Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 28 - 28. Diungkit-ungkit

Chapter 28 - 28. Diungkit-ungkit

28. Diungkit-ungkit

Aku pulang diantar Arqom. Kutawari untuk mampir tapi pria itu menolaknya. Takut Ramdan sampai salah paham lagi. Aku bersyukur karena Arqom mengerti posisiku karena pertanyaanku tadi sekedar basa-basi.

Sampai di rumah pukul 8 malam. Teras rumah kelihatan sepi. Tidak ada suara bising seperti malam-malam sebelumnya. Jam segini biasanya Ramdan tengah bermain dengan anaknya di ruang tengah. Apa jangan-jangan mereka sudah tidur?

Kuberanikan diri untuk membuka pintu tanpa mengetuknya. Keadaan masih sunyi. Aku menutup pintu kembali kemudian menguncinya, takut kelupaan. Karena tubuhku terlalu lelah, aku tak memikirkan ke mana Ramdan dan Lulu pergi.

Saat membuka pintu kamar, netraku membulat sempurna melihat Ramdan dan Lulu tidur sembari berpelukan. Bukan. Bukan itu yang membuatku terkejut. Mereka tidur tanpa mengenakan sehelai pakaian pun.

Itu berarti ....

Segera kubungkam mulut rapat-rapat. Pintu kembali kututp tanpa menimbulkan suara. Sakit sekali rasanya melihat suami sendiri bercinta dengan perempuan lain. Aku berlari ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Kutumpahkan air mataku di sana dan merendam isak tangisku dengan suara air.

Aku kira Ramdan pulang membawa penyesalan sebab menamparku tadi. Kukira mereka akan berunding tentang hal ini. Tapi nyatanya? Ramdan justru bercinta dengan Lulu di tengah-tengah runyamnya rumah tangga kami.

Tega sekali kamu, Mas. Selama ini kamu menganggapku apa? Aku tau jika Lulu masih isteri sahmu, tapi tak bisakah kau bercinta di lain waktu? batinku meraung. Tubuhku luruh ke lantai bersama rasa sakit yang tertoreh kian mendalam.

***

"Lho, kamu udah balik, Nu. Mas kira kamu mau ke rumah orang tuamu."

Aku diam saja, memilih fokus memakan masakan Lulu yang belum tersentuh sedikit pun. Pandanganku menunduk sebab mataku masih terlihat sembab. Biar kulihat sampai mana kemampuanmu bisa membujukku.

Aroma shampoo andalan suamiku tercium. Ah, dia habis mandi besar. Pasti Lulu sedang menggunakan kamar mandi yang ada di kamar mas Ramdan.

"Nufus. Mas tanya kamu, lho kok dicuekin?"

Tangan Ramdan bergelayut mesra di bahuku. Segera kutepis, lalu bangkit. Membuang sisa makanan yang tinggal sedikit ke kresek khusus kemudian mencuci piring kotorku. Aku masih bisa merasakan jika Ramdan memperhatikanku dari belakang.

"Nufus!"

"Aku capek, Mas. Mau istirahat," ucapku tak ingin memperkeruh keadaan. Aku melenggang pergi ke kamar utama. Ramdan tak bisa mencegahku lagi.

Ia tampak gelagapan melihatku murung menatap seprai kotor hasil pergulatan panas mereka. Dengan sigap, aku berjalan ke lemari, mengeluarkan seprai baru dan menggantinya. Ramdan masih diam mematung di pintu. Mungkin terkejut melihatku membersihkan seprai tersebut.

"Nufus, Mas bisa—"

"Apa? Mau jelasin apalagi, sih? Mas gak bosen ngulang kata-kata itu terus?" potongku dengan wajah kesal. Kubawa seprai kotor itu keluar dari kamar untuk kumasukkan ke mesin cuci. Ya kali aku membersihkan sisa percintaan suamiku dengan wanita lain. Aku tidak sudi!

Ramdan membuntutiku ke samping kamar mandi yang ada di dapur. "Nu, Mas mau nyelesaiin masalah kita baik-baik. Kamu mau, ya? Lulu juga mau. Habis ini kita rundingin di ruang tengah."

Aku menghela napas gusar. "Oke." Tanpa ingin berlama-lama, aku kembali ke kamar untuk mengambil pakaian. Tentu saja aku ingin mendi meski sudah larut malam. Badanku lengket. Aku menunggu dua sejoli itu bangun dari mimpi indah daritadi.

Omar tidak menampakkan batang hidungnya. Agaknya bocah laki-laki itu tidur lebih awal, memilih untuk tidak mendengarkan pertengkaran ibunya dengan aku. Baguslah. Aku tak perlu berpura-pura memasang wajah baik-baik aja di hadapan mereka.

Ramdan masih membuntutiku ke kamar. Bahkan ia sampai mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. Bola mataku berotasi kesal. Muak sekali aku melihat wajahmu, Mas.

"Minggir."

"Kamu kok jadi dingin gini, sih, Nu? Mana Nufus yang dulu Mas kenal?"

"Kamu juga berubah, Mas. Semua orang bisa berubah, tergantung bagaimana sikapmu ke mereka."

Senyum di wajah Ramdan pudar. "Kamu nyindir, Mas? Untuk masalah di rumah sakit tadi, Mas minta maaf. Bener-bener minta maaf. Mas udah ingkar janji Mas sendiri."

Aku balas menatapnya angkuh. "Bagus kalau Mas sadar. Tinggal ambil langkah selanjutnya sebab kamu melanggar apa yang kamu janjikan di hadapan Tuhan."

Saat aku berhasil lolos dalam kukungannya, Ramdan justru memelukku dari belakang. Berani sekali dia.

"Lepasin aku, Mas!"

"Mas khilaf, Nu. Maafin, Mas. Ijinin Mas tebus kesalahan Mas. Kasih kesempatan kedua buat Mas." Aku menyentak tangan suamiku cukup kasar.

"Tergantung sikapmu, Mas. Kamu melanggar banyak janji yang udah kita sepakati. Padahal aku berusaha mati-matian biar gak ngelanggar janji yang kubuat untukmu. Kayaknya aku berusaha terlalu keras." Lantas, aku pun berpaling.

"Kita selesaikan nanti. Aku mau semuanya jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Aku benci dengan orang bermuka dua. Munafik!"

Ramdan diam tak berkata-kata, menunduk meresapi ucapanku barusan. Baguslah. Kuharap Ramdan cepat sadar. Aku tidak yakin rumah tanggaku akan baik-baik saja jika suamiku berani melanggar janji yang kami buat bersama.

***

"Mungkin dari Lulu dulu."

Ramdan mempersilakan Lulu untuk angkat bicara terlebih dahulu. Wanita itu mengangguk, menarik napas panjang kemudian mengembuskanya pelan.

"Aku mau Mas pilih salah satu di antara kita."

Tepat sekali. Itu juga yang kumau.

Ramdan mengusap wajahnya kasar, lalu menatapku. "Kamu, Nu."

"Aku setuju sama Lulu." Netraku dan manik mata Lulu bersirobok. Dapat kulihat ia mengulas senyum tipis untukku. Entahlah. Pasti ada maksud tersirat di dalamnya tapi aku tidak tahu.

"Aku gak bisa ngelepasin salah satu dari kalian," jawab Ramdan mengutarakan isi hatinya.

"EGOIS!"

Aku dan Lulu kompak berseru melawan ucapan suami kami. Tentu saja Ramdan egois. Isteri mana yang mau dimadu? Ia terlalu serakah menjadi laki-laki.

"Kamu egois, Mas. Cuma mikirin perasaanmu sendiri tanpa mau tau perasaanku sama Nufus," imbuh Lulu dengan napas menggebu. Atensi kami tertuju untuk Ramdan seorang.

"Lebih baik kamu lepasin salah satu di antara kita atau ...." Aku menggantungkan ucapanku, membuat kepala Ramdan mendongak menatapku.

"Atau apa?"

"Kita yang bakal mutusin siapa yang menyerah dan siapa yang memilih bertahan di sisimu, Mas." Jawabanku tentu membuat Ramdan cemas.

"Kamu setuju, Lu?" Aku meminta dukungan kepada Lulu. Meski kami masih musuhan sebab perkara tadi, ia setuju dengan perkataanku. Kami sama-sama punya pemikiran yang sama dalam masalah ini.

"Aku setuju."

"Keputusan ada di tanganmu, Mas. Kalau kamu lengah, bisa aja kamu kehilangan kita berdua." Aku menatap Lulu. "Ralat. Kita bertiga."

"Bentar. Ini permasalahannya di mana? Kenapa kalian gak bisa akur? Kalian tau Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, kan? Dia aja isterinya sebelas bisa akur semua kenapa kalian tidak bisa akur?"

Aku menganga tak percaya dengan ucapan Ramdan barusan. Lulu sama terkejutnya sepertiku. Bisa-bisanya Ramdan menyamakan kami dengan isteri rasul?

"Beda, Mas. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam poligami agar bisa mengajarkan Islam kepada anak turunannya yang nantinya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bisa-bisanya kamu nyamain kami sama Nabi Muhammad. Sebenarnya apa yang kamu mau, sih, Mas? Apa susahnya ngerelain satu di antara kita berdua?" balasku sedikit kesal.

Tatapan Ramdan beralih padaku. "Susah, Nu. Kamu gak bakal ngerti rasanya mencintai dua wanita sekaligus."

"Dan kamu gak bakal ngerti sakitnya lihat suami yang kamu cintai bermesraan sama wanita lain," imbuhku diangguki Lulu. Ramdan terdiam lagi.

"Kalau kamu gak bisa bahagiain dua wanita, setidaknya lepasin salah satunya biar bisa bahagia dengan jalannya sendiri. Jangan kamu kurung karena keegoisanmu, membiarkannya menderita padahal harusnya kamu memberinya kebahagiaan," timpal Lulu.

"Argh!! Aku gak tau harus gimana. Tolong ngertiin posisiku, Lu, Nu. Aku bakal usahain buat bikin kalian berdua bahagia."

Aku menggeleng. "Aku udah ngerasain sakit hati itu, Mas. Lulu mungkin sama kayak aku. Aku bakal bicarain ini baik-baik sama orang tua kita, Mas."

Ramdan hendak membantah, namun buru-buru kubungkam, "Jangan membantah, Mas! Biarkan aku mengikuti apa kata hatiku."

***