ini. Tempat yang selama ini dia lihat di teve.

Tidak lama pria tadi keluar kamar mengenakan kaos berwarna kemeja biru berlengan panjang yang ia gulung sampai ke siku. Dipadu dengan celana Jean berwarna hitam membuat pria itu begitu berkarisma. Tentu saja ketampanan pria itu semakin berlipat-lipat ganda, membuat Devina terpesona.

Ah, Devina sadarlah. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memuja.

Sebelum menghampiri Devina pria itu menuju dapur untuk mengambil mengambil minuman. Namun sorot mata tajam pria itu tidak henti mengawasi Devina.

"Ini! Silakan di minum dulu." Pria itu menyerahkan segelas jus jeruk kepada Devina, lalu duduk di hadapan gadis itu.

Devina menerimanya tanpa sungkan, meneguknya hingga tandas. Dia memang sangat haus. Karena menjerit semalam kerongkongannya menjadi kering.

Setelah minuman yang di tegaknya habis, Devina meletakan gelas di meja dengan pelan.

Mereka berdua saling menatap sejenak sebelum membuka percakapan. Pria itu menatap Devina intens dengan mata elangnya, membuat Devina gugup.

"Baikalah, kita langsung saja. Aku Kafeel," ujar Pria itu, memperkenalkan diri.

"Aku Devina. Apa yang terjadi semalam?" Devina gugup bertanya.

"Semalam kamu tiba-tiba melintas di depan mobil saya. Hampir saja saya menabrak kamu. Karena syok, kamu jadi pingsan. Karena kamu tidak memiliki alamat untuk di tuju, jadi saya membawa kamu ke rumah saya," papar Kafeel.

Devina mendesah lega. Ternyata pria di hadapannya itu rupanya adalah orang yang hampir menabraknya semalam. Bukan pria yang membeli tubuhnya. Itu artinya dia selamat dari dua pria yang mengejarnya semalam.

Kafeel membenarkan posisi duduknya, mencondongkan tubuhnya, mata elangnya menatap Devina tajam. "Karena kamu tidak mendapatkan luka-luka. Jadi, saya tidak harus membayar kompensasi. Bukankah salah kamu sendiri yang tiba-tiba melintas di depan mobil saya? Bukan salah saya, kan?"

Devina mengangguk-angguk, "Iya, saya tidak apa-apa. Saya justru berterima kasih karena Anda telah menolong saya."

Mata Kafeel memicing. Untuk apa wanita ini berterima kasih? Bukankah sudah sewajarnya dia menolongnya, karena hampir terserempet oleh mobilnya. Namun Kafeel enggan membahasnya, memilih mengangguk-angguk.

"Jadi sekarang masalah kita sudah selesai? Kamu tidak akan menuntut saya?" tanya Kafeel.

Devina lagi-lagi mengangguk.

Kafeel mendesah lega, "Ok. Karena masalah kita sudah selesai aku rasa sebaiknya kamu pulang. Saya sebentar lagi juga harus pergi."

"Eh? Pulang?" Devina menggaruk kepalannya yang tidak gatal. Teringat jika dia tidak punya tempat untuk di tuju. Ke mana dia harus pulang? Dia tidak tahu jalan. Pulang ke kost Sari pun tidak mungkin. Sahabatnya itu pasti akan menjualnya lagi. Lalu ke mana dia harus pergi? Dia tidak punya apa-apa. Tasnya selama terjatuh entah di mana waktu dia melarikan diri.

"Ada apa?" tanya Kafeel melihat raut kebingungan di wajah Devina.

"Ak-u... Ak-u sebenarnya tidak punya tempat tinggal," ucap Devina ragu-ragu.

"Maksud kamu?"

"Aku dari kampung, baru tiba semalam. Lalu teman saya langsung membawa saya ke sebuah kelap malam. Dia hendak menjual saya ke muncikari. Sebab itu saya berlari melintas di depan mobil Anda karena saya di kejar oleh dua pria berbadan kekar," jelas Devina.

Mata Kafeel memicing mendengar cerita Devina. Ah, kasihan sekali gadis ini. Tetapi sayangnya Kafeel tidak percaya dengan cerita gadis di hadapannya itu. Ini pasti trik untuk mendapatkan kompensasi yang lebih besar.

"Lalu?"

"An-u. Boleh saya minta tolong? Boleh saya pinjam uang untuk mencari tempat tinggal. Saya akan menggantinya jika sudah mendapatkan pekerjaan."

Kafeel menyeringai lebar. Bingo. Tebakannya tidak meleset. Tadi bilang tidak apa-apa, sekarang justru meminjam uang. Apa lagi kalau ini bukan sebuah trik untuk memerasnya. Dan dia tidak akan tertipu oleh trik murahan seperti itu.

"Apa jaminannya jika saya meminjamkan kamu uang? Kamu bahkan tidak memiliki identitas, bisa saja membawa kabur uang saya tanpa mengembalikannya."

Devina mendesah. Kafeel benar. Dia tidak punya apa-apa untuk di jadikan jaminan. Tentu saja pria itu tidak akan percaya meminjamkan uang kepada orang yang tanpa identitas.

Kafeel menyeringai melihat keterpakuan Devina. Gadis tadi pasti berpikir aku pria yang bodoh, yang muda di tipu, gumam Kafeel dalam hati.

"Tolonglah saya, Mas. Saya memang tidak punya identitas, tetapi saya adalah orang yang jujur. Saya janji, kalau saya sudah mendapatkan pekerjaan, saya akan mengembalikannya. Kamu bisa pegang janji saya."

Kafeel menggeleng, "Maaf. Saya tidak bisa meminjamkan orang uang kepada sembarangan orang. Sekarang ini banyak sekali kasus penipuan."

"Kalau begitu izinkan saya tinggal di sini sementara, Mas, sampai saya menemukan pekerjaan. Saya benar-benar tidak punya tempat tinggal untuk di tuju. Saya tidak mungkin kembali ke rumah teman saya. Dia bisa saja menjual saya lagi."

Mata Kafeel membeliak mendengar permintaan perempuan itu. Gadis ini sungguh cerdas membuat trik, dan dia tidak akan tertipu.

"Tolong, Mas. Izinkan saya tinggal di sini untuk sementara waktu."

Kafeel menggeleng. "Maaf, Nona, saya tidak bisa. Saya ini lelaki tinggal seorang diri, Anda perempuan. Apa kata orang jika mengetahui saya tinggal di sini bersama seorang perempuan –"

"Hanya untuk sementara waktu sampai saya mendapatkan pekerjaan." Devina menyela cepat, "Saya mohon, Mas! Tolonglah saya."

Kafeel menggeleng lagi, "Maaf, Nona, saya tidak bisa. Sekarang silakan Anda pergi, saya juga harus pergi."

"Saya mohon!" Devina tiba-tiba bersimpuh, menangkupkan telapak tangan di depan dada, "Saya mohon! Izinkah saya tinggal. Saya benar-benar tidak punya tempat untuk dituju."

"Saya tidak bisa, Nona. Silakan pergi." Kafeel menggeleng, walau Devina memasang wajah memelas dia tidak akan tertipu.

"Tolonglah saya, Mas! Saya mohon! Saya benar-benar tidak punya tempat untuk di tuju. Saya tidak akan tinggal cuma-cuma di sini. Saya bisa menyapu, mengepel, memasak, dan mencuci." Devina mencoba bernegosiasi. "Nanti jika saya sudah mendapatkan pekerjaan, saya juga akan membayar upah selama saya tinggal."

Kafeel tersenyum simpul.

Melihat senyum Kafeel membuat secercah harapan di hati Devina. Namun sayang harapannya menguap di udara ketika Kafeel beranjak menuju pintu, membukanya dengan lebar.

"Maaf, Nona. Saya tidak bisa! Sekarang silakan Anda pergi.

Devina menghela napas panjang. Pria ini sama sekali tidak maskulin seperti wajahnya. Dengan berat hati Devina beranjak ke arah Kafeel. Sebelum keluar dia menatap Kafeel sejenak dengan tatapan memelas.

Kafeel menggeleng, merentangkan tangan kanannya, memberi interupsi agar Devina segera keluar.

Devina menghembus napas kasar. Kafeel benar-benar tidak punya belas kasih.

"Selamat tinggal, Nona. Semoga harimu menyenangkan," ujar Kafeel sebelum menutup pintu.

Devina menatap nanar pintu apartemen Kafeel yang tertutup rapat itu. Sekarang ke mana dia harus pergi.

"Penipu jaman sekarang benar-benar pintar," ucap Kafeel di balik pintu.

***

Tok... Tok... Tok.

Pintu apartemen Kafeel di ketuk ketika pria itu hendak menuju kamar. Dengan malas Kafeel kembali ke arah pintu sambil mengumpat. "Apa orang itu kulot? Jelas ada bel, kenapa dia masih menggunakan cara mengetok?"

Ceklek.

"Kamu?" Kafeel berseru tertahan mendapati bahwa Devina yang mengetok pintunya.

Devina memasang cengiran lebar, "Maaf, mengganggu."

"Ada apa lagi?" Kafeel bertanya ketus.

"An-u. Boleh saya meminjam baju. Saya tidak mungkin pergi dengan pakaian seperti ini." Devina bergerak gelisah, menarik ujung dress mini yang dia pakai agar menutupi paha bagian dalamnya. Tadi dia sudah hendak melangkah, tetapi ada pria yang melintas menetapnya dengan intens. Devina baru menyadari jika masih mengenakan dress mini semalam.

Kafeel melirik penampilan Devina, dia menelan ludah. Dia juga baru menyadari jika penampilan Devina sangat menggoda. Sebagai lelaki normal tentu saja itu mengundang hasrat di dalam diri Kafeel. Semalam saja Kafeel mati-matian menahan hasratnya saat memindahkan Devina ke atas ranjang. Jika saja dia tidak teringat akan kekasihnya, Kafeel pasti sudah menerjang Devina.

"Baiklah, masuk!" Kafeel melangkah ke kamar.

Devina kembali melangkah masuk, mengekor Kafeel.

"Pakailah ini. Ambil saja, tidak usah dikembalikan." Kafeel menyerahkan baju kaos dan celana trainingnya kepada Devina, lalu keluar meninggalkan Devina di kamar untuk berganti pakaian.

Tidak lama Devina keluar dengan pakaian kafeel yang kebesaran di badannya. Tubuh Devina nyaris hilang ditelan oleh pakaian Kafeel.

Kafeel mati-matian menahan tawa agar tidak meledak. Jelas saja bajunya akan kebesaran dipakai Devina. Secara tubuhnya yang menjulang tinggi hampir dua meter itu mana pas dengan tubuh Devina yang mungil hanya setinggi dadanya.

Kafeel sebenarnya bisa saja meminjamkan pakaian kekasihnya yang ada di lemarinya. Tetapi apa yang akan dia katakan jika kekasihnya bertanya ke mana salah satu bajunya? Kafeel tidak mungkin menjawab jika ia meminjamkannya kepada seorang gadis. Kekasihnya bisa saja menuduhnya yang tidak-tidak. Menuduhnya telah berselingkuh. Kafeel tidak ingin mengambil resiko.

"Apa kamu tidak punya pakaian lain," protes Devina. Dia kini terlihat seperti orang gila.

"Kalau kamu tidak mau, kamu bisa mengganti pakaian kamu lagi."

Devina mendesah pasrah.

"Sekarang kamu tunggu apa lagi, cepat pergi. Aku juga harus pergi," usir Kafeel."

Devina menatap dongkol Kafeel. Pria ini dasar menyebalkan.

"Apa yang kamu lihat? Cepat pergi!"

"Iya, iya. Aku pergi." Devina mendesis, melangkah keluar. Ia menatap nanar pintu apartemen Kafeel yang kembali tertutup rapat. "Dasar pria tidak punya hati nurani. Apa dia tidak perasaan empati dengan gadis malang sepertiku ini?"

Sedangkan Kafeel terbahak-bahak di balik pintu. Menertawakan penampilan Devina yang mengenakan pakaiannya. Jika saja rambut panjang Devina kusut, gadis itu sudah persis seperti orang gila.

***

Tok... Tok... Tok.

Belum redah tawa Kafeel pintu apartemennya kembali di ketok. Yang otomatis menghentikan tawa Kafeel.

"Apa lagi sih mau gadis ini?" decak Kafeel sambil menuju pintu. Dia sudah hafal bunyi ketokan itu. Karena Devina-lah orang bodoh yang masih menggunakan cara mengetok. Padahal jelas-jelas di luar sana dia sudah memasang bel.

"Aku tidak tahu arah jalan keluar dari gedung ini," ujar Devina ketika pintu apartemen Kafeel kembali terbuka. Gadis itu kebingungan mencari jalan keluar. Gedung itu sangat luar, dia tahu mau ke arah mana.

Kafeel menghembus napas kasar. "Kamu jalan lurus, sepuluh meter dari sini lalu belok kanan. Beberapa langkah kemudian kamu akan menemukan lift."

Devina mengangguk. "Terima kasih."

Kafeel mengangguk, kembali menutup pintu. Masuk kamar. Dia harus bersiap pergi menemui sang kekasih yang hari ini katanya harus berangkat ke Los Angeles untuk mengikuti casting. Sekalian membujuk sang kekasih sekali lagi agar mau menikah dengannya. Dan membatalkan kepergiannya.

"Oh, sial. Gara-gara gadis itu aku hampir terlambat." Kafeel mendesis, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Sedangkan penerbangan sang kekasih pukul setengah sebelas.

Kafeel bergegas keluar kamar. Tepat ketika ia membuka pintu apartemennya, tangan mungil Devina yang hendak mengetok pintu menggantung di udara.

"Kamu? Kamu belum pergi juga? Sekarang kamu mau apa lagi?" Kafeel berseru jengkel, dia benar-benar tidak punya waktu.

"Maaf. Aku tidak cara menggunakan lift. Apa ada jalan lain?" Devina lagi-lagi nyengir lebar, menggaruk kepala yang tidak gatal.

Mata Kafeel membeliak tidak percaya. Apa gadis ini benar-benar kampungan? Mengoperasikan lift saja tidak bisa.

"Baiklah ikut aku." Kafeel mendengus kesal, gadis ini benar-benar merepotkannya.

Devina mengekori langkah Kafeel. Agak berlari, karena langkah Kafeel yang lebar membuat dia tertinggal beberapa langkah.

"Kita sudah sampai. Sekarang kamu bisa keluar," ujar Kafeel setelah lift mereka berhenti di lobi apartemen.

Devina mengangguk, mengucapkan terima kasih sebelum keluar.

"Semoga aku tidak bertemu gadis kampungan itu lagi," gumam Kafeel sambil menatap punggung Devina sebelum lift tertutup. Dia melanjutkan ke basemen untuk mengambil mobilnya.