34. Kunjungan Tak Terduga
Arqam datang ke rumah sakit masih mengenakan pakai formal. Setelan jas berwarna biru tua rupanya cukup mencolok di antara penghuni rumah sakit. Mudah baginya untuk mendapat perhatian publik sebab parasnya terbilang rupawan. Gen ayahnya diwariskan banyak kepada Arqom. Dulu, ayahnya adalah seorang playboy ketika masih mengenyam pendidikan.
Qonita memberitahunya jika Nufus dirawat di kamar nomor 71. Terletak di lantai dua bagian ujung. Karena mamanya membawa buah tangan begitu banyak, Arqom berinisiatif untuk tidak membawanya lagi. Bisa-bisa mubazir nanti. Buah tangan dari Qonita saja jumlahnya melebihi porsi makan manusia. Arqom yakin, Nufus sedang memutar otaknya untuk menghabiskan buah tangan dari mamanya.
TOK! TOK! TOK!
"Itu kayaknya anak Mama deh. Mama bukain bentar, ya."
Arqom tersenyum mendengar suara Qonita dari dalam. Pintu dibuka, menampilkan anak dan ibu yang sama-sama memakai pakaian mewah saling bersitatap sembari mengukir senyum. Qonita menggenggam tangan Arqom, membawanya masuk kemudian menutup pintunya kembali.
"Bener 'kan apa kata Mama." Wajah Qonita tiada henti memancarkan kebahagiaan. Nufus terlihat senyum apa adanya dengan mata sayu.
"Hai, Nu. Gimana kabar lo?" tanya pria itu basa-basi.
"Seperti yang kamu lihat." Sedetik kemudian, Nufus tertawa. "Aku sehat kok. Duduk dulu."
Arqom tersenyum canggung. Perlahan, tangannya mulai melepas rangkulan mamanya agar ia terbebas. Saat Qonita melepaskannya, Arqom mengempaskan tubuhnya ke sofa untuk beristirahat sebentar.
"Bukannya kamu ke kantor hari ini, Ar?" tanya Qonita pada anaknya. Arqom setia mendongak tanpa ingin melirik ke arah mamanya. Ia benar-benar lelah dengan pekerjaannya.
"Lagi istirahat, Ma. Capek aku kerja terus mana sering lembur sekarang." Otot tangannya direnggangkan. Sudah satu bulan ia tidak berolahraga. Tubuhnya jadi kaku dan mudah lelah ketika diajak lembur. Agaknya ia harus mengatur ulang jadwalnya agar bisa pergi ke pusat kebugaran lagi.
"Tuh. Mama bilang juga apa. Kerja boleh asal capeknya kamu itu ada yang ngobatin, isteri misalnya." Tatapan Qonita berpindah ke arah Nufus saat Arqom balik menatapnya.
"Tau, Ma. Ini juga lagi berusaha nyari. Dikira gak susah apa." Arqom bersungut sebal melihat Qonita membalasnya dengan cibiran.
"Di hadapan Mama aja udah ada bidadari ngapain cari yang lain?" Ia dapat melihat pipi Nufus bersemu merah kemudian menunduk. Sedangkan Arqom dengan cepat memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba berdenyut. Mamanya malah merumitkan masalah.
"Maaf, Ma. Aku mungkin belum ngasih tau Mama kalau aku udah punya suami," jawab Nufus sopan namun dibalas kekehan ringan dari wanita itu.
"Tau kok. Arqam ngasih tau Mama kemarin. Tapi Mama terlanjur suka sama kamu. Kalau gak bisa jadi mantu Mama, jadi anak angkat pun gak apa-apa asal Mama bisa terus ketemu sama kamu."
Qonita membingkai wajah Nufus pelan. Keduanya sama-sama tersenyum bahagia. Arqam baru pernah melihat senyum Nufus selebar ini. meski mereka sudah bertemu berapa kali, yang Arqom lihat wajah Nufus selalu diliputi kesedihan. Nufus pandai menyingkirkan perasaan pribadinya ketika berkumpul bersama teman-temannya sewaktu diajak double date.
Arqom tau saat itu Nufus sedang ada masalah. Bahkan pertemuan pertama mereka pun Nufus menunjukkan tanda-tanda orang yang sedang ada masalah. Tapi Arqom tak berani bertanya. Agaknya masalah itu kian runyam bukannya terselesaikan.
Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk wanita itu.
DRRT! DRRT!
Arqom mengambil ponselnya dalam saku jas. Nomor asing masuk. Ia sempat ingin mengabaikannya, namun melihat sepenggal pesan yang muncul membuatnya mengurungkan niat.
[Arqom, ini aku Nufus. Aku ngambil nomormu dari hapenya mba Naya. Boleh minta tolong?]
Sesaat, netra mereka bersirobok begitu Arqom mengangkat kepalanya. Seakan menerima sinyal yang diberikan Nufus, pria itu lekas mengetik jawaban.
[Asal gue bisa bantu pasti gue bantu.]
[Bawa Mama kamu pulang bisa? Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sekarang tapi gak enak minta ijin ke Mamamu. Daritadi aku udah ngasih sinyal tapi Mamamu gak paham kode. Maaf banget aku lancang nyuruh kamu begini.]
[Santai aja, Nu. Maafin sikap Mamaku ya.]
[Aku gak masalah sama sikap Mama kamu kok. Aku malah suka dianggap anak sama dia. Cuma masalahnya aku ada hal mendesak sekarang jadi tidak bisa berlama-lama seperti kemarin.]
[Aku paham kok. Semoga masalahmu cepet selesai ya.]
Arqom menyimpan ponselnya kembali kemudian bangkit. Atensi kedua wanita itu beralih dengan cepat padahal mereka sama-sama sedang memainkan ponsel.
"Mama ayo pulang!" ajak Arqom seraya menarik lengan Qonita. Wanita itu menggeleng tak setuju, kembali menyibukkan diri dengan ponsel miliknya.
"Nanti aja. Mama masih mau sama Nufus. Iya gak, Nu?" Nufus tersenyum canggung sembari meremas selimutnya. Mungkinkah masalah yang dimaksud itu boker atau sejenisnya?
"Kata dokter, Nufus harus banyak istirahat dulu biar bisa pulih." Qonita menurunkan ponselnya dengan cepat, lalu menatap Nufus.
"Bener, Nu?" Nufus mengangguk pelan. Jika ingin Qonita keluar bukankah harusnya ia menuruti permainan Arqom?
Pria itu menarik lengan mamanya lagi. "Tuhkan. Nufus pasti capek daritadi kedatangan tamu terus. Gantian atuh, Ma. Kan bisa jengukin lagi kapan-kapan."
Meski berat hati meninggalkan Nufus sendirian, Qonita akhirnya bangkit. "Ya udah. Mama pulang dulu ya. Kamu baik-baik di sini. Orang tuamu mana?" Netranya mengedar ke sekeliling.
"Orang tuaku di rumah, Ma. Aku sengaja gak ngasih tau mereka. Suamiku bakal ke sini kok. Mama tenang aja." Qonita mengembuskan napas pasrah.
"Jaga diri baik-baik." Nufus mengangguk.
"Pamit ya, Nu. assalaamu'alaikum."
"Wa'alaaikumussalam."
Arqom mendorong tubuh mamanya tak sabaran. Berulang kali Qonita mengomel agar tidak didorong keluar namun Arqom mengabaikannya. Pintu kembali ditutup. Saat itulah kehampaan mulai mengisi ruang hatinya lagi.
***
"Rumah siapa ini, Mas?"
Lulu mengedarkan pandangannya ke segala sisi. Rumah minimalis dengan cat dinding di samping rumah yang mengelupas. Untuk cat depan rumah masih utuh berwarna merah bata. Ada kebun kecil di depan rumah mereka untuk mempercantik penampilan dari luar.
Di samping rumah, ada ibu dan anak yang sedang bermain kejar-kejaran. Raut wajah mereka terlihat bahagia, tapi tidak dengan Ramdan. Sedari tadi wajah suaminya terus berkeringat, kali ini tambah parah. Sebenarnya mereka mau ketemu siapa sampai rela jauh-jauh ke kampung sini?
"Mau ikut masuk gak?" tawar Ramdan yang langsung diangguki Lulu. Mana mungkin ia berdiri di sini seperti orang hilang. Lebih baik ikut ke dalam dan tau maksud kedatangan mereka ke sini.
"Assalaamu'alaikum."
Atensi wanita itu beralih. Senyumnya kian melebar melihat siapa yang datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Nak Ramdan!"
Dia bergegas memeluk Ramdan dengan erat disusul bocah berumur 3 tahun yang masih aktif berloncar ke sana dan ke sini. Ramdan tersenyum bahagia berada di pelukan mereka. Begitu terlepas, perhatiannya beralih pada si balita berjenis kelamin perempuan.
"Ais apa kabar?"
"Abal?" Ramdan terkekeh, gemas mendengar respon dari mulut anak itu. tangannya yang menenteng kresek terangkat.
"Mau jajan?"
"Mau."
Ia menyerahkan kresek itu ke tangan wanita tadi setelah mengambil satu buah jajan untuk diserahkan kepada anak bernama Aisyah. Bocah perempuan itu tampak senang bukan main.
"Nufusnya mana, Ram kok gak diajak ke mari?"
DEG!
Jadi Nufus gak ada di sini? batin Ramdan tak percaya. Lalu, ke mana isterinya itu pergi?
Sedangkan Lulu yang semula memasang senyum di wajahnya mendadak pudar mendengar nama Nufus disebut.
Ah, ternyata orang tuanya Nufus. Kepalanya terangguk-angguk, mencoba memahami keadaan suaminya yang dibuat frustrasi dengan kehilangan wanita tersebut.
"Ini siapa yang kamu bawa? Adik atau saudari kamu?" Wanita berjilbab itu menunjuk Lulu yang dibalas senyum canggung olehnya. Tangan kanannya terulur ke arah ibunda Nufus.
"Saya Lulu, Bu isteri pertama Mas Ramdan," ucapnya memperkenalkan diri. Keduanya terkejut bukan main.
Lebih baik ia jujur bukan?
***