36. Mendadak Bodoh
"Nufus!"
Ibu segera memelukku terlebih dahulu sebelum Ramdan. Kulihat pria itu kembali terdiam meski wajahnya masih menampakkan binar-binar bahagia melihatku lagi. Punggung ibuku bergetar. Astaga, apa yang mereka bicarakan sampai Ibuku menangis seperti ini?
"Mama kenapa? Kok nangis? Ini ada apa ramai-ramai di sini?"
Bapakku memilih tuk membuang muka daripada bersitatap denganku. Perlahan, tangannya turun dari atas pinggang, berganti menyentuh benda-benda yang ada di sekitarnya. Bapakku habis marah. Aku sebagai anak saja tidak berani membuatnya marah sebab bisa main fisik.
Giliranku melihat ke arah Ramdan seusai melepas pelukanku dengan Ibu. Ada Lulu juga. Apa mereka sampai mencariku ke sini? Berani sekali. Ibu pasti tau jika itu isteri Ramdan juga. Firasat Ibu dan anak tidak beda jauh.
"Nufus, kamu ke mana aja? Mas nyariin kamu dari kemarin bahkan sampai telepon nomor temen-temenmu," ungkap Ramdan padaku. Aku merotasikan bola mata kesal.
"Kenapa pindah topik, sih, Mas? Orang aku tanya Mamaku kenapa bisa nangis gini kok kamu malah marahin aku," balasku terlampau kesal. Kualihkan tatapan untuk Ibu seorang.
"Mama masuk dulu, yuk! Kita bicarain di dalam. Aku kangen sama Mama, pengin ngobrol banyak." Sudi—ibuku mengangguk setuju. Kubimbing bahu rentan ibuku untuk masuk ke dalam rumah sementara mereka berada di luar. Bukannya tidak sopan. Hanya saja, mereka punya masalah dengan ayahku. Mana mungkin aku menyela mereka dan mengajaknya masuk. Bisa-bisa amarah ayahku berpindah padaku.
"Kamu kenapa gak pernah cerita, sih sama Mama? Ramdan poligami kamu, kan?" Ibu memberondongku dengan beberapa pertanyaan. Ia sudah tau rupanya.
Aku mengembuskan napas panjang. "Aku gak mau nyusahin Mama. Lagian, ini rumah tanggaku. Aku yakin bisa ngatasin seorang diri."
"Tapi kamunya yang bakal sakit hati terus, Nu. Ya Allah, tega bener suamimu itu. Dia berani bohongin kita. Mama nyesel pernah ngelepasin kamu buat hidup sama pria seperti dia!"
Aku menunduk. Jika Ibu sudah mengomeliku, aku hanya bisa diam kemudian menangis.
"Lama kelamaan pasti terbiasa kok, Ma. Lulu baik kok sama aku. Kita gak pernah bertengkar selama tinggal satu atap bareng mas Ramdan."
Sudi menggeleng tak setuju dengan opiniku yang pertama. "Kita sama-sama wanita, Nu. Mama tau betul tabiat kamu. Kamu butuh seorang pria yang bisa diandelin sebab kamu gak pernah deket sama cowok, bukan yang bisanya nyakitin. Sekali berbohong, kepercayaan yang kamu bangun bakal runtuh. Kamu gak bakal percaya lagi sama perkataan Ramdan dan rumah tangga kalian langsung berantakan. Mama bener, kan?"
Aku mengangguk lemah. Memang rumah tanggaku diambang kehancuran. Baik aku maupun Lulu sama-sama tak ingin berbagi. Kami egois, aku akui itu. Jika lihat rumah tangga orang lain yang menjadi tetanggaku, bahkan sampai tua hubungan mereka tetap harmonis dengan cara yang berbeda. Setiap ada masalah pasti terselesaikan. Sedangkan aku? Satu masalah saja rumah tanggaku langsung terguncang.
Lihat saja Ibuku. Dia hidup bareng Ayah yang terkenal temperamen. Waktu masih pacaran dulu, kata Ibu Ayahku sangat baik padanya hingga ia percaya ketika diajak menjalin rumah tangga. Ketika menikah, Ayahku mulai menampakkan sifat aslinya pada Ibuku dan hebatnya Ibuku bisa bertahan. Bahkan ketika mertuanya ikut campur urusan rumah tangga mereka, Ibuku tetap tegar menghadapi semuanya karena satu hal.
Ayahku tak pernah membohongi Ibuku.
Kepercayaan yang mereka bangun bersama sejak awal tak mudah dipatahkan begitu saja. Dari awal mereka sudah jujur dan saling menerima apa adanya.
"Aku gak tau harus gimana, Ma. Aku bingung," ucapku seraya terisak. Sudi mendekap tubuhku, memberinya pelukan hangat yang selama ini tak pernah kudapatkan setelah melewati masa-masa kecil.
"Mama tau kamu kuat. Hadepin sifat bapakmu aja kuat kok. Untuk masalah ini karena kita udah tau, kita yang bakal mutusin gimana ke depannya. Kamu percaya sama Mama, kan?" Aku mengangguk.
"Lebih baik kamu keluar dan suruh bapakmu berhenti marahin mereka. Gini-gini Mama kasihan lihat suamimu digebukin sama bapakmu." Aku membulatkan mata saking terkejutnya mendengar ucapan ibuku. Sampai dipukuli juga?
Aku bergegas keluar seorang diri. Kulihat mereka hanya saling mendiami kini. Sepertinya ayahku sudah selesai menginterogasinya. Aku menghampiri Lulu terlebih dahulu.
"Lulu, ayo berdiri! Kita keluar dari sini." Aku membantunya bangkit, memapahnya keluar lewat samping. Ada motor Ramdan yang terparkir di sana. Kubawa Lulu ke sana.
"Maafin bapakku ya, Lu. Kamu pasti dimarahin macem-macem. Duduk sini dulu, tenangin diri kamu. Aku ambil minum dulu sebentar." Kutepuk bahu Lulu berulang kali sebelum masuk ke dalam rumah.
Setelah mengambil botol minum, aku menghampiri Ramdan terlebih dahulu. Tanpa meminta persetujuan dari Ayah, kubawa Ramdan keluar ke tempat di mana Lulu duduk tadi.
"Nufus, maafin Mas yang gak jujur dari awal kita menikah." Selama berjalan, Ramdan tiada henti mengajakku bicara. Aku tak merespon pertanyaannya satu pun.
"Ikut Mas balik ke rumah ya? Mas kangen sama kamu. Kamu ke mana aja dari kemarin?"
"Mas kelimpungan nyari kamu. Lulu juga—"
"Lulu juga bantu nyari kamu tapi gak ketemu-temu. Maaf, Mas. Udah basi. Apa di pikiranmu cuma ada kalimat itu gak itu?" selaku cepat. Aku muak mendengar suamiku berkata mencariku dengan membawa nama Lulu serta. Padahal aku tau, ia hanya bermodalkan ponsel ketika mencariku bagaimana bisa ketemu?
"Itu kamu tau, Nu. Kamu dari mana aja kemarin?"
BRUK!
Kuempaskan tubuh Ramdan agar tak bergelayut di bahuku lagi. Lulu sedikit terkejut, berusaha memapah Ramdan menggantikanku tapi malah ditepis. Akhirnya ia tak membantu lagi, membuang muka ke sembarang arah sebab Ramdan bersikap demikian.
Netra Ramdan tak lepas memandangku. Kuserahkan dua botol mineral ke arah mereka untuk melepas dahaga. Dimarahi siang bolong begini pasti membuat mental mereka terguncang. Perut dan tenggorokan turut mempengaruhi kestabilan emosi mereka. Sepertinya Ramdan dan Lulu tidak banyak membantah atau malah tidak membantah sedikit pun?
Lagian ada-ada aja suamiku. Tau sendiri Ayahku temperamen tapi berani bikin ia marah. Mana pakai acara bawa Lulu juga. Orang tua mana yang mau dikenalkan dengan wanita madu? Sepertinya tidak ada. Ramdan benar-benar cari penyakit sendiri.
Heran aku. Padahal dulu ketika sekolah ia pintar. Pandai mendebat banyak hal dengan Ayahku sebelum mengutarakan niatnya untuk melamarku. Ke mana kepintarannya pergi selepas lulus sekolah? Ketinggalan? Yang benar saja!
"Kalian pulang aja lebih dulu. Aku harus bujuk orang tuaku. Kamu juga, Mas kenapa bawa Lulu ke sini juga? Dia jadi kena marah, kan. Harusnya kamu datang sendiri ke sini," omelku kepada Ramdan. Pria itu tampak membuang muka.
Alih-alih menjawab, Ramdan justru bungkam dengan pikirannya. Lulu juga diam saja sembari menunggu air minumnya habis. Sebaiknya kutunggu sampai mereka benar-benar pergi.
"Nufus, sini masuk! Mama mau ngomong." Aku menoleh ke arah belakang. Lulu dan Ramdan turut menoleh ke sumber suara.
"Iya, Ma sebentar. Mau nganter Mas Ramdan dulu," balasku setengah berteriak. Lantas, tatapanku kembali mengarah ke Ramdan lagi.
"Berhubung kamu ada di sini, aku mau minta ijin bakal pulang besok sama mba Naya." Barulah Ramdan mendongak.
"Masih ada hal yang harus aku bicarain baik-baik sama orang tuaku, Mas. Lagian, di rumah sakit aku udah ijin juga ke kamu."
Saat aku hendak berbalik, Ramdan mencekal pergelangan tanganku. "Jawab dulu, dari kemarin kamu ke mana?"
Aku menyentak tangannya kasar. Omar sungguh tidak memberitahu ayahnya sendiri perihal kejadian kemarin? Firasatku semakin kuat jika Omarlah pelaku di balik kecelakaanku kemarin.
Aku menatapnya sengit. "Tanya aja sama anakmu, Mas. Dia tau betul aku kenapa dan dibawa ke mana." Tanpa menunggu balasan darinya, aku melenggang masuk ke dalam. Dapat kupastikan mereka berdua kebingungan mendengar aku menyangkut pautkan kepergianku dengan Omar.
Bodo amat.
***