23. Tamparan dari Suami
Aduh, bagaimana ini?
Ramdan menghampiri dengan napas menderu. Wajahnya memerah. Sudah pasti dia marah lantaran aku tidak mengabarinya sampai sore.
Tunggu! Bukankah aku sudah meminta Lulu untuk menyampaikan ijinku ke Ramdan? Aku juga tidak memberitahu ada di rumah sakit mana. Bagaimana Ramdan bisa tau aku ada di sini?
"Eh, Mas Ramdan. Ini aku baru mau—"
PLAK!
Aku membulat tak percaya.
Barusan, Ramdan menamparku? Apa salahku sampai dia menamparku di tempat umum seperti ini?
Kupegang pipi kananku yang memanas. Rasanya sakit. Seumur-umur aku belum pernah ditampar oleh orang lain selain bapakku sendiri.
"Mas, udah! Kalau ada masalah bisa dibicarain baik-baik." Bukannya khawatir, Ramdan justru membuang muka melihat Arqom memberi benteng serta perhatian untukku. Malahan pria bukan mahram yang mengkhawatirkanku.
Aku tersenyum tipis. Hampir saja air mataku lolos jika tidak cepat kuseka. Kutatap kedua wajah pria yang ada di hadapanku.
"Aku gak apa-apa kok, Aq. Kamu balik aja, pasti capek habis kerja." Aku menyuruh Arqam cepat-cepat pergi sebelum kemarahan Ramdan bertambah. Meski tak rela meninggalkanku yang habis ditampar oleh Ramdan, dengan berat hati Arqam meninggalkan kami berdua.
Tapi ketika tubuhnya sejajar dengan suamiku, ia berbisik, "Jangan sampai Nufus minta cerai dari lo gara-gara sifat egois lo. Inget itu."
Ramdan tak bisa membalas sebab Arqam langsung pergi menuju lift. Kupastikan sampai punggung temanku menghilang dari hadapanku, barulah tatapanku terarah pada Ramdan.
"Aku khawatir sama kamu sampai mau gila rasanya tapi kamu malah berduaan sama pria lain di rumah sakit? Di depan Lulu kamu teleponan sama pria lain. Itu masih di rumah orang tuaku, lho, Nu kalau kamu lupa. Untung ayah dan ibuku gak lihat tapi mereka tau karena aku mencarimu setelah metik cabai di kebun."
Ramdan langsung memberondongku dengan berbagai tuduhan palsu. Sakit hatiku mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya. Tak biasanya Ramdan bersikap demikian. Lebih baik aku diam dan mendengarkan amarahnya. Mungkin kesalahanku memang fatal.
"Aku telepon kamu gak diangkat. Lulu sampai ikut nyariin kamu tadi. Untung ibuku berhentiin dia. Coba kalau engga. Sampai malem pun gak bakal ketemu orang kamu malah asik ngobrol sama pria lain di belakangku."
Ramdan maju satu langkah. Ia benar-benar tak mengijinkanku berbicara, membantah semua tuduhan itu.
"Kalau aku ada salah harusnya kamu bilang. Kamu tegur aku. Kita selesaiin baik-baik di rumah. Tapi kamu malah pergi. Sebegitu gak berharganya aku sebagai suamimu?"
Ia mengacak rambutnya frustrasi ketika melihatku terus-terusan menunduk. Citraku di mata Ramdan memang sudah buruk. Terserah ia mau mengataiku apa.
"Aku—"
"Beruntung aku punya kontak temen-temenmu. Lami yang ngasih tau aku di mana kamu berada. Gila kamu. Pernah gak kamu mikir perasaanku lihat kamu selingkuh di belakangku?"
"Kita bicarain di rumah, Mas. Malu dilihatin pengunjung," ucapku mengingatkan. Tak tanggung-tanggung, aku menarik tangan suamiku untuk ikut keluar dari rumah sakit. Semoga Naya dan Lami tidak mendengar pertengkaranku dari dalam.
"Kenapa? Kamu malu aibmu terbongkar di sini?" Kami kompak melihat sekeliling. Beberapa pengunjung tampak tertarik melihat pertengkaran kami. Sungguh, aku benar-benar malu. Tega sekali Ramdan mempermalukanku di depan umum.
"Mas! Biar aku jelasin di rumah."
Baru sampai depan lift, Ramdan menyentak tanganku kasar.
"Di sini aja. Biar lebih jelas. Kamu tau aku orangnya gak sabaran. Bisa-bisa aku kehilangan akal kalau menunggu alasanmu sampai rumah."
Ya Tuhan. Suamiku kasar sekali padaku.
Mana Ramdanku yang penyayang? Pemalu ketika kudekati untuk diajak beribadah. Mana Ramdan yang dulu selalu mendukungku dan percaya padaku? Mengapa semuanya raib oleh satu kesalahpahaman yang belum sempat kujelaskan padanya?
Aku tersenyum miris, menatap Ramdan dengan mata berkaca-kaca. Segera kubentangkan jarak di antara kita agar Ramdan tak main fisik lagi padaku.
"Kamu udah puas ngomong?" tanyaku sedikit kasar. Lihat saja, Mas. Aku tak akan membiarkanmu buka mulut sampai aku selesai bicara.
Ramdan menatapku angkuh.
"Aku gak bakal bertele-tele. Berhenti menuduhku selingkuh karena aku gak selingkuh!"
"Kamu pikir—"
"Sumpah demi Allah aku tidak berniat selingkuh karena kita terikat hubungan yang sah di mata agama. Memang benar di rumahmu aku sempet mendapat telepon dari mas Widi. Dia nyuruh aku ambil surat ijin mba Naya di rumah karena mba Naya kecelakaan." Kulihat Ramdan terdiam dengan sorot mata bersalah. Akan kubuat kau menyesali ucapanmu, Mas!
"Kamu tau sendiri 'kan mereka udah gak punya orang tua. Kamu lebih kenal sifat Widi daripada aku. Dia ada proyek yang harus dikerjain biar bisa balik ke rumah orang tua angkatnya."
"Aku tau dia pasti repot balik sana-sini jadi minta tolong sama aku. Aku yang ngeiyain permintaannya buat jagain mba Naya di sini. Asal Mas tau, mba Naya kena gagar otak karena kecelakaan tadi."
"Ada Lami juga di dalam. Dan orang yang kamu temui tadi itu namanya Arqom. Dia atasan Naya dan Lami di kantor. Aku ketemu dia karena dia atasannya Naya. Aku nyerahin surat ijinnya mba Naya ke dia."
"Asal kamu tau, Mas Arqam gak seburuk yang kamu kira. Dia udah tau kalau aku bersuami makanya jaga jarak. Dia ke sini buat jengukin Naya yang sakit, bukan selingkuh sama aku seperti yang Mas pikirin. Aku ke sini setelah dapet telepon dari mas Widi."
Kutarik napas panjang ketika melihat tatapan Ramdan kian memelas terhadapku. Tidak mempan! Aku tak akan terpengaruh tatapan itu lagi, Mas.
"Arqam ngerasa bersalah karena jadi penyebab kecelakaan yang mba Naya alami makanya dia ke sini bareng aku."
"Tuh, kamu ke sini bareng dia masih aja mengelak." Aku merotasikan bola mata kesal.
"Iya, aku sempet ke sini bareng dia tadi karena aku ke kantornya dia buat nyerahin surat ijinnya mba Naya. Dia ngajakin bareng aku iyain karena uangku kurang buat beli buah tangan. Kamu tau sendiri aku belum pegang uang lebih karena belum gajian. Sebagian udah aku pake buat bayar ongkos ojek ke rumah mba Naya."
"Aku gak berani duduk di sebelahnya meski udah ditawarin sama dia. Arqam maklum, dia nyuruh aku duduk di belakang. Selama perjalanan kita gak ngobrol sama sekali karena posisi kita lagi berdua tanpa seorang mahram. Takut terjadi hal yang gak diinginkan."
"Soal ijin aku udah minta tolong Lulu buat sampaiin ke kamu. Dia gak nyampaiin amanah dariku?" Bukannya menjawab, Ramdan justru diam dengan pandangan kosong. Segera kutepuk bahunya agar suamiku cepat sadar.
"D—ia bilang ke aku."
"Aku juga maunya bilang langsung ke kamu, Mas tapi kamu dipanggil gak jawab. Mau turun ke bawah gak ada sepatu. Kamu tau sendiri aku alergi kotor. Kakiku gampang gatel kalau gak pakai sendal. Lantai rumah yang berdebu aja aku langsung gatal-gatal. Ponselku juga mati, ini baru selesai aku charger di rumah sakit."
"Aku—"
"Sekarang udah jelas 'kan, Mas?" Kulihat Ramdan mengangguk pelan. Mungkin sekarang ia menyesali ucapannya tadi.
Aku mengangguk. "Kalau gitu, aku ijin pulang ke rumah orang tuaku. Aku udah gak nyaman ada di rumahmu."
Ramdan buru-buru mencekal lenganku. Gelengan kecil ia berikan namun tak sampai membuatku luluh.
"Maafin Mas, Nu. Mas tau tindakan Mas nampar kamu tadi salah. Kamu boleh bales nampar Mas sepuasmu tapi tolong jangan pulang ke rumah orang tuamu." Aku berdecih tak percaya.
"Kamu gak ngijinin aku ketemu orang tuaku sendiri sedangkan kamu sering berjumpa sama orang tuamu selama ini? Udah setahun aku gak pulang, Mas! Tiap kali aku ajak kamu ke rumah mama pasti selalu aja alasan. Aku milih bertahan selama ini karena permintaan mama. Dia nyuruh aku buat gak nengokin dia ketika udah jadi istri kamu."
Aku menyentak tanganku kasar. "Bujan cuma kamu yang pengin ketemu sama orang tuamu. Aku juga pengin, Mas! Aku anak pertama mereka. Ada adik kecil yang nunggu kepulanganku selama ini. Mereka selalu nanyain, kapan aku pulang ketika video call. Aku selalu beralasan agar mereka tak menunggu kepulanganku. Alasannya satu. Aku cuma pengin mandiri jalani rumah tangga bareng kamu."
"Dek, Mas cuma mau—"
"Mau apa?"
Aku menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya aku melihat sosok perempuan yang menghampiriku dengan tatapan tajam.
"Gue tanya, lo mau apa?"
***