29. Mulai Akur
Suara kicauan burung di luar sana berhasil membangunkanku dari mimpi indah. Sembari mengucek mata dan mengumpulkan kesadaran, netraku beredar. Lebih tepatnya mencari sosok Ramdan yang semalam tak tidur bersamaku. Apa Ramdan memilih tidur dengan Lulu lagi?
Pelan-pelan, kuubah posisi menjadi duduk. Meski waktu tidurku terbilang cukup, pusing di kepalaku tak bisa ditolerir. Penderita rendah darah pasti tau rasanya bangun tiba-tiba dari tempat tidur lantas pandangan menjadi gelap seketika. Aku tak ingin pagiku dirusak dengan rasa pusing meski aku merasakannya sedikit.
Segera kubenahi tempat tidur usai bangkit. Tempat tidur sebelahku sedikit berantakan. Apa mungkin mas Ramdan tidur di sini semalam? Tapi biasanya aku terjaga jika karsur yang kutiduri berguncang.
Selesai dengan rutinitasku, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kulihat Lulu tengah menyuapi Omar tanpa ada Ramdan di sampingnya. Aku berjalan melewatinya menghampiri kulkas demi memuaskan dahagaku.
"Mas Ramdan udah berangkat, Nu kalau kamu nyariin dia."
Aku menoleh tanpa minat. Kututup lemari pendingin selepas menaruh botol minum di dalam sana. Sekalian kulirik si Omar yang masih saja memusuhiku.
"Aku kayaknya tidur pules banget sampai gak bangun," jawabku kemudian meringis. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat kecilku.
"Semalem mas Ramdan tidur di kamarmu. Kamu gak sadar juga?"
Aku mengernyit di dalam kamar mandi. "Emang mas Ramdan gak tidur sama kamu?"
"Kemarin 'kan udah. Aku suruh dia tidur bareng kamu semalem."
"Selang-seling berarti ya."
Aku keluar bertepatan dengan bunyi air yang kuguyur ke lantai. Lulu menatapku dengan ekspresi datar, mengiringi langkahku keluar dari kamar mandi.
"Bisa jadi."
"Aku belum masak. Kamu mau makan apa?" tanyaku sembari menggulung lengan piyama sampai batas siku. Coba kita lihat ada bahan apa saja di dalam kulkas.
"Bahan makanan habis. Aku belum beli karena tukang sayur keliling belum lewat. Aku bikin bubur instan buat Omar. Kamu mau juga?"
Aku menoleh ke arahnya, menatap sodoran tangan berisi sebungkus bubur instan sesuai ucapannya. Lantas tatapanku berpindah ke arah mangkuk yang ada di hadapan mereka. Hanya satu. Pasti itu untuk Lulu tapi malah ditawarkan untukku.
Aku lalu menggeleng. "Buat kamu aja. Aku gak punya riwayat maag jadi bisa ntar siang makannya. Kamu sendiri?" Lulu menatap uluran tangannya sendiri kemudian ia turunkan.
"Aku punya maag."
"Kalau gitu, buburnya buat kamu aja biar gak kambuh maagnya. Aku mau siap-siap dulu."
Kuikat rambut menjadi cepol. Setiap mau tidur, aku suka sekali menjadikan ikat rambut sebagai gelang agar tidak susah-susah mencari. Contohnya seperti sekarang ini.
"Mau ke mana?"
Aku menoleh ke arah Lulu lagi. "Algamart beli kebutuhan wanita."
"Oh, haid toh. Nitip sekalian beliin susu buat Omar, boleh?" Aku mengangguk.
"Catat aja nanti aku beliin."
"Oke. Makasih."
***
"Omar, mamamu mana?"
Kulihat Omar main sendirian di ruang tamu. Mainannya berserakan padahal lantai rumah belum kusapu. Bikin kepala pusing saja. Semoga cepat diberesi nanti.
Bocah laki-laki itu mendongak, lalu bangkit sembari mendekap robot kesayangannya. Tiba-tiba tangan kecilnya terulur ke arahku.
"Mana pesenan mama?" tanyanya tanpa ekspresi. Segera kuambil susu formula untuk Omar dari dalam kresek putih berlogo.
"Ini. mamamu mana, sih? Tante tanya, lho. Ini uangnya mau Tante serahin ke mama kamu," ucapku sedikit kesal. Omar menunjuk arah kamar mandi samping dapur.
"Lagi mandi. Tante disuruh jemur baju sama mama kalau udah balik."
Ia berjalan ke dapur membawa susu beserta robotnya. Dengan hati-hati, ia menaiki kursi, mengambil kaleng bekas susu untuk diisi ulang. Masih kecil tapi sudah rajin. Didikan Lulu pasti baik.
Aku menghela napas panjang. Mending kutaruh barang belanjaanku di kamar baru jemur pakaian. Lagian tumben sekali Lulu mencuci pakaian lewat mesin cuci. Dari kemarin juga aku yang masukin baju kotor. Mungkin karena seprai kotor kemarin.
Saat keluar dari kamar, Omar masih berkutat dengan susu miliknya. Kali ini ia membuat susu untuk dirinya sendiri. Benar-benar mendiri. Aku berjalan melewatinya tanpa mengucap sepatah kata, mengambil keranjang kosong untuk diisi pakaian bersih dari mesin cuci. Setelahnya kuangkat keluar rumah untuk kujemur.
Selesai menjemur pakaian, Lulu masih belum keluar dari kamar mandi. Sial, aku malah kebelet pipis. Aku buru-buru meletakkan keranjang kosong pada tempatnya tadi, lalu pergi ke kamar untuk memakai kamar mandi sana.
Tapi rupanya Omar berada di dalam entah sedang apa. Padahal jelas-jelas ia sedang minum susu di dapur tadi. Kuketok pintu kamar mandi berharap anak itu cepat keluar dan bergantian denganku.
"Omar, Tante kebelet pipis. Kamu lagi ngapain di dalem?"
"Mandi."
"Lho, kamu belum mandi emangnya?" Sungguh, tak tahan. Kuhentak-hentakkan kedua kaki ke ubin lantai sembari mengapit kedua pahaku. Sudah diujung.
"Keluar dulu bentar dong. Tante udah gak tahan."
"Tinggal pakai kamar mandi deket dapur. Itu kosong."
Aku mendelik tak percaya. "Katanya ada mamamu di dalam."
"Udah keluar daritadi. Tante, sih sibuk jemur baju makanya gak perhatiin."
Emang iya? pikirku. Aku rasa tadi tidak benar-benar fokus menjemur pakaian. Netraku sesekali beredar melihat sekeliling.
Daripada menahan hajatku lebih lama, aku berlari ke kamar mandi samping dapur. Pintunya tertutup karena kukira ada orang di dalamnya. Saat aku ketuk, tidak ada respon. Barulah aku tau jika kamar mandi itu kosong saat kudorong pintunya.
Bodoh.
Aku segera menuntaskan hajatku. Setelahnya, aku menyiram banyak air ke sudut ruangan. Saat hendak melangkah keluar, tiba-tiba lantai menjadi licin dan ...
DUG!
Kepalaku membentur sisi keramik yang menjadi pembatas lantai kamar mandi bawah dengan lantai kamar mandi untuk buang hajat. Rasa pusing mulai menyergapku. Tak hanya itu, bahkan tubuhku terjatuh cukup kuat membentur lantai. Badanku terasa pegal. Sakit sekali.
Kupegang dahi yang terhalang rambut karena basah. Sial. Kepalaku berdarah. Pandanganku memburam sebelum tanganku sempat meraih gagang pintu. Naasnya, kesadaranku direnggut paksa oleh Tuhan tanpa bisa meminta pertolongan orang luar.
Pintu didobrak dari luar. Karena aku menguncinya tidak terlalu rapat, mempermudah orang yang membukanya dari luar. Kulihat bayangan hitam berdiri di hadapanku.
Satu hal yang pasti sebelum kelopak mataku terpejam sempurna. Aku melihat Omar berdiri di hadapanku dengan seulas senyum tipis.
***
Samar-samar, aku mendengar suara ribut di sekelilingku. Aku masih merasa pusing ditambah rasa nyeri yang berdenyut-denyut. Perlahan, kelopak mataku mulai terbuka.
Silaunya lampu membuat mataku menyipit. Dapat kurasakan perhatian sekitar mulai berpindah padaku. Aku berusaha mengumpulkan kesadaran secepat mungkin.
"Alhamdulillah lo udah sadar. Ini angka berapa?" tanya Lami dengan suara khasnya. Aku melirik jari tangan Lami yang terangkat di udara.
"Dua."
"Salah, bego! Ini tiga." Lami menambah satu jari untuk mengelabuhiku. Aku tertawa.
"Itu baru kamu tambahin."
"Bener. Berarti lo gak amnesia. Sujud syukur gak lo!"
Aku tertawa melihat Naya memukul lengan Lami karena berbicara seenak jidat. Tunggu! Naya ada di sini?
"Aku di mana?" Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Lami turut melihat sekeliling. "Di rumah sakitlah! Lo kira kamar lo bau obat-obatan? Engga, kan?"
"Siapa yang bawa aku ke sini? Kalian?"
"Ya iyalah. Siapa lagi kalau bukan kita," ucap Naya, lalu mencebik kesal. Bola matanya berotasi. Ia duduk di sisi kiriku sementara Lami mengisi sisi kananku.
"Kabar Mba Naya gimana? Udah keluar dari rumah sakit?" tanyaku dibalas toyoran dari Naya.
"Pikirin diri lo sendiri coba! Udah sakit masih aja mikirin kesehatan orang. Ini, nih yang gue gak suka dari lo." Aku terkekeh sembari memegangi keningku.
"Kenapa? Kepala lo sakit?" tanya Lami khawatir. Aku menggeleng.
"Udah mendingan. Kata dokter, aku gak apa-apa, kan?" Naya menarik napas panjang. Bahunya merosot turun.
"Lo gak apa-apa. Gue khawatir lo keguguran waktu lihat darah di sekitar lantai kamar mandi. Gak taunya lo lagi haid. Sialan emang." Aku tertawa lagi.
"Emangnya siapa yang ngabarin kalian? Bukannya yang lihat aku jatuh cuma Omar?"
Iya, Omar. Bocah laki-laki itu yang kulihat sebelum kesadaranku menghilang.
Apa dia yang bikin aku jatuh kayak gini? batinku bertanya-tanya.
***